Dirjen HPI Kemenlu: Resolusi DK PBB Mengikat Hukum Nasional Indonesia
Berita

Dirjen HPI Kemenlu: Resolusi DK PBB Mengikat Hukum Nasional Indonesia

Agar penerapan hukum internasional mengikat hukum nasional butuh payung hukum komprehensif. Terutama pelaksanaan berbagai Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Dirjen HPI Kemenlu, Damos D.Agusman sedang memaparkan pandangannya bersama Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi (mengenakan jas). Foto: (NEE)
Dirjen HPI Kemenlu, Damos D.Agusman sedang memaparkan pandangannya bersama Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi (mengenakan jas). Foto: (NEE)

“Pak Mochtar melalui bukunya, beliau mengatakan bahwa sovereignty (kedaulatan-red.) itu berhenti pada saat dia melintasi batas negara dan masuk ke wilayah hukum internasional”, kata Damos Dumoli Agusman, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (Dirjen HPI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Senin (24/7), di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung (FH UNPAD).

 

Mengutip pendapat gurunya, Mochtar Kusumaatmadja sang diplomat legendaris Indonesia yang juga Guru Besar Hukum Internasional UNPAD, Damos membuka diskusi terarah bertema “Penerapan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke dalam Hukum Nasional Indonesia”. Diskusi yang digagas Kemenlu bekerja sama dengan FH UNPAD ini berupaya merumuskan payung hukum soal pelaksanaan kewajiban internasional Indonesia dalam hukum nasional.

 

Kebutuhan terhadap payung hukum untuk hal tersebut dirasakan Kemenlu semakin mendesak dengan kembali terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Damos menjelaskan bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB semakin sering memerintahkan negara untuk berbuat sesuatu terhadap warga negaranya. “Dia memasuki domain urusan hukum nasional, bagaimana jika resolusi ini menyangkut pro justicia? Bagaimana meresponnya?”, ujar Damos.

 

Perlu diingat, sebagai anggota PBB Indonesia terikat dengan Pasal 25 dan Pasal 49 Piagam PBB soal berbagai Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Article 25:

The Members of the United Nations agree to accept and carry out the decisions of the Security Council in accordance with the present Charter

Article 49:

The Members of the United Nations shall join in affording mutual assistance in carrying out the measures decided upon by the Security Council

 

Atas dasar piagam ini, dengan menjadi anggota PBB berarti Indonesia setuju menerima dan melaksanakan putusan DK PBB apapun isinya. “Maka Indonesia menjadi terikat, secara hukum internasional,” kata Damos saat diwawancarai usai acara diskusi.

 

(Baca Juga: Advokat Indonesia di Tengah Perkembangan Hukum Bisnis Internasional)

 

Damos menjelaskan kepada hukumonline bahwa hal ini bukan masalah besar jika isi Resolusi DK PBB menyangkut tindakan Indonesia sebagai negara terhadap negara lainnya. Misalnya soal embargo, penjagaan perdamaian dunia, diplomatik dll. “Masalahnya di era globalisasi, muncul resolusi yang berkaitan pengaturan warga negara para anggota. Ini sudah urusan hukum nasional,” jelasnya.

 

Atas dasar itu, pengaturan komprehensif dalam sistem hukum nasional untuk pelaksanaan kewajiban internasional Indonesia ini jadi sangat mendesak. Oleh karena itu menurut Damos perlu payung hukum khusus untuk melaksanakan beragam Resolusi DK PBB. “Bagaimana kita secara good faith melaksanakan keputusan internasional yang mengikat kita. Bukan hanya untuk UN, termasuk ICC, WTO, dan lain-lain,” jelasnya.

 

Damos mengatakan bahwa kepentingan nasional harus diperjuangkan dalam proses pembuatan norma hukum internasional. “Ini seperti waktu kita pacaran, di situ kita bicara kepentingan. Bicara untung ruginya di situ deh. Tapi kalau udah kawin, nggak boleh lagi dong,” Damos berseloroh.

 

(Baca Juga: Dua Peluang Kekayaan Intelektual Indonesia di Era Kompetisi Global)

 

Namun saat norma hukum internasional telah terbentuk, harus dipatuhi sebagai konsekuensi Indonesia ikut menjadi anggota. Jika tidak, semua negara akan ngotot untuk saling bertahan dengan kepentingan masing-masing. “Kepentingan nasional harus berakhir pada saat norma (hukum internasional-red.) itu sudah disetujui bersama,” katanya.

 

Penolakan terhadap berbagai Resolusi DK PBB, menurutnya, akan bertentangan dengan konsekuensi bergabung dalam keanggotaan PBB. Terlebih lagi saat ini Indonesia menjadi bagian dari anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB 2019-2020. Sebelumnya Indonesia pernah terpilih bergabung di Dewan Keamanan PBB pada periode 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.

 

“Kalau nggak, cerai dulu kita, masak menolak melaksanakan tapi masuk dalam PBB? Ngapain kawin kalau masih melirik-lirik yang lain,” kata Damos menutup penjelasannya.

 

Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi yang ikut hadir juga memberikan pandangannya dalam diskusi terarah tersebut. Menurut Suhadi, pertimbangan yang diajukan oleh Kemenlu agar dibuat payung hukum bagi pelaksanaan kewajiban internasional Indonesia sudah tepat. Terutama untuk pelaksanaan berbagai Resolusi DK PBB.

 

Suhadi menjelaskan bahwa asas legalitas dalam hukum nasional harus dipenuhi sekalipun dalam rangka melaksanakan kewajiban internasional. Artinya perlu ada produk peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini. “Kita menganut asas legalitas, bahwa harus ada dasar hukumnya,” kata Suhadi saat diwawancarai hukumonline.

 

Ia mengakui bahwa dengan ikut sertanya Indonesia dalam berbagai konvensi-konvensi hukum internasional, maka berlakunya berbagai ketentuan hukum Indonesia dibatasi pula oleh hukum internasional.

 

Hanya saja, Hakim Agung pada Kamar Pidana ini menguraikan bahwa tidak semua norma hukum internasional begitu saja bisa digunakan. Apalagi sebagai landasan di peradilan. Perlu dilihat kembali sejauh mana berbagai norma hukum internasional benar-benar bersesuaian dengan kepentingan nasional.

 

“Agar jangan salah kaprah, tanpa penyaringan dari kita bisa merugikan kepentingan nasional,” ujarnya.

 

Diskusi terarah ini dihadiri oleh sejumlah peserta dosen dan guru besar FH UNPAD serta tamu undangan dari berbagai perguruan tinggi lainnya. Hadir pula narasumber lainnya yaitu Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemenlu, Wakil Kepala Detasemen Khusus 88 Polri, dengan moderator diskusi oleh Direktur Hukum dan Perjanjian Politik-Keamanan, Ricky Suhendar.

 

FH UNPAD mendapat kepercayaan Kemenlu untuk bekerja sama menyelenggarakan diskusi terarah yang akan menghasilkan rekomendasi teknis dan konkret. Rekomendasi ini menjadi dasar untuk menyusun regulasi terkait mekanisme penerapan Resolusi DK PBB oleh peradilan umum dan kekuasaan eksekutif dalam sistem hukum nasional.

 

Tags:

Berita Terkait