Direktur Lippo Group dan Bupati Bekasi Tersangka Suap Proyek Meikarta
Utama

Direktur Lippo Group dan Bupati Bekasi Tersangka Suap Proyek Meikarta

Uang suap yang mengalir kepada Bupati dan pejabat Pemkab Bekasi sebesar Rp7 miliar dari total commitment fee sebesar Rp13 miliar.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif bersama penyidik menunjukkan barang bukti hasil OTT terkait dugaan suap perizinan proyek Meikarta di kantor KPK, Senin (15/10). Foto: RES
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif bersama penyidik menunjukkan barang bukti hasil OTT terkait dugaan suap perizinan proyek Meikarta di kantor KPK, Senin (15/10). Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro sebagai tersangka korupsi. Tidak hanya Billy, KPK juga menetapkan dua orang konsultan dan seorang pegawai Lippo Group sebagai tersangka kasus suap yaitu Taryadi, Fitra Djaja Purnama, dan Henry Jasmen.

 

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan keempat orang ini menyuap sejumlah pejabat di Pemkab Bekasi seperti Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin (NNY), Kepala Dinas PUPR Jamaludin (J), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor (SMN), Kepala Dinas Pelayanan Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Dewi Tisnawati (DT), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).

 

“Diduga Bupati Bekasi dkk menerima hadiah atau janji dari pengusaha terkait pengurusan Perizinan Proyek Pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi,” kata Syarif dalam konferensi pers di kantornya, Senin (15/10/2018) malam. Baca Juga: KPK: OTT Pemkab Bekasi Terkait Perizinan Meikarta

 

Syarif mengatakan ada tiga fase izin yang sedang diurus oleh Lippo Group selaku pemilik proyek seluas mencapai 774 ha ini. Fase pertama 84,6 ha, fase kedua 252,6 ha, dan fase ketiga 101,5 ha. Pemberian ini diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian pertama dari total komitmen Rp13 miliar, melalui sejumlah Dinas, yaitu Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Pemadam Kebakaran, dan DPMPTSP.

 

“Diduga realisasi pemberian sampai saat ini adalah sekitar Rp7 miliar (dari commitment fee Rp13 miliar) melalui beberapa Kepala Dinas, yaitu: pemberian pada bulan April, Mei dan Juni 2018,” terang Syarif.

 

Keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga lembaga pendidikan. Sehingga dibutuhkan banyak perizinan, diantaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampat, hingga lahan makam.

 

KPK juga mengidentifikasi sejumlah sandi untuk menyamarkan nama-nama pejabat di Pemkab Bekasi. Setidaknya ada empat sandi yang diungkap dalam perkara ini yaitu Melvin, Tina Toon, Windu dan Penyanyi. Sayangnya Syarif tidak mengungkap siapa nama pejabat yang dimaksud.

 

Setelah proses pemeriksaan, penyidik menyimpulkan adanya dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji yang dilakukan Billy Sindoro, Taryadi, Fitra Djaja Purnama, dan Henry Jasmen selaku direktur, konsultan, dan pegawai Lippo Group. Sebagai pemberi keempatnya dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Sedangkan sebagai pihak penerima Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dikenakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf B UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Kemudian Kepala Dinas PUPR Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pelayanan Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Dewi Tisnawati dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi dikenakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Kronologis

Syarif mengungkapkan penyelidikan perkara ini sudah dimulai sejak November 2017. Dan pada 14 Oktober 2018, pihaknya mendapat informasi bahwa akan terjadi penyerahan uang antara pihak pengembang Lippo Group dengan pejabat di Pemkab Bekasi. "Pukul 10.58 WIB, tim identifikasi penyerahan uang T (Taryudi) konsultan Lippo Group kepada NR (Neneng Rahmi) Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR. Penyerahan uang di jalan raya," ungkap Syarif.

 

Kemudian, pada pukul 11.05 WIB, Taryudi ditangkap petugas KPK di area perumahan di Cikarang. Di mobil Taryudi, petugas menemukan uang $90 ribu Singapura dan Rp23 juta. Secara paralel, pada pukul 11.00 WIB, KPK menangkap konsultan Lippo Group Fitra Djaja Purnama di kediamannya di Surabaya, Jawa Timur. Fitra kemudian dibawa ke Jakarta.

 

Selanjutnya, pada pukul 13.00 WIB, tim KPK menangkap Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Bekasi Jamaluddin di sebuah gedung pertemuan di Bekasi. Kemudian, pada pukul 15.00 WIB juga mengamankan Henry Jasmen selaku pegawai Lippo Group.

 

Hingga Senin, pukul 03.00 dini hari, KPK menangkap 6 orang lain di kediaman masing-masing. Keenam orang tersebut yakni, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor. Kemudian, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Bekasi, Dewi Tisnawati.

 

Selain itu, Kepala Bidang Dinas Kebakaran Asep Buchori dan mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Daryanto. Kemudian, Kasimin selaku staf Dinas DPMPTSP dan Sukmawatty selaku Kepala Bidang Penerbitan dan Bangunan Dinas DPMPTSP.

 

Dari lokasi, tim mengamankan uang $90 ribu Singapura dan uang dalam pecahan Rp100 ribu sejumlah Rp513 juta. Kemudian, KPK menyita dua mobil yang digunakan saat terjadi transaksi suap. Kedua kendaraan yang disita yakni, Toyota Avanza dan Kijang Innova.

 

Sekitar Pukul 23.10 WIB, Bupati Bekasi Neneng tiba di KPK setelah dijemput tim penyidik, menyusul beberapa saat kemudian sekitar Pukul 23.30 WIB Billy Sindoro yang juga dijemput penyidik dari kediamannya di kawasan Tangerang, Banten. Baik Neneng maupun Billy enggan berkomentar kepada wartawan terhadap kasus yang disangkakan kepada keduanya.

 

Mantan terpidana korupsi

Kasus suap ini bukan pertama kali yang dilakukan Billy Sindoro. Pada 2009 lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan amar putusan yang menghukum Billy dengan pidana penjara tiga tahun dan denda Rp200 juta, subsidier tiga bulan kurungan.

 

Ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menyuap Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kala itu M. Iqbal sebesar Rp500 juta di Hotel Aryaduta, Jakarta. Pemberian suap ini merupakan balas budi terkait upaya Iqbal untuk mempertahankan penguasaan hak siar Liga Inggris berlangganan merek Astro kepada PT Direct Vision dimana Iqbal merupakan salah satu komisioner dan anggota majelis komisi yang menangani perkara monopoli hak siar Liga Inggris di KPPU.

 

Begitu divonis tiga tahun penjara, Billy sebenarnya sempat mengutarakan akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, niatnya itu diurungkan. Billy tidak menandatangani akta banding sampai tenggat waktu yang ditentukan.

 

Meski terkesan menerima Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu, Billy melalui kuasa hukumnya saat itu, Humprey R Djemat ternyata menyiapkan langkah hukum lain yakni upaya hukum luar biasa dengan mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung (MA).

 

Dalam permohonan PK-nya Billy beralasan majelis hakim Pengadilan Tipikor telah melakukan kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dalam merumuskan putusan yang dijatuhkan kepada dirinya. Alasan terjadinya kekhilafan dan kekeliruan yang nyata ini sesuai dengan alasan pengajuan PK yang diatur Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP.

 

Billy beranggapan bahwa majelis hakim judex factie mengabaikan nilai keadilan karena tidak mengindahkan keberatan penasihat hukum atas pelanggaran hukum acara yang nyata-nyata dilakukan oleh penyelidik KPK. Majelis hakim malah menyatakan pelanggaran hukum acara seperti yang dituduh oleh pengacara Billy adalah wilayah praperadilan.

 

Penasihat Hukum Billy juga berargumen perkara yang menimpa Billy ini bukan kewenangan KPK dan Pengadilan Tipikor dengan beberapa alasan. Yakni, kedudukan Iqbal bukan sebagai penyelenggara negara dan perkara ini tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat atau menyangkut kerugian paling sedikit satu miliar rupiah.

 

Namun, seluruh argumen Penasihat Hukum Billy ini dibantah mentah-mentah oleh Jaksa Penuntut Umum Sarjono Turin. Majelis Hakim Agung pun juga menolak seluruh argumen pengacara Billy ini dengan menolak permohonan PK yang diajukan oleh Billy. Baca Juga: Billy Sindoro Tetap Divonis Tiga Tahun Penjara

 

Dengan ditolaknya permohonan PK ini, maka yang berlaku adalah Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta. Billy tetap harus menjalani hukuman penjara selama tiga tahun penjara. Di tingkat pertama, Billy memang divonis tiga tahun dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Billy dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Tags:

Berita Terkait