Direktur HRD Hotel Sultan Lepas dari Jerat Hukum
Berita

Direktur HRD Hotel Sultan Lepas dari Jerat Hukum

Meski semua unsur dakwaan terpenuhi, tindakan Direktur HRD Hotel Sultan yang menahan pembayaran gaji karyawan dinilai bukan tindak pidana. Putusan hakim ini dikritik akademisi dan praktisi hukum.

IHW
Bacaan 2 Menit
Direktur HRD Hotel Sultan Lepas dari Jerat Hukum
Hukumonline

Setelah sempat beberapa kali ditunda, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akhirnya mengayunkan palu vonis dalam perkara tindak pidana ketenagakerjaan yang melibatkan Direktur HRD Hotel Sultan sebagai terdakwanya, Rabu (10/9).

 

Asep Saefudin, sang Direktur, diseret ke pengadilan atas tuduhan pelanggaran Pasal 186 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Ia didakwa karena memerintahkan manajemen untuk tidak membayarkan upah Jhonson Simanjuntak, Rupi Parman, Yoyok Handoyo dan Valentino Pasaribu yang sedang menjalani masa skorsing. Asep sendiri dituntut hukuman satu tahun penjara dan denda sebesar Rp10 juta subsidair kurungan tiga bulan.

 

Jhonson dan ketiga rekannya dijatuhi sanksi skorsing pada awal Desember 2006 karena dianggap meresahkan dan memprovokasi karyawan lainnya untuk menanyakan status kerja karyawan ketika hotel itu berganti nama dari Hotel Hilton Jakarta ke Hotel Sultan pada Agustus 2006 lalu. Sejak skorsing dijatuhkan, gaji Jhonson dkk tidak dibayarkan. Gaji baru dibayarkan pada Mei 2007 setelah Jhonson dkk didampingi LBH Jakarta mengadukannya ke Polda Metro Jaya. Sampai saat ini skorsing tetap berjalan dan hotel akhirnya tetap membayarkan gaji Jhonson dkk.

 

Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Makmun Masduki -beranggotakan Lexsi Mamonto dan Agoeng Raharjo- memutuskan bahwa terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtvervolging). Selain itu, amar putusan hakim juga menyatakan agar martabat dan kedudukan terdakwa dipulihkan. Dan membebankan biaya perkara kepada negara, hakim Makmun merapal amar putusannya.

 

Menurut hakim, melihat fakta hukum dan bukti di persidangan, sebenarnya tindakan terdakwa yang memerintahkan manajemen untuk tidak membayarkan gaji sudah memenuhi semua unsur dakwaan. Meski terbukti, tapi bukan tindak pidana, tutur Makmun. Hal ini kemudian yang membuat hakim lebih memilih putusan ontslag, bukan putusan bebas (vrijspraak).

 

Lebih jauh hakim menjelaskan, kalau tindakan terdakwa lebih tepat dikualifisir sebagai perbuatan perdata. Hakim mengacu pada UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Di dalam undang-undang itu disebutkan mengenai definisi perselisihan hubungan industrial. Menurut hakim, perkara Asep Saefudin ini termasuk dalam perselisihan hubungan industrial. Majelis hakim berkesimpulan bahwa perkara ini masuk dalam ruang lingkup keperdataan, hakim Makmun menegaskan.

 

Sebelum menutup persidangan, majelis hakim kembali menekankan kalau dalam persidangan ini para pihak memiliki pandangan berbeda-beda. Kalau jaksa penuntut umum berkeyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah, sementara penasehat hukum berkeyakinan bahwa terdakwa harus dibebaskan atau vrijspraak. Majelis hakim memiliki pendapat yang berbeda, yaitu terdakwa harusnya dilepaskan. Atas putusan ini, jika kedua pihak tidak sependapat dengan majelis, silakan menempuh upaya hukum yang ada, demikian Makmun.

 

Pertimbangan hakim keliru

Dihubungi terpisah, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chaerul Huda angkat bicara mengenai putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan ontslag, kata Huda, diatur dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP. Isinya, Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan k�pada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

 

Sementara putusan bebas alias vrijspraak diatur dalam Pasal 191 Ayat (1) KUHAP. Putusan bebas dijatuhkan jika hakim berkeyakinan bahwa dakwaan tidak dapat dibuktikan kepada terdakwa.

 

Lebih jauh Huda berpendapat, banyak kalangan termasuk hakim, yang keliru menafsirkan putusan ontslag. Ada beberapa hakim yang begitu. Dengan mengatakan bahwa meski dakwaan terbukti namun karena bukan tindak pidana, lantas terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Ini keliru, ujarnya via telepon, Rabu (10/9).

 

Menurut Huda, surat dakwaan jaksa penuntut umum berisikan uraian tindak pidana. "Jadi agak aneh kalau di satu sisi mengatakan dakwaan terbukti, tapi tidak ada tindak pidana."

 

Putusan ontslag, lanjut Huda, seyogianya ditafsirkan sebagai putusan hakim yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan penghapus pidana. Jadi dakwaan dan tindak pidananya tetap terbukti. Hanya saja ada alasan penghapus pidananya.

 

Alasan penghapus pidana, dalam ilmu hukum pidana terdiri dari dua macam. Alasan pembenar dan alasan pemaaf. Contohnya macam-macam. Misalnya pembelaan diri. Atau kekerasan yang dilakukan polisi karena perintah jabatan. Atau regu penembak hukuman mati. Atau ketidakwarasan seseorang, dan beberapa contoh lain. Nah, alasan-alasan ini yang seharusnya menjadi alasan untuk melepaskan seorang terdakwa, urainya.

 

Kembali ke perkara Asep Saefudin. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim sebenarnya mengakui fakta bahwa Asep memang menyuruh bawahannya untuk memblokir sementara pembayaran gaji Jhonson dkk. Namun kemudian upah para pekerja sudah dibayarkan, sambung hakim Makmun.

 

Di sini Chaerul Huda memiliki pendapat berbeda dengan hakim. Kalau rumusan delik UU Ketenagakerjaan memang memberikan sanksi kepada pengusaha yang tidak membayar upah pekerjanya, maka ketika pengusaha tidak membayar upah, maka deliknya sudah sempurna. Terlepas kemudian pengusaha itu membayarkannya kembali, paparnya. Pandangan Huda ini senada dengan pendapat Reytman Aruan, ahli yang dihadirkan JPU.

 

Pada bagian lain, Chaerul Huda juga tidak sependapat dengan pertimbangan hakim. Menurutnya, jika hakim konsisten menilai bahwa perkara ini lebih kental dengan isu keperdataan, maka harusnya hakim membebaskan terdakwa. Bukan melepaskannya. Kalau dikatakan bahwa ini perdata, artinya dakwaan JPU tidak terbukti. Harusnya putusannya vrijspraak, bukan ontslag. Tapi sekali lagi ini aneh. Di satu sisi menyatakan unsur dakwaan terbukti, di sisi lain menyatakan ini perkara keperdataan, terus putusannya ontslag.

 

Ditemui usai persidangan, JPU Suroyo masih berkeyakinan bahwa terdakwa seharusnya dihukum. Meski begitu, ia belum berani menyatakan sikapnya untuk mengajukan upaya hukum. Saya hanya jaksa pengganti. Nggak bisa menyatakan kasasi atau tidak.

 

Hal yang sama diungkapkan Bintang Utoro, penasehat hukum terdakwa. Kami harus mengkonsultasikannya terlebih dulu dengan klien kami, tegasnya. Namun prinsipnya ia mengaku puas dengan putusan hakim yang tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.

 

Kritik pedas atas putusan hakim dilontarkan Aben. Pengacara Publik LBH Jakarta yang mendampingi Jhonson dkk ini menyatakan, Putusan tersebut menunjukkan bahwa aparat penegak hukum terutama pengadilan, khususnya hakim, tidak mempunyai perspektif hukum perburuhan.

Tags: