Diperas Media Massa? Begini Penjelasan Dewan Pers
Berita

Diperas Media Massa? Begini Penjelasan Dewan Pers

Pemerasan oleh media massa jelas melanggar kode etik. Namun penyelesaian sengketa perkara semacam ini lebih cocok dilakukan oleh pihak kepolisian.

Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pasca-krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, perkembangan kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin pesat ditandai dengan pertumbuhan media massa di Indonesia. Kemajuan teknologi juga turut mempengaruhi media penyampaian informasi kepada masyarakat. Jika dahulu informasi media massa hanya dapat diperoleh melalui koran atau majalah, saat ini media berbasis internet justru menjadi primadona bagi pembaca.

 

Dinamika politik dan rezim keterbukaan informasi menjadi latar belakang lahirnya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam hal ini, negara harus menjamin demokratisasi berpendapat dan mendapatkan informasi. Melalui UU Pers, media massa mendapatkan tempat untuk menyampaikan informasi kepada publik.

 

Namun, kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UU tetap memiliki batasan-batasan. Selain dilindungi oleh UU, kerja jurnalisme dan pekerja jurnalistik juga dibatasi oleh kode etik jurnalistik. Dalam kode etik jurnalistik salah satunya diatur bahwa wartawan Indonesia harus bersikap independen, menghasilan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Selain itu wartawan Indonesia juga diwajibkan menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

 

Kode etik adalah sebagai pedoman jurnalis dalam menjalankan tugas. Jurnalis dan media massa dilarang menggunakan ‘power’ untuk mengancam dan memeras seseorang. Hal itu jelas melanggar kode etik jurnalistik dan UU Pers mengenai itikad baik.

 

Salah satu contoh kasus pemerasan oleh media massa sempat menjadi buah bibir pada beberapa waktu lalu dialami CEO Amazon, Jeff Bezos. Ia mengaku telah diperas oleh perusahaan media yang berbasis di Amerika Serikat, National Enquirer. Bezos mengatakan, bahwa National Enquirer mengancam akan menerbitkan “foto-foto” intim yang diduga dikirim oleh Bezos kepada kekasihnya.

 

Bezos kemudian melakukan penyelidikan atas bocornya “foto-foto pribadi” tersebut pasca-perceraiannya, dengan menyewa seorang konsultan keamanan lama, Gavin De Becker. Gavin De Becker kemudian menyimpulkan bahwa kebocoran itu bermotif politik.

 

Kemudian Bezos menyampaikan tuduhan tersebut ke dalam sebuah postingan blog yang menjadi babak baru dalam drama kehidupan pribadi Bezos. Dalam blognya, Bezos mengutip sebuah email dari American Media Inc (AMI) selaku pemilik National Enquirer yang isinya adalah mengusulkan pengakuan publik dari Bezos dan De Becker bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan atau dasar bahwa pemberitaan seputar Bezos yang terbit dalam National Enquirer bermotif politik.

 

Menurut email tersebut, sebagai imbalan atas pengakuan seperti itu AMI menawarkan untuk tidak mempublikasikan, mendistribusikan, berbagi, atau menggambarkan teks dan foto yang tidak dipublikasikan. Atas isi email tersebut Bezos menyebut bahwa pernyataan yang AMI usulkan salah, dan menggambarkan tawaran itu sebagai pemerasan.

 

Baca:

 

Terlepas dari kasus yang terjadi di Amerika Serikat tersebut, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga Dewan Pers Nezar Patria menegaskan bahwa praktik pemerasan yang dilakukan oleh media massa ataupun jurnalis tidak masuk dalam bagian jurnalisme. Tindakan seperti itu adalah perbuatan kriminal.

 

“Itu tindakan kriminal. Kerja jurnalistik tidak boleh ada iktikad buruk, tidak boleh menggunakan cara-cara yang tidak etis. Apa yang dilakukan media dengan memeras itu bertentangan dengan kode etik jurnalistik, dan tidak masuk ke dalam hukum pers. Tapi itu masuk ke ranah pidana, kriminal,” kata Nezar kepada hukumonline, Sabtu (23/2).

 

Perkara-perkara demikian, lanjutnya, akan lebih pas jika dilaporkan kepada pihak berwajib atau kepolisian. Dalam praktik di Indonesia, Dewan Pers bisa saja melakukan teguran terhadap media massa bersangkutan karena melanggar kode etik. Dalam UU Pers, salah satu fungsi Dewan Pers adalah mengawasi kode etik jurnaslitik dan memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

 

“Ada namanya press complain, menerima komplain tentang pemberitaan media. Misalnya pencemaran nama baik itu bisa diadukan ke dewan pers. Tapi kalau blackmail, pemerasan itu masuknya kriminal,” jelasnya.

 

Nezar menjelaskan, Dewan Pers tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan kegiatan jurnalistik terhadap media yang melakukan pemerasan karena UU Pers tidak mengatur hal tersebut. Satu-satunya pasal pidana yang terdapat dalam UU Pers adalah Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) yang ditujukan terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3).

 

Pasal 4:

(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Pasal 18:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).

Tags:

Berita Terkait