Dipecat Lantaran Mempertanyakan Kenaikan Upah
Utama

Dipecat Lantaran Mempertanyakan Kenaikan Upah

Upah selama proses PHK tidak pernah dibayar. Perusahaan beralasan tindakan pekerja telah meresahkan suasana kerja di perusahaan.

IHW
Bacaan 2 Menit
Dipecat Lantaran Mempertanyakan Kenaikan Upah
Hukumonline

 

Awal April 2008, manajemen perusahaan mengundang Saroni dkk untuk membahas tuntutan pekerja. Sayang, di pertemuan awal, konflik makin meruncing. Saroni dkk menilai perusahaan tidak beriktikad baik untuk menyelesaikan masalah secara bipartit. Pasalnya, saat itu perusahaan juga diwakili oleh seorang pengacara. Setelah pertemuan, perusahaan langsung mengeluarkan surat yang melarang Saroni, Ratini dan Adirin bekerja selama satu bulan.

 

Setelah habis masa skorsing, tidak berarti trio karyawan itu langsung bekerja. Perusahaan langsung memperpanjang masa skorsing untuk proses pemecatan. Sejak saat itu Saroni dkk tidak lagi bekerja dan tidak mendapatkan upah.

 

Upaya musyawarah selanjutnya pun menemui jalan buntu. Saroni dkk lalu memilih mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Mereka menuntut agar perusahaan  mempekerjakan mereka kembali. Selain itu, mereka juga meminta agar perusahaan membayar upah selama skorsing yang tidak dibayar sejak April hingga September 2008.

 

Kuasa hukum Saroni dkk dari Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi DKI Jakarta, menilai perusahaan telah sewenang-wenang. Mereka (Saroni dkk, red) hanya menanyakan kenaikan gaji. Kenapa harus diskorsing? papar C. Supiandi, salah seorang kuasa hukum Saroni.

 

Merujuk pada Pasal 28 UU Serikat Pekerja, pengusaha dilarang menghalangi pengurus serikat pekerja dalam menjalankan kegiatannya. Salah satu bentuk penghalangan yang tegas dilarang adalah pemberhentian sementara alias skorsing maupun pemutusan hubungan kerja.

 

Pelanggaran yang dilakukan perusahaan tidak hanya itu. Mengacu pada Pasal 151 Ayat (3)  UU Ketenagakerjaan, upah pekerja yang diskorsing dalam rangka PHK, tetap harus dibayar. Faktanya, dari April hingga sekarang, gaji tak dibayar juga, kata Supiandi.

 

Meresahkan

Sudjanto Sudiyana, kuasa hukum Hotel Surya punya cerita berbeda. Menurutnya, sanksi skorsing yang dijatuhkan perusahaan bukan bentuk pembalasan terhadap Saroni dkk. Skorsing dijatuhkan karena mereka telah menghasut pekerja lain untuk membeberkan prosentase kenaikan gaji yang diperoleh masing-masing pekerja, kata Sudjanto lewat telepon, Kamis (23/10).

 

Bagi Sudjanto, membicarakan besaran gaji kepada pekerja lain adalah hal yang tabu. Harusnya dirahasiakan. Nggak usah diomongin sama pekerja yang lain. Apalagi sampai membuat tabel perbandingan, ujarnya.

 

Bocornya informasi gaji seorang pekerja kepada pekerja lain, menurut Sudjanto bisa beresiko. Bisa menimbulkan kecemburuan. Ujung-ujungnya bisa mempengaruhi produktivitas pekerjaan, jelasnya. Atas dasar itu, kami menilai tindakan penggugat (Saroni dkk, red) sudah meresahkan perusahaan sehingga harus diskorsing untuk di-PHK.

 

Mengenai tidak dibayarkannya upah selama skorsing, Sudjanto punya argumen sendiri. Setahu saya, tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk membayar upah pekerjanya yang sedang diskorsing menuju PHK.

 

Sekedar catatan, Direktur HRD Hotel Sultan pernah diseret ke pengadilan gara-gara tidak membayar upah pekerjanya yang sedang dalam proses PHK. Bahkan dalam perkara serupa, Mahkamah Agung juga sudah menjatuhkan hukuman kepada Direktur Utama PT Philia Mandiri Sejahtera.

Saroni, Ratini dan Adirin tidak habis pikir. Pengabdian mereka ketika bekerja selama berpuluh-puluh tahun di Hotel Surya, Jakarta, tidak dihargai. Terhitung sejak April 2008 lalu, mereka bertiga diberhentikan sementara alias skorsing oleh perusahaan. Sebulan kemudian, keluar lagi 'surat cinta' dari perusahaan. Isinya, masa skorsing mereka diperpanjang untuk menuju proses pemutusan hubungan kerja.

 

Di hotel itu, Saroni dkk bukan karyawan dengan jabatan setingkat manajer. Saroni misalnya  sejak 1977 bertugas menjadi penerima tamu (front office). Ratini bekerja sebagai house keeping mulai 1989. Sementara Adirin sebagai teknisi sejak 1992. Di luar pekerjaan sehari-hari, mereka aktif sebagai pengurus serikat pekerja di perusahaan.

 

Perkara Saroni dkk berawal ketika pada awal Februari 2008, mereka didatangi pekerja lain untuk bertanya seputar kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta 2008. Mengacu pada pemberitaan media, Saroni dkk menjelaskan bahwa upah minimum di Jakarta mengalami kenaikan 8 persen dari tahun sebelumnya.

 

Singkat cerita, Saroni dkk bersama dengan karyawan lain membuat tabel perbandingan gaji tahun 2007 dengan gaji tahun 2008 yang baru dinaikkan oleh perusahaan. Mereka mendapati fakta bahwa ternyata prosentase kenaikan gaji mereka masih lebih kecil ketimbang prosentase kenaikan upah minimum Jakarta.

 

Saroni, Ratini dan Adirin sebagai pengurus serikat pekerja lantas membuat surat kepada pemimpin perusahaan pada Maret 2008. Isinya memohon agar perusahaan bersedia menaikan gaji paling tidak  hingga 8 persen. Kami melakukan ini semata-mata untuk menjalankan fungsi dan kewajiban kami sebagai serikat pekerja, kata Saroni.

Halaman Selanjutnya:
Tags: