Dinilai Kehilangan Objek, MK ‘Mentahkan’ Uji Perppu Covid-19
Berita

Dinilai Kehilangan Objek, MK ‘Mentahkan’ Uji Perppu Covid-19

Karena dengan diundangkannya UU No. 2 Tahun 2020, maka Perppu No. 1 Tahun 2020 sudah tidak lagi ada secara hukum.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak menerima pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi karena objek permohonan pemohon sudah kehilangan objek yang di uji.

“Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan Putusan MK No. 23/PUU-XVIII/2020 dan 24/PUU-XVII/2020 di ruang sidang MK, Selasa (23/6/2020). (Baca Juga: Begini Nasib ‘Gugatan’ Perppu Covid-19 Setelah Disetujui DPR)

Mahkamah terlebih dahuulu mempertimbangkan fakta hukum baru terkait permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf a angkat 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 27; dan Pasal 28 Perppu No. 1 Tahun 2020. Fakta hukum baru itu berupa adanya perubahan status hukum Perppu No. 1 Tahun 2020.

Dalam persidangan pemeriksaan pada 20 Mei 2020, Mahkamah mengagendakan untuk meminta keterangan kepada Presiden dan DPR perihal persetujuan Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi UU. Dalam sidang pemeriksaan tersebut, kuasa hukum Presiden menerangkan Perppu No. 1 Tahun 2020 telah disetujui DPR menjadi UU.

Dalam putusannya, menurut kuasa hukum Presiden, Perppu No. 1 Tahun 2020 sudah mendapat persetujuan DPR menjadi UU dan telah disahkan oleh Presiden pada 16 Mei 2020. Selanjutnya, diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 18 Mei 2020 menjadi UU No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020.

Untuk mendukung keterangan tersebut, kuasa hukum Presiden telah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara tanggal 18 Mei 2020 perihal permohonan pengundangan dalam kembaran negara. Atas fakta hukum itu, Mahkamah meyakini bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 telah menjadi UU No. 2 Tahun 2020.

“Dengan diundangkannya UU No. 2 Tahun 2020, maka Perppu No. 1 Tahun 2020 sudah tidak lagi ada secara hukum. Hal ini berakibat permohonan para pemohon untuk pengujian konstitusionalitas Perppu No. 1 Tahun 2020 telah kehilangan objek,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah. (Baca Juga: Perppu Covid-19 Jadi UU, Pemohon Ajukan Permohonan Baru)

Meskipun, Mahkamah berwenang mengadili permohonan para pemohon, namun karena telah kehilangan objek, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan para pemohon dan hal-hal lainnya terkait permohonan tidak pula dipertimbangkan.

Seperti diketahui, permohonan ini diajukan oleh, Pertama, Perkara No. 23/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lain dari berbagai latar belakang profesi. Kedua, Perkara No. 24/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lain.

Permohonan Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Ahmad Yani menilai Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Perppu a quo tidak memenuhi parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019.

Sementara dalam Perppu a quo, lebih banyak dibahas masalah keuangan dan anggaran negara berupa pemberian kewenangan bagi Pemerintah untuk menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap UU APBN sejak 2020 hingga tahun 2022. Pengaturan demikian, kata Ahmad, bertentangan dengan karakter periodik UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena mengikat tiga periode sekaligus.

Para Pemohon juga melihat ketentuan norma a quo membuka peluang defisit anggaran di atas 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya. Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Padahal, ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyebut UU APBN harus mendapatkan persetujuan rakyat yang diwakili oleh DPR.

Salah satu Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 Boyamin Bin Saiman mengutip Pasal 27 ayat (1) Perppu ini yang menyebutkan biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukan kerugian negara. Padahal sumber keuangan tersebut berasal dari keuangan negara. Hal ini memberi imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan.

“Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.”

Menurutnya, dalam Pasal 27 ayat (2) Perppu terdapat kata “jika” yang dapat saja dijadikan dalih bagi Presiden atau Pemerintah untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum. Karena itu, kata “jika” dapat bersifat multitafsir dan pejabat akan berlindung dari frasa “itikad baik” untuk lepas dari tuntutan hukum. “Jika imunitas ini perlu diberikan, maka batasannya harusnya bersyarat, sehingga kekebalan ini seharusnya tidak merugikan rakyat termasuk para Pemohon,” katanya.

Tags:

Berita Terkait