Dinilai Gagal Deteksi Djoko Tjandra, Presiden Diminta Evaluasi Kinerja BIN
Berita

Dinilai Gagal Deteksi Djoko Tjandra, Presiden Diminta Evaluasi Kinerja BIN

Namun, anggota Komisi I DPR Abdul Kadir Karding menilai mengevaluasi kinerja Kepala BIN menjadi tidak proporsional bila dikaitkan dengan kasus buron Djoko Tjandra.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Keluar dan masuk kembali ke wilayah Indonesia setelah buron kasus korupsi cessie Bank Bali sebesar Rp940 miliar, Djoko Tjandra tak lepas dari bantuan oknum aparat penegak hukum. Badan Intelijen Negara (BIN) pun tak luput menjadi pihak yang dituding turut bertanggung jawab atas masuk dan kaburnya Djoko Tjandra ke Indonesia.

“Mudahnya koruptor lalu lalang ke Indonesia menjadi tamparan keras bagi semua aparat penegak hukum,” ujar peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada Hukumonline, Rabu (29/7/2020). (Baca Juga: Koalisi Minta Kasus Djoko Tjandra Diusut Menyeluruh dan Tuntas)

Dia melihat sosok Djoko Tjandra yang dapat dengan mudah keluar masuk Indonesia pun menunjukan betapa lemahnya BIN dalam mendeteksi keberadaan koruptor kelas kakap itu. Mulai masuk ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor. Kemudian membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Hal ini membuktikan instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal,” kata dia.

ICW mencatat sejak 1996 hingga 2020 setidaknya terdapat 40 koruptor buron. Lokasi yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian koruptor antara lain, New Guinea, Cina, Singapura, Hongkong, Amerika Serikat dan Australia. Institusi penegak hukum yang belum mampu menangkap buronan koruptor antara lain, Kejaksaan 21 orang buron, Kepolisian 13 orang buron, dan KPK 6 orang buron.

BIN memang berhasil memulangkan dua buron kasus korupsi yakni mantan Bupati Temanggung Totok Ari Prabowo yang ditangkap di Kamboja pada 2015 lalu. Kemudian Samadikun Hartono di Cina, 2016 lalu. “Namun berbeda dengan kondisi saat ini, praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN.”

Peneliti ICW lain, Wana Alamasyah mengingatkan Penjelasan UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara mendefinisikan bentuk ancaman yang menjadi tanggung jawab BIN, salah satunya ancaman ekonomi nasional. Padahal, mendeteksi keberadaan buron kasus korupsi dan menginformasikan ke penegak hukum menjadi satu tugas BIN.

Pasal 2 huruf d jo Pasal 10 ayat (1) UU 17/2011 mengatur koordinasi dan fungsi intelijen dalam dan luar negeri. Oleh sebab itu, pencarian dan sirkulasi informasi BIN belum menunjukan hasil maksimal. Negara mengalokasikan anggaran bagi BIN sebesar Rp7,4 triliun. Sementara Rp2 triliun digunakan bagi operasi intelijen luar negeri.

Selain itu, terdapat alokasi anggaran sebesar Rp1,9 triliun untuk modernisasi peralatan teknologi intelijen. Besarnya anggaran yang diterima itu tak berbanding dengan masih banyaknya jumlah buronan yang masih berkeliaran di luar Indonesia. “Hal ini tidak linear dengan kinerja BIN,” kritiknya.

Berdasarkan sejumlah alasan itu, ICW meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Kepala BIN Budi Gunawan. Pasalnya, BIN di bawah Budi Gunawan dinilai gagal mendeteksi keberadaan Djoko Tjandra yang dengan mudahnya keluar masuk Indonesia tanpa hambatan. “Presiden Joko Widodo segera memberhentikan Kepala BIN Budi Gunawan, jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa adanya informasi intelijen mengenai koruptor yang masuk ke wilayah Indonesia, namun tidak disampaikan kepada Presiden dan penegak hukum,” pintanya.

Berlebihan

Terpisah, anggota Komisi I DPR Abdul Kadir Karding punya pandangan berbeda. Menurutnya kinerja Kepala BIN menjadi tidak proporsional dievaluasi bila dikaitkan dengan kasus buron Djoko Tjandra yang dapat dengan mudah keluar masuk Indonesia. Dia menilai kewenangan penegakan hukum dalam menangkap buron berada di tangan penegak hukum yakni polisi dan interpol, Kejaksaan, dan KPK.

“Terlampau berlebihan menjadikan kinerja BIN sebagai salah satu kelemahan untuk menangkap Djoko Tjandra,” kata Abdul Kadir Karding.  

Dia melihat kasus Djoko Tjandra terdapat beberapa pihak oknum aparat penegak hukum yang diproses secara etika, dicopot jabatan hingga pidana. Seperti Brigjen Pol Prasetijo Utomo, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Nugroho Slamet Wibowo. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menilai proses etik dan hukum terhadap sejumlah oknum menunjukan adanya persekongkolan oknum penegak hukum.

“Ini tidak berasal dari aparat BIN. Bila melihat kewenangan BIN lebih pada penyediaan informasi kepada Presiden,” kata dia.

Lagipula melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 79 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Pepres No.90 Tahun 2012 tentang Badan Intelijen Negara (BIN), tugas lembaga tersebut lebih pada hal besar, seperti keamanan nasional. “Kalau ada pihak yang ingin disalahkan, tentu pada proses hukum saja. Kalau sudah diproses, kita tunggu dan kita desak atau kita pantau proses hukum berjalan seperti apa,” katanya.

Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menjadi orang yang menginformasikan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia saat mendaftarkan permohonan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bulan lalu di depan anggota Komisi III DPR. Jaksa Agung mengakui adanya kelemahan intelijen Kejaksaan yang tak mampu mendeteksi masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia. Karenanya, ia bakal mengevaluasi fungsi intelijen Kejaksaan Agung.

Tags:

Berita Terkait