Mengenai bela negara, Al menilai seharusnya terlebih dulu melihat dinamika lingkungan strategis di Indonesia, antara lain potensi munculnya ancaman militer dan nonmiliter. Mengutip survei LIPI 2018, Al menyebut ancaman perang di Indonesia tergolong minim hanya 11 persen. Ancaman paling tinggi yakni kejahatan transnasional (88 persen); terorisme (79 persen); penyebaran ideologi nonpancasila (70 persen); separatis bersenjata (46 persen); dan sengketa perbatasan (44 persen).
Menurut Al, bela negara seharusnya diatur UU tersendiri sebagaimana diatur Pasal 9 UU Pertahanan Negara. Tapi alih-alih menerbitkan UU tentang Bela Negara, pemerintah dan DPR menerbitkan UU No.23 Tahun 2019 yang salah satu isinya mengatur tentang bela negara. Konsep bela negara seharusnya dipahami secara luas, bukan sekedar pendidikan dasar kemiliteran, tapi bentuk dan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun negara yang lebih maju dan demokratis.
Untuk itu, Al mengusulkan dilakukan reformulasi bela negara, antara lain menekankan aspek kognitif, sehingga instrumen yang paling tepat adalah melalui pendidikan. Bela negara harus dibangun dalam ruang dialogis dan partisipatif, bukan indoktrinasi seperti masa orde baru. Cakupan aspek bela negara lebih luas dan fokusnya pendidikan kewarganegaraan.
“Dalam aspek pertahanan, bela negara yang dikelola kementerian pertahanan ditujukan untuk pertahanan dalam konteks persiapan perang dalam bentuk komponen cadangan dengan subyek pelatihan para PNS,” sarannya.
Dia mengingatkan sedikitnya 4 hal terkait UU No.23 Tahun 2019. Pertama, pembentukan komponen cadangan tanpa pengaturan yang lebih rinci dan benar akan menimbulkan masalah sendiri bagi keamanan, kebebasan, dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Kedua, pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk melakukan implementasi atas UU No.23 Tahun 2019. “Presiden perlu meninjau ulang penerapan UU No.23 Tahun 2019 ini,” usulnya.
Ketiga, agenda pelatihan dasar kemiliteran di dalam kampus sebagai bagian kegiatan bela negara dan komponen cadangan dinilai tidak urgent dan tidak tepat. Keempat, pemerintah sebaiknya fokus untuk memperkuat dan menata secara benar komponen utama yakni TNI. Penguatan ini diperlukan antara lain untuk alutsista, peningkatan profesionalitas, dan kesejahteraan prajurit.
Advokat Publik LBH Jakarta, Saleh Al Ghifari, juga menyoroti absennya ketentuan yang mengatur pengecualian bagi mereka yang menolak penugasan militer karena dianggap bertentangan dengan kepercayaannya. “Hal ini melanggar Pasal 18 Kovenan Sipol yang melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama,” kata dia.
Menurutnya, mobilisasi sesuai UU No.23 Tahun 2019 bentuknya hanya penetapan menteri dan penetapan pemerintah yang seharusnya melibatkan pengawasan parlemen (DPR), Mengingat banyak ketentuan dalam UU No.23 Tahun 2009 yang tidak selaras dengan HAM, Gifar menyebut koalisi organisasi masyarakat sipil berencana melakukan uji materi UU PSDN ke MK.