Dinilai Abai Rekomendasi UPR, Koalisi: Komitmen Pemerintah Terhadap HAM Dipertanyakan
Terbaru

Dinilai Abai Rekomendasi UPR, Koalisi: Komitmen Pemerintah Terhadap HAM Dipertanyakan

Dari 269 rekomendasi sidang UPR putaran keempat pada November 2022, pemerintah Indonesia hanya menerima 205 rekomendasi dan menolak 59 lainnya. Ada 5 rekomendasi diterima sebagian.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Indonesia telah melaporkan situasi Hak Asasi Manusia (HAM) kepada PBB melalui Universal Periodic Review(UPR) Putaran Keempat di Jenewa, Rabu (09/11/2022) lalu. Berbagai negara dalam  dalam forum PBB memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk membenahi situasi hak asasi manusia (HAM). Melansir data resmi Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR), dari 269 rekomendasi pemerintah Indonesia hanya menerima 205 dan menolak 59 rekomendasi. Selain itu ada 5 rekomendasi yang diterima sebagian. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantauan UPR pun menyesalkan langkah pemerintah Indonesia.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani, mencatat rekomendasi yang ditolak pemerintah seperti pelanggaran HAM di Papua, female genital mutilation, kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat, pencabutan atau revisi aturan-aturan hukum yang represif, hak-hak kelompok rentan (perempuan, anak, LGBTQI+). Kemudian pencegahan terhadap kejahatan kemanusiaan melalui ratifikasi ICC (Statuta Roma), serta penghapusan dan/atau moratorium hukuman mati.

Untuk Papua, Indonesia mendapat 10 rekomendasi, tapi hanya 5 yang diterima seperti jaminan kebebasan berekspresi dan berkumpul serta investigasi dugaan pelanggaran HAM. Rekomendasi yang ditolak antara lain kunjungan oleh kantor Komisaris Tinggi HAM PBB atau pengamat independen ke Papua. Padahal tahun 2018 Presiden Jokowi berjanji akan mengundang komisioner tinggi HAM PBB ke Papua untuk melihat dan mendengar lebih dekat situasi tentang Papua.

“Namun janji itu secara resmi dan terbuka diingkari sendiri oleh Pemerintah Indonesia melalui respon terhadap rekomendasi UPR Putaran Keempat ini,” kata Julius, Jumat (24/03/2023).

Baca juga:

Pemerintah menolak lebih dari 20 rekomendasi tentang penghapusan dan/atau moratorium hukuman mati termasuk ratifikasi Second Optional Protocol  International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pemerintah Indonesia berdalih hukuman mati akan terus berada dalam hukum positif Indonesia. Sebab pemerintah Indonesia menganggap hukuman mati sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia.

Julius menilai hukuman mati bertentangan dengan asas restorative justice dan semangat reintegrasi sosial pemasyarakatan. Pemerintah Indonesia juga berkelit dengan dalih dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP, hukuman mati merupakan hukuman alternatif. Ada 5 rekomendasi untuk menghapus atau merevisi UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka umum.

Sayangnya, pemerintah menolak rekomendasi tersebut. Julis berpendapat penolakan itu menegaskan pemerintah tidak mau menjamin hak-hak sipil dan politik setiap orang yang ada di yurisdiksinya, seiring dengan semakin intensnya kriminalisasi terhadap para pembela HAM, seperti Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.

“Hal-hal tersebut semakin mempertegas arah pemerintah Indonesia yang semakin anti kritik dan beranjak menuju otoritarianisme,” tegasnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menambahkan, pemerintah Indonesia mendapat lebih dari 5 rekomendasi mengenai perlindungan dan penjaminan atas hak-hak kelompok minoritas gender dan orientasi seksual  alias Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer dan lainnya (LGBTQI+). Dari jumlah itu ada 3 rekomendasi mendorong pemerintah untuk mencabut, atau merevisi, aturan diskriminatif terhadap LGBTQI+.

Tapi ketiga rekomendasi itu ditolak dengan alasan tidak ada satu pun aturan hukum nasional yang mengatur secara spesifik mengenai kelompok LGBTQI+. Padahal, dalam laporan-laporan organisasi masyarakat sipil, disebutkan bahwa di dalam KUHP terbaru mengenai Living Law sangat potensial melegitimasi diskriminasi atas kelompok LGBTQI+. Selain itu, saat ini begitu banyak aturan hukum daerah yang sangat diskriminatif terhadap kelompok LGBTQI+.

“Saat ini, tercatat ada 45 regulasi anti-LGBTQI+ di Indonesia. Perda-perda ini telah memicu daerah lain untuk membuat raperda serupa,” ujar Isnur.

Pemerintah juga menolak penghapusan praktik female genital mutilation yang sangat berisiko bagi perempuan. Menolak meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (OP-CEDAW). Serta menolak rekomendasi untuk menghentikan praktik kawin paksa maupun pernikahan di bawah umur yang sangat rentan bagi anak-anak.

Berdasarkan sikap pemerintah terhadap berbagai rekomendasi UPR itu koalisi menilai pemerintah memilah fakta tanpa dasar dan suka-suka saja serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Pemerintah mengabaikan berbagai kajian dan temuan yang dilaporkan masyarakat sipil mengenai situasi pelanggaran HAM di Papua, pentingnya perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan, urgensi untuk menghapuskan hukuman mati, dan penyempitan ruang sipil serta perampasan ruang hidup di Indonesia.

”Oleh sebab itu, komitmen pemerintah Indonesia terhadap HAM sangat patut dipertanyakan,” pungkas Isnur.

Koalisi masyarakat sipil untuk pemantauan UPR terdiri atas sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Antara lain HRWG, YLBHI, PBHI, Arus Pelangi, Kalyanamitra, Imparsial, YAPPIKA-ActionAid, LBH Pers, IKOHI, LBH Jakarta, AJI Indonesia, SKPKC Papua, Migrant CARE, GAYa Nusantara menyoroti rekomendasi yang ditolak pemerintah.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia menyampaikan keberhasilan serta tantangan negara dalam melakukan pembangunan nasional di bidang HAM selama 5 tahun belakangan. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan banyak kemajuan yang telah dicapai. Tapi pemerintah Indonesia pun tak mengabaikan adanya sejumlah tantangan.

“Khususnya ketika kita semua menghadapi ujian yang berat dengan adanya Pandemi Covid-19,” ujar Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly, sebagaimana dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri RI, Rabu (9/11/2022).

Pada dialog interaktif yang dihadiri 108 negara anggota PBB itu, Indonesia mendapatkan sejumlah pertanyaan beserta rekomendasi tentang kebijakan pemajuan HAM di negara. Seperti isu revisi KUHP, hukuman mati, ratifikasi optional protokol konvensi anti penyiksaan, kebebasan beragama dan berekspresi, perlindungan terhadap hak wanita, anak dan disabilitas, hingga Papua. Menerima sejumlah pertanyaan dan rekomendasi negara-negara anggota PBB, pemerintah telah mencatat untuk dipertimbangkan kembali.

“Pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan rekomendasi yang diterima untuk ditindaklanjuti dan menjadi bagian penting dari kebijakan HAM nasional selama lima tahun berikutnya,” kata Yasonna.

Tags:

Berita Terkait