Dimohonkan Pailit, Begini Penjelasan Hukum Status Hunian Sentul City
Berita

Dimohonkan Pailit, Begini Penjelasan Hukum Status Hunian Sentul City

Pada dasarnya hapusnya PPJB tidak serta merta menghapuskan Perjanjian Kredit yang merupakan perjanjian terpisah.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Perusahaan pengembang perumahan PT Sentul City, Tbk diketahui tengah dimohonkan pailit. Permohonan pernyataan pailit tersebut didaftarkan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 35/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niaga Jkt.Pst, Jumat (7/8) lalu. Berdasarkan keterangan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, status perkara saat ini sedang pada penunjukkan juru sita.

Adapun petitum yang dimohonkan antara lain: Pertama, menerima dan mengabulkan Permohonan Pailit Para Pemohon Pailit untuk seluruhnya; Kedua, menyatakan Termohon PT. Sentul City, Tbk, yang beralamat di Gedung Menara Sudirman, Lantai 25, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 60, Jakarta Selatan, 12190 dalam keadaan Pailit dengan segala akibat hukumnya; Ketiga,menunjuk Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk mengawasi proses Pailit Termohon Pailit/PT. Sentul City, Tbk.

Sementara Keempat, menunjuk dan mengangkat tiga orang kurator: Dedy Dwi Yuliantyo, Eduard Salomon Matondang, Alvonso Alberto, untuk bertindak selaku Tim Kurator untuk mengurus harta Termohon Pailit dalam hal Termohon Pailit dinyatakan Pailit; Kelima, menetapkan Fee Pengurus dan Fee Kurator menjadi beban harta kepailitan; dan keenam membebankan seluruh biaya perkara kepada Termohon Pailit.

Pertanyaannya, bagaimana nasib debitor atau penghuni rumah yang masih terikat perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Sentul City jika permohonan pailit nantinya dikabulkan pengadilan? Menjawab pertanyaan ini, Advokat pada Albert Aries & Partners, Esther Roseline dalam klinik hukumonline menjelaskan terdapat dua kemungkinan status yang dimiliki debitor. Pertama, rumah yang dibeli sudah siap secara fisik dan tinggal ditempati. (Baca Juga: Pemerintah Target UU Hukum Perdata Internasional Rampung di 2022)  

Menurut Esther, dalam hal setelah permohonan KPR disetujui Bank di mana hal ini berarti Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) telah ditandatangani dan uang muka telah dibayar dan Akad Kredit dengan bank telah ditandatangani, maka bank akan mentransfer dana ke pihak developer dan Notaris akan memproses Akta Jual Beli (AJB) serta pembalikan nama sertifikat tanah atas.

Dengan begitu objek rumah yang dibeli sudah menjadi milik debitor. Karena itu, menurut Esther, jika di tengah jalan developer bangkrut atau dinyatakan pailit, status rumah tidak akan menjadi boedel pailit yang akan dibereskan oleh kurator untuk membayar utang–utang developer. Di samping itu, cicilan debitor kepada bank tetap harus dilanjutkan sesuai Perjanjian Kredit yang ditandatangani.

“Rumah yang sudah atas nama Anda sebagai pembeli ini akan langsung dibebankan Hak Tanggungan oleh pihak Bank. Selain itu, surat–surat seperti AJB, sertifikat hak atas tanah, dan termasuk Izin Mendirikan Bangunan, dipegang oleh pihak Bank sebagai jaminan sampai semua cicilan kepada Bank telah dilunasi,” terang Esther.

Sementara untuk status kedua, bila rumah yang dibeli belum jadi secara utuh, kemudian developer dinyatakan bangkrut dan tidak dapat melanjutkan pembangunan maka debitor hanya memegang PPJB yang telah ditandatangani dengan pihak developer, bukan AJB atau sertifikat tanah. Hal ini berarti objek rumah tersebut masih menjadi milik developer dan belum beralih. Dengan begitu rumah tersebut menjadi bagian dari boedel pailit. (Baca Juga: Permohonan Kepailitan dan PKPU Masih Tinggi, POJK 11/2020 Dinilai Belum Maksimal)

“Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, PPJB tersebut juga belum bisa diproses AJB sebelum rumah tersebut diselesaikan pembangunannya dan telah siap untuk dihuni,” ungkap Esther.

Menurut Esther, ketika developer pailit PPJB secara otomatis akan hapus. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi”.

Dalam status ini, penghuni rumah tidak dapat menuntut diprosesnya AJB berdasarkan PPJB tersebut ketika developer dinyatakan pailit. Yang dapat penghuni rumah lakukan adalah menuntut ganti rugi kepada developer sebagai kreditor konkuren berdasarkan Pasal 115 ayat (1) UU KPKPU.

Semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda.

Kewajiban Debitor

Pada dasarnya hapusnya PPJB tidak serta merta menghapuskan Perjanjian Kredit yang merupakan perjanjian terpisah. Dalam hal ini, debitor harus melihat bahwa terjadi 3 (tiga) perjanjian yang harus dilihat secara terpisah. Pertama,  PPJB yang mana pihaknya adalah: debitor sebagai pembeli dan developer sebagai penjual; Kedua,  Perjanjian Kredit dimana pihaknya adalah penghuni rumah sebagai debitor dan Bank sebagai Kreditur; Ketiga, perjanjian Kerjasama beserta jaminan yang mana pihaknya adalah Bank dan Developer.

Untuk itu, seluruh kewajiban yang tertulis dalam Perjanjian Kredit masih berlaku terhadap Bank dan debitor (termasuk cicilan KPR). Namun kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah gagal melakukan kewajiban tersebut (wanprestasi) dibenarkan oleh hukum atas dasar kepailitan developer?

Menurut Pasal 1243 KUH Perdata, penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Karena itu, kelalaian memenuhi kewajiban sebuah perikatan harus disertai dengan penggantian biaya, rugi dan bunga. Namun menurut Pasal 1244 – 1245 KUH Perdata:

Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Tidaklah biaya, rugi, dan bunga harus digantinya apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan terlarang.

Menurut Esther, Wanprestasi yang disebabkan oleh keadaan memaksa tidak akan mewajibkan debitor mengganti biaya, rugi, dan bunga. Lalu apakah kepailitan developer termasuk dalam keadaan memaksa?

Mengutip Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya hukum perikatan dalam KUH Perdata: Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan Buku Ketiga, ada tiga elemen yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa: tidak memenuhi prestasi, ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitor; dan faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor.

Esther menilai kepailitan developer memenuhi seluruh unsur tersebut dan termasuk dalam kategori keadaan memaksa yang dapat mengecualikan debitor (pembeli) dari keharusan membayar biaya, rugi, dan bunga, jika debitor tidak meneruskan cicilan KPR. Dalam hal ini, risiko keadaan memaksa tersebut akan ditanggung oleh pihak developer melalui jaminan yang sebelumnya ditahan oleh pihak Bank dalam perjanjian kerjasama antara Bank dan developer.

“Justru, Anda dapat menuntut ganti rugi kepada developer sebagai Kreditor Konkuren,” tutup Esther.

Tags:

Berita Terkait