Diminta Cabut Aturan Izin Ambil Foto-Rekam Persidangan, Ini Kata MA
Utama

Diminta Cabut Aturan Izin Ambil Foto-Rekam Persidangan, Ini Kata MA

Karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Permintaan izin yang dimaksud dalam hal ini, jangan ditafsirkan secara kaku memahaminya. Jangan menafsirkan sendiri tanpa membaca konsiderans Perma ini.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

“Untuk itu, PFI mendesak MA untuk mencabut Perma No. 5 Tahun 2020 ini karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” pintanya.

Senada, Koalisi Pemantau Peradilan yang terdiri IJRS, ICJR, YLBHI, ELSAM, PBHI, LBH Masyarakat, PIL-Net, ICEL, memandang pada sidang yang terbuka untuk umum, mengambil foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual bagian dari akses keadilan dan keterbukaan informasi publik yang justru harus dijamin oleh MA sepanjang tidak mengganggu jalannya persidangan.

“Izin dari hakim/ketua majelis hakim baru relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa/jurnalis membawa peralatan atau dengan cara-cara yang pada dasarnya akan mengganggu tidak hanya persidangan, namun pengadilan secara keseluruhan,” ujar salah anggota Koalisi, Sekjen PBHI Julius Ibrani saat dikonfirmasi.  

Koalisi mengingatkan prinsip peradilan terbuka untuk umum sesuai Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak. Bahkan implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi, maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum. 

Bila aturan ini diterapkan, MA juga harus menjamin setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat secara bebas dan aktual. Sekedar membatasi tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait persidangan, hal ini bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum.

Bagi Koalisi, aturan ini juga berdampak terhadap kerja–kerja Advokat yang membutuhkan dokumentasi materi persidangan untuk dapat melakukan pembelaan secara maksimal. Aturan ini juga akan berdampak bagi kerja-kerja teman-teman pemberi bantuan hukum yang seringkali mengalami hambatan mendapat akses keadilan di persidangan. Secara lebih luas, hal ini akan berdampak serius terhadap akses keadilan masyarakat dan mereduksi keterbukaan informasi yang juga diwajibkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia.

“Koalisi memahami diperlukan ketenangan bagi Majelis Hakim yang menyidangkan perkara untuk dapat memeriksa dan memutus perkara dengan cermat dan hati–hati. Namun kami melihat ada cara lain untuk dapat mengatur ketertiban di ruang sidang dengan memperhatikan kepentingan berbagai pihak terkait dalam persidangan, termasuk pihak yang membutuhkan akses keadilan dari memfoto, merekam, dan meliput persidangan,” katanya. 

Terpisah, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan sebenarnya Perma 5/2020 tidak melarang. “Coba baca baik baik baca redaksinya, hanya dinyatakan perlu izin dari Hakim/Ketua Majelis Hakim. Permintaan izin yang dimaksud dalam hal ini, jangan kita ditafsirkan secara kaku memahaminya. Jangan kita bersikap menafsirkan sendiri tanpa membaca konsiderans dari Perma ini,” kata Andi Samsan Nganro saat dihubungi, Selasa (22/12/2020).    

Menurutnya, ketentuan pengambilan foto yang harus izin Hakim/Ketua Majelis Hakim bukan dibuat sebagai proteksi dan bukan pula sebagai benteng untuk tidak mau diawasi. “Tolong jangan ditafsirkan ke arah situ. Sebab, kami juga memahami untuk menyelenggarakan peradilan yang kredibel perlu pengawasan publik,” kata dia.

Dia menambahkan Perma No. 5 Tahun 2020 ini dibuat untuk mengatur protokoler persidangan guna menciptakan suasana dan rasa aman bagi aparat peradilan dan pihak-pihak yang berkepentingan di pengadilan, seperti saksi-saksi, terdakwa, pengunjung, dan lain-lain demi terwujudnya peradilan yang berwibawa.

Tags:

Berita Terkait