Dilema Sistem Pemilu Serentak
Utama

Dilema Sistem Pemilu Serentak

Pemilu Serentak 2019 merupakan amanat konstitusi, tapi pelaksanaannya menimbulkan banyak korban tewas. Pemilu serentak ini diusulkan dibagi pemilu nasional dan pemilu daerah.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Sistem kepartaian sederhana ini, lanjutnya, tidak menghilangkan hak warga negara untuk membentuk parpol. Sistem ini hanya mengatur parpol yang ikut kontestasi pemilu. Tanpa sistem kepartaian sederhana, setiap pemerintahan hasil pemilu akan merasa “diganggu” terus oleh parlemen karena tidak ada parpol mayoritas, sehingga harus berkoalisi. Penting untuk diingat, mekanisme pengawasan yang dilakukan DPR ini harus selaras dengan sistem presidensial yang harus berbasis pada check and balances.

 

Bahan diskursus

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan komunitas internasional menilai sistem pemilu di Indonesia tergolong sangat rumit. Padahal ciri-ciri pemilu bebas dan adil itu seharusnya mudah diselenggarakan dan prosesnya tidak berbelit. Jatuhnya korban dalam penyelenggaraan pemilu bukan hanya terjadi kali ini, persoalan serupa juga ada pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014. Pemicunya sama, petugas mengalami kelelahan karena proses penghitungan suara melebihi waktu.

 

Menurut Titi, sistem pemilu yang selama ini digelar di Indonesia memang sulit untuk dijalankan sempurna 100 persen. Tak heran dalam penyelenggaraan pemilu selama ini ada kasus surat suara yang tertukar antar daerah pemilihan (dapil). Guna mengatasi persoalan ini, Koalisi Masyarakat Sipil setelah perhelatan Pemilu 2014 sudah mengusulkan agar manajemen pemilu dibenahi menjadi pemilu nasional (pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu daerah (pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota dan DPRD).

 

Titi mengingatkan dalam persidangan perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 Ketua Perludem ketika itu, Didik Supriyanto, hadir sebagai ahli dan menjelaskan pemilu serentak yang dimaksud itu pemilu nasional dan daerah. Namun, dalam putusan MK 14/PUU-XI/2013, menafsirkan Pasal 22E ayat (2) UUD RI 1945 bahwa pemilu berada dalam satu tarikan nafas, yakni Pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD provinsi serta kabupaten/kota (lima kotak/surat suara).  

 

Alhasil, beban petugas penyelenggara pemilu sangat berat. Menurut Titi, mereka dituntut bekerja sempurna secara konstan tanpa jeda dalam 24 jam. Tapi hal terpenting sekarang, KPU harus fokus menuntaskan tahapan pemilu karena proses rekapitulasi suara tidak mudah. Soal evaluasi sistem pemilu serentak ini agar menjadi bahan diskursus yang nantinya dibahas bersama seluruh pemangku kepentingan yakni pemerintah dan DPR, akademisi, dan masyarakat sipil.

 

“Hukum yang termaktub dalam teks tidak bisa melihat fakta di lapangan. Menurut saya ini bukan pemilu serentak, tapi ‘pemilu borongan’,” kritiknya.

 

Titi menilai UU No.7 Tahun 2017 disahkan dalam waktu yang sangat mepet dengan pelaksanaan tahapan pemilu. Beleid yang disahkan pada 21 Juli 2017 itu berisi 573 pasal, dibahas di DPR dalam waktu kurang dari 7 bulan. Dari pembahasan selama 7 bulan itu selama 4 bulan sibuk membahas sistem pemilu seperti ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dan konversi suara menjadi kursi. Padahal ada banyak masalah lain yang harus diselesaikan.

 

Lebih jauh, Titi melihat materi UU No.7 Tahun 2017 mengurusi hal yang rinci dan detail yang semestinya bisa ditindaklanjuti dalam peraturan teknis. Misalnya, kapan TPS buka, dan lain-lain. Kemudian dalam Pemilu 2019 ini ada 5 surat suara, tapi logika yang digunakan pemilu yang terpisah antara legislatif dan eksekutif (pilpres). Hal ini bisa dilihat dari jumlah panitia pemilihan tingkat kecamatan (PPK) hanya 3 orang sebagaimana diatur Pasal 52 UU No.7 Tahun 2017.

 

Menurut Titi, jumlah PPK sebanyak 3 orang tidak logis dan bisa mengganggu proses pemilu jujur dan adil. Jumlah itu tidak mumpuni untuk menanggung beban melakukan rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. “Kerangka hukum pemilu kita tidak disiapkan secara baik untuk memfasilitasi pemilu borongan 5 surat suara ini.”

 

Ditegaskan kembali oleh Titi bahwa Pemilu 2019 ini bukan pemilu serentak, tapi borongan. Padahal, Koalisi Masyarakat Sipil sudah menyampaikan dalam pembahasan UU No.7 Tahun 2017 di DPR, bahwa pemilu serentak yakni pemilu yang dibagi menjadi pemilu nasional dan pemilu daerah.

 

Selain itu, kata Titi, desain pemilu serentak sejatinya tanpa menggunakan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang ditetapkan sebesar 20-25 persen jumlah kursi di DPR atau suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya (Pemilu 2014). Baca Juga: Resmi Jadi UU Pemilu, Ambang Batas Pencalonan Presiden Digugat ke MK

 

Baginya, prinsip pemilu jujur dan adil bukan hanya adil bagi peserta pemilu, tapi juga untuk pemilih dan penyelenggara pemilu. Adanya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini tidak adil bagi pemilih karena terbatas untuk memilih kandidat calon presiden dan wakil presiden. Pemilu borongan ini juga tidak adil bagi penyelenggara karena beban dan tanggung jawab yang berat, tidak manusiawi, dan tidak logis.

 

“Kerangka (pembenahan) sistem hukum pemilu ini harus menjadi prioritas dan paling lambat tahun 2021 harus segara dibahas,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait