Dilema Pertambangan Tanpa Izin Sebagai Pertambangan Rakyat
Kolom

Dilema Pertambangan Tanpa Izin Sebagai Pertambangan Rakyat

Pertambangan tanpa izin (PETI) identik dengan kehidupan masyarakat kelas bawah. Penutupan kegiatan usaha PETI berarti menambah panjang daftar angka pengangguran dan kemiskinan.

Bacaan 4 Menit
Kenneth Sunarto. Foto: Istimewa
Kenneth Sunarto. Foto: Istimewa

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber daya alam—terutama pada bidang tambang—berlimpah. Potensinya besar dalam segi manfaat mulai dari menopang perekonomian negara hingga untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya secara langsung. Tambang yang masif tersebut dapat kita lihat dari data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia. Tercatat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di tahun 2021 mencapai angka 5.474 IUP. Hal tersebut tentu patut diwaspadai karena besar pula kemungkinan terjadinya perkembangan yang tidak terkendali. Salah satu masalah utama adalah pertambangan tanpa izin (PETI).

Pemerintah mengantisipasi PETI antara lain dengan regulasi-regulasi atau peraturan sebagai upaya preventif. Sebut saja Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang kemudian dicabut dan diubah dengan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 4/2009) jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2020  (UU 3/2020) dan Peraturan Pemerintah No. 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 96/2021). Mengacu peraturan-peraturan itu, siapa saja yang melakukan praktik penambangan, baik dari skala kecil maupun skala besar, wajib mendaftarkan diri kepada Kementerian ESDM untuk penerbitan izin.

Pasal 158 dan Pasal 161 UU 3/2020 mengatur sanksi jika tidak memenuhinya yaitu, “Setiap Orang yang tidak memiliki izin secara resmi dan sah yang dikerluarkan oleh Kementerian ESDM akan dipidana selama 5 tahun dan denda paling banyak sebesar Rp100.000.000.000, - (seratus miliar Rupiah) dan Setiap Orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, izin yang terkait dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”

Perlu diingat bahwa Pasal 1 angka 35a UU 3/2020 mendefinisikan “Setiap Orang” adalah “orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”

Baca juga:

Berbagai macam undang-undang serta peraturan telah diimplementasikan pemerintah, tetapi hingga saat ini masalah praktik PETI masih sulit untuk dituntaskan. Siaran pers Kementerian ESDM Nomor 259.Pers/04/Sji/2022 bertanggal 12 Juli 2022 menyatakan bahwa PETI terus menjadi perhatian pemerintah. Perlu upaya bersama serta dukungan seluruh pihak untuk mendorong penanganan isu PETI beserta dampak yang akan dan telah ditimbulkan. Terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, data tahun 2021 (triwulan-3) mencatat lokasi PETI sektor batubara sekitar 96 lokasi dan PETI sektor mineral sekitar 2.645 lokasi. Angka tersebut terus meningkat dari data-data tahun sebelumnya. Meski UU 3/2020 sudah mengatur sanksi dan denda bagi pihak penambang tanpa izin, hasilnya masih belum tergolong efektif.

PETI tidak menerapkan kaidah pertambangan secara benar (good mining practice), sementara di sisi lain bahan galian bersifat tak terbarukan (nonrenewable resources). Pengusahaannya pun berpotensi merusak lingkungan (potential polluter). Hasilnya adalah berbagai dampak negatif yang tidak saja merugikan pemerintah, tetapi juga masyarakat luas sampai generasi mendatang. Kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kemerosotan moral merupakan dampak nyata dari adanya PETI. Khusus bagi pemerintah, dampak negatif itu diperburuk pula dengan sejumlah kerugian: kehilangan pendapatan dari pajak dan pungutan lainnya, biaya untuk memperbaiki lingkungan, diskriminasi terhadap otoritas negara, dan hilangnya kepercayaan dari investor asing yang notabene masih menjadi tulang punggung pertumbuhan sektor pertambangan nasional.

Penanggulangan masalah PETI kerap dilematis karena PETI identik dengan kehidupan masyarakat kelas bawah. Mereka tidak memiliki akses kepada sumber daya ekonomi lain disebabkan oleh keterbatasan pendidikan, keahlian, dan ketrampilan yang dimilikinya. Penutupan kegiatan usaha PETI berarti menambah panjang daftar angka pengangguran dan kemiskinan. Di sisi lain, membiarkan mereka tetap beroperasi dapat diinterpretasikan tidak mengacuhkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski memberikan dampak yang berbeda, keduanya membawa risiko bagi Pemerintah.

Upaya untuk mewadahi masyarakat miskin (rakyat kecil) melalui pola Pertambangan Rakyat dan Pertambangan Skala Kecil pun masih belum memberikan hasil optimal. Pelaksanaan regulasi dan peraturan pemerintah di bidang pengelolaan sumber daya alam khususnya UU 3/2020—dengan Peraturan Pelaksananya PP 96/2021—terlihat belum optimal. Selain itu, ada prasyarat yang kurang lengkap berkaitan dengan pengaturan tersebut bagi masyarakat daerah yang mau mengelola Wilayah Pertambangan Rakyat. Akhirnya, bisa disimpulkan beberapa faktor yang mendorong PETI terus tumbuh. Pertama, modal usaha relatif kecil dan pelaksanaan dilakukan sederhana/tradisional tanpa menggunakan berteknologi tinggi. Kedua, keterbatasan keahlian pelaku usaha dan sempitnya lapangan kerja menyebabkan usaha pertambangan ini menjadi pilihan utama. Ketiga, ada kemudahan pemasaran produk bahan galian. Terakhir, pelaku usaha beranggapan bahwa prosedur pengurusan izin usaha pertambangan rakyat cenderung berbiaya tinggi. Anggapan itu muncul karena ada jalur birokrasi yang rumit serta memerlukan waktu yang cukup panjang,.

Apa yang diperlukan sekarang adalah kerangka hukum yang lebih kuat untuk mengendalikan kegiatan PETI. Isinya harus mengutamakan terciptanya aspek keadilan prosedural dan distributif—secara sosial, ekonomi dan lingkungan—bagi masyarakat sekitar wilayah pertambangan. Program kesejahteraan sosial dan ekonomi dasar juga diperlukan untuk mendorong penanggulangan dalam upaya pencegahan praktik PETI. Perlu juga pengawasan pemerintah pusat—sebagai tugas negara—dalam mengelola dan mencegah kembalinya praktik PETI melalui program pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat. Terakhir, harus juga diperkuat dengan kerangka regulasi dalam prosedur mengurus izin pertambangan—terutama pertambangan rakyat—yang didasarkan pada kebutuhan nyata daerah berdasarkan pendekatan masyarakat lokal.

Kenneth Sunarto S.H., adalah Peminat Hukum Pertambangan & Sumber Daya Alam.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait