Dilema Kejaksaan, Cerita Lama Pasang Surut Kuasa Demi Politik Penguasa
Feature

Dilema Kejaksaan, Cerita Lama Pasang Surut Kuasa Demi Politik Penguasa

Melemah di tangan kepentingan Soekarno di masa Orde Lama hingga Soeharto di masa Orde Baru.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit
Hukumonline
Hukumonline

“Dibanding aparat penegak hukum lain, peran Jaksa selama ini seringkali terpinggirkan dan dipandang sebelah mata dalam sistem peradilan pidana Indonesia,” demikian pandangan Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya Dr. Fachrizal Afandi membuka ulasan opininya di Hukumonline tentang kejaksaan.

Fachrizal berpendapat peran Jaksa dalam proses penyidikan sangat terbatas. Bukan Jaksa yang mengarahkan proses investigasi perkara pidana sejak awal ditemukan. Bukan pula Jaksa yang menentukan pasal pidana apa yang harus jadi landasan perkara. Jaksa baru bekerja setelah Polisi menyerahkan berkas lengkap hasil investigasi. Jaksa bertugas memastikan berkas itu bisa diajukan ke persidangan dan menang. Aneh memang. Kerja Jaksa di Indonesia seolah kurir dan juru bicara perantara kerja Polisi dan kerja Hakim. Tentu saja ilustrasi ini tidak sepenuhnya akurat.

Peneliti asal Amerika Serikat, Daniel Saul Lev (Dan Lev) adalah salah satu peneliti yang paling awal mencatat bagaimana organisasi kekuasaan kehakiman berkembang, termasuk kejaksaan. Buku karyanya, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan menyebut dengan terus terang ada persaingan diantara kelembagaan Hakim, Jaksa, dan Polisi. Mulai dari soal kedudukan hirarki, gaji, status, prestise, dan tentu saja soal kekuasaan dalam peradilan pidana.

Baca Juga:

Hukumonline menilai penelitian terbaik dan terkini yang melengkapi catatan awal Dan Lev adalah karya Fachrizal Afandi. Disertasinya di Universitas Leiden meneliti dengan mendalam soal kejaksaan dengan judul Maintaining Order: Public Prosecutors in Post-Authoritarian Countries, the case of Indonesia. Fachrizal melacak perjalanan lembaga kejaksaan sejak era Kerajaan Majapahit.

Hukumonline.com

Fachrizal Afandi saat menerima tanda kelulusan di Universitas Leiden. Foto: Istimewa

Perlu dicatat, tiga penegak hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia punya nama yang sumbernya dari serapan tiga bahasa berbeda. Hakim diambil dari istilah bahasa Arab. Lalu, polisi berasal dari bahasa Belanda. Hanya jaksa yang berasal dari istilah bahasa Sansekerta. Istilah Jaksa adalah hasil evolusi dari Adhyaksa dan Dhyaksa. Para sejarawan meyakini Patih Gadjah Mada adalah sang Adhyaksa dengan para Dhyaksa sebagai pembantunya. Bersama-sama mereka mengawasi kerja prajurit elit yang disebut Bhayangkara.

Adhyaksa bisa berperan sebagai hakim dalam peradilan kasus-kasus hukum biasa. Selain itu, ia akan berperan sebagai penuntut umum untuk kejahatan serius yang diatur hukum agama Hindu. Sejarah menunjukkan posisi ini adalah gabungan hakim dan penuntut umum di era Majapahit. Istilah itu berubah menjadi Jeksa atau Jaksa yang digunakan untuk posisi penuntut di peradilan masyarakat pribumi pada masa kolonial Belanda.

Kolonial Belanda membangun dua sistem peradilan pidana. Politik hukum ini mengikuti penggolongan penduduk masa itu. Sistem pertama khusus untuk golongan Eropa dan yang kedua untuk golongan pribumi. Petugas peradilan memiliki hirarki, kewenangan, dan nama berbeda. Istilah jaksa digunakan untuk petugas penuntut umum dalam peradilan golongan pribumi. Istilah untuk petugas penuntut umum di peradilan golongan Eropa adalah Officieren van Justitie.

Hukum yang berlaku juga berbeda. Golongan Eropa menggunakan Reglement op de Strafvordering/SV yang paling sama dengan hukum di Belanda. Golongan pribumi di tanah koloni menggunakan Inlandsch Reglement/IR yang isinya tidak tertib dalam hukum acara dan lebih rendah kualitasnya.

“IR itu lalu diganti dengan Herziene Inlandsch Reglement/HIR yang mulai berlaku tahun 1941. Isinya mencoba melakukan unifikasi sistem peradilan golongan Eropa dan pribumi,” kata Fachrizal menjelaskan. Peran Jaksa digantikan sehingga Officieren van Justitie juga menangani perkara pribumi.

Kala itu Officieren van Justitie bekerja dengan para pembantu yang disebut magistraat. Diantara para magistraat itu adalah polisi untuk investigasi perkara pidana. Polisi yang membantu kerja investigasi ini biasa disebut hulpmagistraat. “Jadi saat itu sudah ada polisi yang bekerja sebagai asisten untuk mencari bukti,” kata Fachrizal. Ia memastikan kala itu Officieren van Justitie yang berwenang mengatur perkara sampai upaya paksa penangkapan dan penahanan. Mereka yang berperan memimpin sistem peradilan pidana sampai tiba ke persidangan.

Praktik HIR yang demikian berlangsung sampai masa Jepang mengambil alih Indonesia. Orang-orang Belanda diusir dari Indonesia saat itu. Posisi Officieren van Justitie dan para magistraat diisi oleh pribumi yang pernah menjabat Jaksa. Berbagai istilah peradilan diganti dengan bahasa Jepang. “Jepang tetap menggunakan HIR karena orientasinya sibuk berperang, bukan penegakan hukum,” kata Fachrizal.

Sejak masa kemerdekaan tahun 1945 nama Jaksa digunakan sepenuhnya untuk menggantikan Officieren van Justitie dan mengambil alih perannya. Kejaksaan menjadi bagian dari Kementerian Kehakiman secara administrasi, tapi kerjanya berada dalam struktur organisasi Mahkamah Agung. Namun, status kelembagaannya terbilang independen.

“Saat itu kerja polisi dalam perkara pidana ada di bawah supervisi Jaksa dan Jaksa Agung, itu sampai tahun 50-an,” kata Fachrizal. Jaksa bahkan berperan juga untuk menangani perkara pidana oleh militer melalui polisi militer. Masa ini disebut para ahli sebagai masa keemasan kejaksaan sampai tahun 1959. Buktinya, meski kejaksaan bagian dari Kementerian Kehakiman, para jaksa berhasil menangkap dan menuntut Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo di pengadilan atas dugaan tindak pidana korupsi.

Demokrasi Terpimpin Orde Lama yang dimulai tahun 1959 disebut Fachrizal awal kemunduran kejaksaan. Presiden Soekarno menempatkan kejaksaan setara kementerian langsung di bawah perintahnya dalam kekuasaan eksekutif. Doktrin-doktrin militer juga mulai masuk ke dalam lembaga kejaksaan. Jaksa mulai menggunakan seragam serupa militer pada tahun 1960.

Jaksa versus Polisi atau versus Rezim Penguasa?

Dan Lev mencatat pada masa kemunduran kejaksaan ini juga kepolisian semakin berusaha melepaskan diri dari supervisi Jaksa dalam penanganan perkara pidana. Apalagi, kala itu kepolisian sudah digabungkan sebagai bagian dari angkatan bersenjata bersama militer. Ia menjelaskan upaya kepolisian melepaskan diri dari kejaksaan sebenarnya sudah terjadi sejak awal masa kemerdekaan. “…kepolisian menentang kekuasaan pihak penuntut atas badan kepolisian,” kata Dan Lev.

Hukumonline.com

Peneliti asal Amerika Serikat Daniel Saul Lev (Dan Lev). Foto: Istimewa 

Singkat cerita, sejak tahun 1960 telah terjadi upaya kepolisian tidak lagi bekerja di bawah supervisi kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Puncaknya adalah lahirnya UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP. Rezim militer Orde Baru Soeharto memiliki kepentingan agar kepolisian berwenang lebih besar mengendalikan perkara pidana.

“Polisi jadi bagian dari Angkatan Bersenjata. Asas diferensiasi fungsional itu ada kepentingan rezim militer untuk mengendalikan hukum pidana,” ujar Fachrizal. Konsep diferensiasi fungsional dikenalkan dalam KUHAP untuk memutus secara tegas kuasa Jaksa sebagai pengendali perkara pidana.

Ia secara terang-terangan mengatakan konsep diferensiasi fungsional dalam KUHAP adalah usulan Kepala Polri di masa KUHAP disahkan, Awaloedin Djamin. “Pembentukan KUHAP itu yang memimpin Awaloedin Djamin. Konsep itu dipakai katanya agar tidak saling mengganggu,” tutur Fachrizal. 

Pemisahan fungsi penyidikan oleh kepolisian dan penuntutan oleh kejaksaan semakin jelas saat berlakunya KUHAP. Isi KUHAP mengikuti desain yang sudah dirintis dalam UU Polri dan UU Kejaksaan tahun 1961. Peran keduanya semakin jelas dipisahkan dalam sistem peradilan pidana.

KUHAP menyebut penyidik adalah Polisi atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan Jaksa hanya diberi peran penuntut umum. Bahkan KUHAP menghapus kewenangan Jaksa soal penyidikan lanjutan untuk seluruh perkara pidana.

Ego sektoral kelembagaan semakin tajam. Jaksa tidak lagi terlibat sejak awal proses peradilan pidana yang disebut KUHAP sebagai penyelidikan dan penyidikan. Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Narendra Jatna mengatakan pola diferensiasi fungsional merugikan masyarakat. Hal itu karena membuat perlindungan penduduk melemah.

“Upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan tidak bisa dipertimbangkan Jaksa. Padahal belum tentu perkara tersangka akan dilanjutkan ke dakwaan,” ujar pria yang sebelumnya pernah menjabat Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan Agung dan Asisten Khusus Jaksa Agung ini.

Hukumonline.com

Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Narendra Jatna. Foto: RES 

Sebagai akademisi dan peneliti, Fachrizal melihat kejaksaan penuh dilema tidak hanya karena KUHAP. Lalu, bagaimana idealnya kejaksaan di masa mendatang?

“Pertama jaksa harus bisa bekerja independen secara individu. Hilangkan budaya militer di kejaksaan,” saran dia. Ia mengatakan konsep “kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” (een en ondeelbaar) salah kaprah dipraktikkan dengan cara komando militer. Para Jaksa harus mendapat izin secara hirarki dari atasan untuk menentukan rencana tuntutan (rentut).

“Padahal maksudnya itu Jaksa dalam beracara atas nama jabatan Jaksa. Jadi, siapa saja Jaksa yang hadir atau menggantikan sama saja. Tidak seperti advokat yang kalau diganti harus ganti surat kuasa,” ujarnya.

Kedua, Fachrizal menuntut KUHAP harus diganti konsepnya tidak lagi dengan diferensiasi fungsional. “Itu cara Orde Baru yang masih kita gunakan di masa reformasi selama 20 tahun. Makanya nggak ada perubahan signifikan.”  

Lebih lanjut, Fachrizal mengingatkan penyidikan dilakukan untuk kepentingan persidangan. Pengumpulan bukti sejak awal harus diarahkan Jaksa untuk mengumpulkan bukti yang tepat. “Minimal fungsi reserse kriminal kepolisian harus bekerja di bawah arahan Jaksa,” usulnya.

Fachrizal menilai sistem kerja Jaksa dan Polisi dalam KUHAP adalah model “gado-gado” yang mengacaukan penegakan hukum. “Saat ini kuasa Polisi tidak bisa dibedakan mana yang dalam rangka penegakan hukum pidana dan mana yang penertiban sosial. Dia (kepolisian, red) tidak diawasi pengadilan, kejaksaan, berkuasa terlalu besar,” kritiknya.

Pertanyaannya, jika kejaksaan memperoleh kembali kuasanya dalam sistem peradilan pidana apakah Jaksa siap untuk mewujudkan penegakan hukum yang lebih adil?

Tags:

Berita Terkait