Dikritik, Polri Cabut Poin Larangan Media Siarkan Arogansi Aparat
Berita

Dikritik, Polri Cabut Poin Larangan Media Siarkan Arogansi Aparat

“SEHUB DGN REF DI ATAS KMA DISAMPAIKAN KPD KA BAHWA ST KAPOLRI SEBAGAIMANA RED NOMOR EMPAT DI ATAS DINYATAKAN DICABUT/DIBATALKAN TTK."

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit

Keenam, menyamarkan gambar wajah dan indentitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya. Ketujuh, menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban, dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.

Kedelapan, tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku. Kesembilan, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detil dan berulang-ulang.

Kesepuluh, dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten. Kesebelas, tidak menampilkan gambaran secara eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin menilai langkah Kapolri menerbitkan aturan internal tersebut amat berlebihan. Menurutnya, pelarangan peliputan kekerasan yang dilakukan aparat maupun jajaran di bawahnya malah berpotensi melanggar UU 40/1999.

Pasal 6 UU 40/1999 menyebutkan liima poin secara gamblang peranan pers nasional. Seperti pemenuhan hak masyarakat untuk mengetahui; menegakan nilai-nilai dasar demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia; menghormati kebhinekaan.

Kemudian mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Bagi Ade, pers memiliki fungsi informatif ke publik terkait peristiwa ataupun kejadian yang memiliki nilai berita. Bagi Ade, pers memiliki fungsi kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum secara transparan dengan mengedepankan dan mempertimbangkan nilai HAM.

Bila terdapat pelanggaran tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian atau pejabat publik, pers wajib mewartakan peristiwa tersebut. Namun, bila fungsi pers mewartawakan informasi dicegah dengan aturan itu (Surat Telegram, red), ini malah menabrak UU 40/1999.  “Hal itu juga merupakan bagian pemenuhan hak publik atas informasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait