Dikriminalkan, Perawat Judicial Review UU Kesehatan ke MK
Utama

Dikriminalkan, Perawat Judicial Review UU Kesehatan ke MK

Seorang perawat dipidana karena memberikan obat daftar G (antibiotik dll) kepada pasien. Padahal, bila itu tak dilakukan, si pasien terancam meninggal dunia.

Ali
Bacaan 2 Menit

 

Dalam praktek, lanjut Misran, banyak perawat di daerahnya yang tak berani memberikan tindakan kefarmasian kepada pasiennya. “Bahkan ada pasien yang sampai meninggal dunia,” tuturnya. Tindakan pasien ini sebenarnya tidak dibenarkan berdasarkan Pasal 190 ayat (1) UU Kesehatan.

 

Misran menilai UU Kesehatan tak menjamin kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh konstitusi kepada perawat. Ibarat buah simalakama, menolong pasien dengan memberi obat daftar G terancam dipidana, bila membiarkan pun juga terancam dipidana. Ancaman pidana dalam Pasal 190 ayat (1) maksimal dua tahun penjara.

 

Ketentuan itu berbunyi ‘Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)’.

 

Hakim Konstitusi Fadlil Sumadi meminta agar pemohon menyiapkan data-data atau bukti-bukti untuk memperkuat argumentasinya. “Silahkan hadirkan ahli yang mendukung argumen anda atau saksi-saksi yang melihat rekannya ditangkap karena pasal tersebut,” ujarnya.

 

Perawat Anestesi

Berdasarkan catatan hukumonline, kasus yang mirip pernah menimpa perawat anestesi (pembiusan). Kala itu, ada kekhawatiran bahwa tindakan perawat anestesi dalam melakukan pembiusan dapat dikriminalkan berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Pasalnya, UU itu menyebutkan yang bisa melakukan tindakan anestesi adalah dokter anestesi.

 

Kondisi ini pun menjadi dilema karena jumlah dokter anestesi di Indonesia sangat sedikit. Apalagi, para dokter anestesi ini hanya tersebar di kota-kota besar. Sedangkan, di daerah-daerah terpencil, hanya ada perawat anestesi yang melakukan pembiusan ketika terjadi operasi bagi pasien.

 

Mukernas Ikatan Perawat Anestesi Indonesia (IPAI) Tahun 2007 pun meminta Menteri Kesehatan menerbitkan payung hukum kepada mereka yang melakukan tindakan medis anestesia (pembiusan). “Kala itu memang ada kekhawatiran dari para perawat anestesi,” ujar Sekretaris Umum IPAI Dorce Tandung melalui sambungan telepon, Senin (5/4).

Tags: