Dijadikan Komoditas, TKI Selalu Dieksploitasi
Utama

Dijadikan Komoditas, TKI Selalu Dieksploitasi

Pemerintah dan pihak swasta lebih mengejar mengeruk keuntungan ketimbang melindungi TKI.

Ady
Bacaan 2 Menit
Pengelolaan TKI oleh pihak swasta tidak mampu berikan perlindungan maksimal bagi TKI. Foto: Sgp
Pengelolaan TKI oleh pihak swasta tidak mampu berikan perlindungan maksimal bagi TKI. Foto: Sgp

Ironis, walau mendapat gelar sebagai pahlawan devisa negara, tenaga kerja Indonesia (TKI) kerap diperlakukan tidak manusiawi di luar negeri. Parahnya lagi, pemerintah dinilai lemah dalam mengupayakan perlindungan.

Menurut analis kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo, pengelolaan TKI oleh pihak swasta tidak mampu memberikan perlindungan maksimal bagi TKI. Pasalnya, perusahaan hanya mengejar keuntungan dan menafikan kewajiban untuk melindungi TKI. Alhasil, ketika TKI terlilit masalah, perusahaan yang bersangkutan seolah enggan mengurus TKI yang bersangkutan.

Atas kondisi itu, Wahyu mewajarkan jika rencana Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi  mengalihkan pemulangan TKI dari Terminal 4 ke Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, ditentang pihak tertentu. Pasalnya, jika TKI dibebaskan untuk pulang mandiri lewat Terminal 2 maka ada pihak yang bisnisnya di sektor pemulangan TKI menjadi terhambat. Wahyu sendiri menyambut baik rencana Menakertrans tersebut.

Terkait perlindungan terhadap TKI, Wahyu menekankan tidak dapat dilimpahkan ke pihak swasta. Hal itu bukan hanya terkait perekrutan, pengiriman dan pemulangan TKI, tapi juga asuransi. Karena, selama ini TKI tergolong kesulitan mengajukan klaim asuransi.

Wahyu mengingatkan, saat ini pemerintah melakukan pembahasan kerjasama dengan pemerintah Arab Saudi terkait perlindungan TKI. Salah satu isu yang dibahas adalah aturan yang mewajibkan majikan di Arab saudi untuk memberikan asuransi khusus bagi TKI. Hal itu dilakukan karena sampai saat ini tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Arab Saudi yang melindungi pekerja migran. Bahkan, pengelolaan asuransi itu diberikan kepada pihak swasta.

Lagi-lagi Wahyu melihat hal itu tidak akan memberi perlindungan kepada TKI karena perusahaan swasta cenderung mengutamakan keuntungan ketimbang perlindungan bagi TKI. Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu mendorong agar pemerintah Arab Saudi menerbitkan kebijakan untuk melindungi pekerja migran dan tidak mengalihkan perlindungan itu ke pihak swasta. "Perlindungan di-outsourcing-kan, no way," kata Wahyu dalam diskusi di Jakarta, Selasa, (23/10).

Pada kesempatan yang sama, staf ahli Menakertrans, Dita Indah Sari, menegaskan, Kemenakertrans tidak menutup mata atas berbagai persoalan yang dihadapi TKI. Secara umum, Dita melihat permasalahan yang dihadapi TKI setidaknya terdiri dari lima hal. Pertama adalah tingkat pendidikan.

Dita menyebut hampir setengah dari seluruh angkatan kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD atau di bawahnya. Minimnya pendidikan berdampak pada sulitnya para calon TKI memahami budaya, bahasa dan lainnya yang berlaku di negara tujuan kerja. Akibatnya TKI kesulitan untuk beradaptasi dan tindak kekerasan pun terjadi.

Untuk mengatasi hal itu, Dita berpendapat pemerintah harus meningkatkan kapasitas keahlian yang dimiliki calon TKI. Untuk itu Kemenakertrans, sedang merancang agar calon TKI, walau berpendidikan setingkat SD, namun punya keahlian khusus dan bersertifikat.

Masalah lain adalah komodifikasi. Selama ini, Dita melihat oknum aparat pemerintah dan perusahaan swasta kerap mengidentikan TKI dengan komoditas. Alhasil, proses pelatihan yang harus diterapkan kepada calon TKI menjadi terhambat karena para oknum itu hanya mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya dan mengabaikan perlindungan terhadap TKI.

Salah satu modus yang dilihat Dita adalah mengurangi jam pelatihan bagi calon TKI. Misalnya, pemerintah Hongkong mewajibkan setiap calon TKI harus menjalani pelatihan minimal selama 600 jam. Namun, akibat mengejar keuntungan, masa latihan itu dikurangi, dengan itu para oknum dapat meraih keuntungan lebh besar.

Ketiga, masalah korupsi. Dita merasa korupsi menjadi salah satu biang keladi yang membuat pengelolaan TKI menjadi bermasalah. Misalnya, ada PJTKI yang tidak mematuhi aturan dalam mengelola TKI. Aparat pemerintah terkait tidak melakukan penindakan yang tegas karena terjadi tindak korupsi. Sehingga tidak ada penindakan yang tegas dan permasalahan itu kembali terjadi.

Keempat, menyangkut koordinasi antar lembaga pemerintahan. Menurut Dita, dari seluruh proses pengelolaan TKI, 55 persen proses berlangsung di daerah. Dalam revisi UU PPTKLN, Dita mengatakan posisi pemerintah daerah (Pemda) harus diperkuat agar mampu menindak para oknum yang merugikan TKI. Bila Pemda memiliki kewenangan penindakan itu, Dita berharap persoalan dalam pengelolaan TKI, khususnya di bidang perekrutan dapat dicegah.

Dita mengingatkan, Kemenakertrans memiliki petugas yang khusus merekrut calon TKI atau disebut pengantar kerja. Tugas pengantar kerja itu mendata masyarakat yang ingin bekerja di luar negeri dan mencari info apakah ada pekerjaan di luar negeri yang dibuka dan cocok untuk masyarakat yang bersangkutan.

Keberadaan petugas itu dapat memangkas para calo atau sponsor yang biasanya merekrut calon TKI dan cenderung merugikan si calon TKI. Sayangnya, lanjut Dita, jumlah petugas pengantar kerja itu sedikit, tak lebih dari tiga ratus orang. Tidak mampu menjamah seluruh daerah yang menjadi kantong TKI yang ada di seluruh Indonesia.

Kelima, menyangkut diplomasi pemerintah dengan negara tujuan TKI. Bagi Dita, upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah untuk menangani TKI harus diperkuat. Misalnya, untuk mengurusi masalah ketenagakerjaan yang dihadapi TKI, adalah tugas dari atase ketenagakerjaan RI di luar negeri. Sedangkan untuk masalah lainnya seperti persoalan hukum, seperti pidana, ditangani oleh konsuler Indonesia di negeri tempat TKI bekerja. Untuk memperkuat tugas perwakilan negara itu, salah satu hal yang harus dilakukan menurut Dita adalah membuat perjanjian antar negara atau MoU.

Terkait hal itu, Dita menjelaskan, saat ini pemerintah sedang mengupayakan untuk menjalin perjanjian dengan beberapa negara tujuan TKI seperti Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Perjanjian itu mengatur bagaimana standar upah, kontrak kerja, hak pekerja, perlindungan terhadap TKI dan lainnya. Misalnya, dalam membahas perjanjian dengan pemerintah Arab Saudi, saat ini pemerintah sedang dalam proses saling tukar rancangan perjanjian. Salah satunya terkait standar upah dan perlindungan untuk TKI.

Selain itu, berbagai peraturan lain juga dirancang pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pengelolaan TKI. Salah satu kebijakan yang akan diterbitkan menurut Dita adalah pemulangan mandiri bagi TKI di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Dengan adanya kebijakan itu, maka TKI bebas memilih apakah pulang sendiri dari Terminal 2 atau mau lewat Terminal 4 yang dikelola BNP2TKI.

Tags: