Dihapusnya Mandatory Spending, Alasan Demokrat-PKS Tolak Persetujuan RUU Kesehatan
Terbaru

Dihapusnya Mandatory Spending, Alasan Demokrat-PKS Tolak Persetujuan RUU Kesehatan

Partai Demokrat usul alokasi anggaran kesehatan dari APBN dan APBD ditingkatkan diatas 5 persen. Fraksi PKS berpendapat alokasi anggaran wajib itu penting untuk keberlanjutan layanan kesehatan berkelanjutan bagi masyarakat.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Netty Prasetiyani dan Dede Yusuf. Foto: kolase Rfq
Netty Prasetiyani dan Dede Yusuf. Foto: kolase Rfq

DPR secara resmi telah memberikan persetujuan terhadap RUU Kesehatan menjadi UU, kendatipun keputusan diambil tidak secara bulat. Tujuh dari sembilan fraksi memberikan persetujuan RUU Kesehatan menjadi UU. Yakni Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP memberikan persetujuan. Sementara Fraksi Nasdem memberikan persetujuan dengan catatan minimal mandatory spending atau alokasi anggaran kesehatan wajib sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan APBD

Lantas dua fraksi partai, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menolak memberikan persetujuan RUU Kesehatan menjadi UU. Lantas apa yang menjadi alasan mendasar kedua frasi partai itu menolak?.

Dari berbagai hal yang menjadi alasan kedua fraksi itu menolak RUU Kesehatan salah satunya tentang dihapusnya mandatory spending atau alokasi wajib anggaran kesehatan yang sebelumnya diatur dalam UU No.36. Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pandangan Fraksi Demokrat yang dibacakan Dede Yusuf menyebutkan kesehatan adalah salah  hak asasi manusia (HAM) yang diakui dalam deklarasi HAM universal (DUHAM) yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai negara berkembang, Dede mengatakan Indonesia menghadapi berbagai persoalan di bidang kesehatan seperti layanan kesehatan yang berkualitas. Pemerintah dinilai belum optimal melaksanakan mandat konstitusi di bidang kesehatan. Padahal masyarakat perlu jaminan kesehatan dengan anggaran yang memadai, tenaga kesediaan, farmasi, alat kesehatan, fasilitas dan teknologi kesehatan yang memadai.

Baca juga:

RUU Kesehatan dituntut mampu menghadapi berbagai masalah bidang kesehatan mulai dari kualitas dan pemerataan layanan kesehatan agar seluruh rakyat Indonesia bisa mendapat hak atas kesehatan tanpa hambatan. Dede menegaskan fraksinya mendorong peningkatan alokasi anggaran wajib kesehatan dimana UU No.36 Tahun 2009 mengatur minimal 5 persen.

“Kami usul peningkatan anggaran kesehatan tapi tidak disetuju pemerintah dan pemerintah malah lebih memilih (mandatory spending,-red) ini dihapus,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi X itu mengatakan, dihapusnya alokasi wajib bidang kesehatan menunjukkan minimnya keberpihakan politik pemerintah untuk kesehatan yang layak. Alokasi anggaran wajib itu masih dibutuhkan untuk penyelenggaraan layanan kesehatan masyarakat sekaligus mendongkrak indeks pembangunan manusia dimana Indonesia masih berada di peringkat 130 dari 199 negara.

Fraksi partai Demokrat menurut Dede tidak setuju dengan indikasi liberalisasi bidang kesehatan yang diatur melalui RUU Kesehatan. Hal itu bisa dilihat dari peluang yang diberikan kepada tenaga medis dan kesehatan asing. Baik lulusan dalam negeri atau luar negeri harus punya kesempatan yang sama. Dokter asing harus tunduk pada aturan yang berlaku. Bidang kesehatan jika terlalu fokus pada bisnis dan investasi akan bedampak buruk.

Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu mengingatkan pembentukan UU harus sesuai asas-asas yang baik sebagaimana diatur UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Proses penyusunan RUU Kesehatan dinilai tidak memberi waktu yang cukup sehingga terkesan terburu-buru. Jika jangka waktu pembahasan lebih lama, dia yakin RUU Kesehatan dibahas lebih berkualitas.

“Singkat kata, fraksi partai Demokrat menolak RUU Kesehatan untuk disahkan menjadi UU pada pembicaraan tingkat II,” urainya.

Senada, perwakilan fraksi PKS Netty Prasetiyani, menegaskan pemerintah harus menyelenggarakan layanan kesehatan secara merata, adil, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu harus ada upaya untuk menjamin seluruh penduduk memperoleh layanan kesehatan sebagaimana mandat pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Mengingat RUU Kesehatan menggunakan metode omnibus law, Netty berpendapat harusnya penyusunan RUU dilakukan secara teliti dan melibatkan partisipasi publik bermakna sehingga tidak ada ketentuan yang luput. RUU Kesehatan harusnya mencakup seluruh perbaikan sistem kesehatan di Indonesia. Tapi sayangnya proses penyusunan RUU Kesehatan yang berlangsung selama ini menjadi preseden pembentukan UU yang kurang baik karena tidap tercapainya partisipasi bermakna.

Fraksi PKS menyoroti dihapusnya mandatory spending UU Kesehatan. Menurut anggota Komisi IX itu, alokasi anggaran kesehatan wajib itu penting untuk keberlanjutan layanan kesehatan. Kebutuhan anggaran kesehatan semakin meningkat dan berbagai kebijakan di sektor kesehatan perlu anggaran yang cukup misalnya untuk memberantas stunting dan angka kematian ibu melahirkan.

“Kami berpendapat mandatory spending itu penting untuk menjaga layanan kesehatan agar berkesinambungan dengan jumlah anggaran yang cukup,” urainya.

Netty berpendapat fraksi PKS mendorong biaya kesehatan yang murah dan mendorong pemerintah membuka lapangan kerja yang luas untuk tenaga kesehatan dan medis. “Kami fraksi PKS menolak RUU Kesehatan untuk disahkan menjadi UU,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait