Digagas Perlunya Komisi Legislasi DPR, Efektifkah?
Berita

Digagas Perlunya Komisi Legislasi DPR, Efektifkah?

Agar produk UU yang dihasilkan setidaknya mendekati target Prolegnas prioritas. Namun, untuk mewujudkan gagasan atau usulan adanya Komisi Legislasi ini diperlukan kesepakatan semua fraksi di DPR.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Kiri ke kanan: Anton Sihombing, Utut Adianto, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Zainudin Amali dalam diskusi bertajuk “Kinerja Legislasi di DPR” di Komplek Gedung DPR, Kamis (2/8). Foto: RFQ
Kiri ke kanan: Anton Sihombing, Utut Adianto, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Zainudin Amali dalam diskusi bertajuk “Kinerja Legislasi di DPR” di Komplek Gedung DPR, Kamis (2/8). Foto: RFQ

Fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap mendapat sorotan publik lantaran minimnya produk Undang-Undang (UU) yang dihasilkan sesuai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahunan. Kalaupun ada beberapa pembahasan RUU yang telah disetujui menjadi UU tak jarang bermasalah secara konstitusional, sehingga berujung diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Persoalan ini mengemuka dalam diskusi bertajuk “Kinerja Legislasi di DPR” di Komplek Gedung DPR, Kamis (2/8/2018). Hadir sebagai pembicara diantaranya Wakil Ketua DPR Utut Adianto, Mantan Ketua MK Prof Jimly Assiddiqie, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali.  

 

“Perlu gagasan (baru) untuk mengatasi minimnya produk UU yang dihasilkan DPR dengan nama Komisi Legislasi,” ujar Ketua Komisi II DPR, Zainudin Amali ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (2/8/2018).

 

Zainudin menilai 11 komisi yang ada di DPR ternyata tak mampu mengawal proses perampungan RUU yang diusulkan masing-masing komisi. Sebab, selama ini Badan Legislasi (Baleg) DPR hanya memiliki kewenangan melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap setiap RUU. Setelah itu, RUU kembali diserahkan ke komisi yang mengusulkan (dilakukan pembahasan).  

 

Persoalan lain, kata dia, konstitusi memberi mandat DPR memiliki kekuasaan membentuk UU bersama dengan pemerintah. Sehingga tanpa pemerintah, pembahasan sebuah RUU pun tidak berjalan. Guna mengatasi berbagai persoalan tidak efektifnya proses pembuatan RUU mulai dari awal hingga akhir dibutuhkan gagasan baru.

 

“Ini wacana, apakah harus dibuat alat kelengkapan khusus di DPR yang membahas legislasi untuk periode berikutnya?”

 

Menurutnya, menambah alat kelengkapan dewan berupa komisi yang khusus menangani dan membahas berbagai RUU usulan DPR ataupun pemerintah menjadi jalan keluar untuk mengatasi lemahnya fungsi legislasi DPR. Nantinya, Komisi Legislasi ini bersifat permanen dan fokus pada kerja-kerja legislasi dan anggotanya tidak dibebani tugas dan fungsi pengawasan ataupun anggaran.

 

“Alat kelengkapan dewan ini kita khususkan pada fungsi legislasi, dan dia (anggotanya) konsentrasi disitu (pembahasan RUU, red). Mudah-mudahan kalau misalnya target 50 RUU dalam Prolegnas prioritas, paling tidak kita bisa selesaikan 20 RUU,” ujarnya mencontohkan.  

 

Meski begitu, untuk mewujudkan gagasan atau usulan adanya Komisi Legislasi ini diperlukan kesepakatan semua fraksi di DPR. Setelah mendapatkan persetujuan semua fraksi, nantinya perlu merevisi kembali UU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) dengan memasukkan kelembagaan komisi khusus legislasi ini.

 

Mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie punya pandangan serupa. Dia mengamini anggapan bahwa banyaknya komisi sebagai alat kelengkapan DPR tak mampu mendongkrak kinerja DPR di bidang legislasi. Karenanya, evaluasi terhadap alat kelengkapan DPR yang ada memang perlu dilakukan. Misalnya, dengan cara merampingkan jumlah 11 komisi yang ada menjadi 3 sesuai fungsi DPR yakni komisi yang membidangi legislasi, pengawasan, dan anggaran.

 

Menurutnya, bila selama ini komisi didasarkan bidang-bidang seperti ekonomi, politik, hukum, dan lain dapat dibuat banyak sub ordinat ke bawah dari tiga komisi itu sebagai bagian pembagian sesuai jatah kursi. Diharapkan, urusan bidang legislasi tidak mengganggu fungsi anggaran dan pengawasan.

 

“Jadi yang menangani legislasi adalah orang-orang yang sama dan bersifat tetap. Jadi tiga komisi saja, ngapain banyak-banyak,” usulnya.

 

Perkuat legal drafter

Berbeda dengan Zainudin dan Jimly, Wakil Ketua DPR Utut Adianto menilai gagasan memangkas 11 komisi menjadi 3 komisi sesuai fungsi DPR berpotensi mendapat penolakan. Mesti setuju secara pribadi, dia berpendapat persoalan ini perlu dibahas dan diperdalam di masing-masing partai.

 

Terkait lemahnya fungsi legislasi ketika proses perancangan, penyusunan, pembahasan, harmonisasi, sinkronisasi, dan pembahasan lanjutan, menurutnya juga disebabkan DPR tidak memiliki banyak legal drafter yang mumpuni. Karena itu, kekurangan DPR dalam merancang RUU, kebutuhan akan legal drafter yang mumpuni menjadi keharusan.

 

“Kita dalam membuat UU tidak memiliki kemampuan. Yang ada anggota DPR hanya 'jago' lapangan. Jadi harusnya mencari legal drafter yang hebat. Jadi perbaikannya legal drafter yang diperkuat,” sarannya.

 

Prof Jimly pun sependapat dengan Utut. Menurut Jimly, keberadaan legal drafter yang mumpuni dalam jumlah banyak menjadi kebutuhan penting untuk mendukung proses pembuatan UU. Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu sudah lama menyampaikan agar dilakukan penguatan staf tenaga ahli anggota dewan di DPR (termasuk didalamnya ahli legal drafter).

 

Sehingga pekerjaan-pekerjaan yang mestinya dilakukan staf atau tenaga ahli DPR tak perlu dilakukan anggota dewan. Misal, studi banding ke luar negeri mestinya hanya cukup dilakukan tenaga ahli. “Untuk itu, penguatan staf dan tenaga ahli harusnya ke depan bergelar Phd untuk mengisi posisi tenaga ahli. Sebab, ke depan peradaban kelembagaan kita (memang) seperti itu.”

Tags:

Berita Terkait