Digagas, Biaya Gratis untuk Perkara yang Ditangani Organisasi Bantuan Hukum
Berita

Digagas, Biaya Gratis untuk Perkara yang Ditangani Organisasi Bantuan Hukum

MA siap membantu pemerintah dan bersinergisitas untuk memberikan pelayanan hukum gratis bagi masyarakat tidak mampu dan termarjinalkan.

Aida Mardhatillah
Bacaan 2 Menit
Diskusi tentang bantuan hukum. Foto: AIDA
Diskusi tentang bantuan hukum. Foto: AIDA

Pelayanan bantuan hukum gratis (secara litigasi) untuk masyarakat miskin dan termarginalkan masih sangat kurang, bahkan jauh dari kata layak, akibatnya mereka tidak mendapatkan keadilan. Banyak faktor yang menyebabkan tidak tersedianya keadilan bagi masyarakat miskin dan marjinal. Misalnya, minimnya ketersedian bantuan hukum oleh organisasi bantuan hukum (OBH) dalam proses litigasi, kurangnya advokat yang menangani perkara pro bono, serta kurangnya fasilitas dan anggaran perkara pro deo di pengadilan.

Kepala Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) Benny Riyanto mengatakan sebenarnya organisasi bantuan hukum Indoneisa berjalan dengan baik, bahkan menjadi acuan dunia. Namun, masih banyak masyarakat miskin dan termarginalkan yang tidak mendapatkan keadilan sebagai warga negara. Persoalan ini terkait ketersediaan anggaran pelayanan bantuan hukum gratis (secara litigasi).

“Padahal, diperlukan biaya gratis di pengadilan untuk perkara yang datangnya dari OBH,” kata dia di Hotel RedTop dalam diskusi bertajuk “Sinergitas Penyelenggaraan Bantuan Hukum Gratis untuk Masyrakat Miskin,” Jakarta, Jumat (21/12).

Riyanto menjelaskan persoalan anggaran sangat mendasar dalam praktek, bahkan menjadi unsur penentuan bantuan hukum. Saat ini saja untuk perkara pro deo di pengadilan dana yang tersedia dari mulai perkara didaftarkan hingga berkekuatan hukum hanya tersedia 8 juta saja. Padahal, penanganan suatu perkara dapat menghabiskan dana hingga 24 juta rupiah.

(Baca juga: Meski Serapannya Tinggi, Anggaran Bantuan Hukum Turun Drastis).

“Maka, sangat diperlukan perkara litigasi untuk masyarakat kurang mampu itu digratiskan. Untuk itu, perlu sinergitas antara Kemenkumham dalam hal ini BPHN dan Mahkamah Agung untuk memikirkan agar pelayanan keadilan digratiskan bagi masyarakat tidak mampu dan termarginalkan,” kata ujarnya.

Lazim terjadi uang pendampingan masyarakat miskin dan marjinal oleh organisasi bantuan hukum habis untuk membayar biaya perkara. “Padahal diketahui, dana OBH sendiri tidak banyak. Ini kan ironis,” tandasnya.

Untuk itu, perlu ada kebijakan biaya gratis di pengadilan untuk perkara yang datang dari OBH, dari mulai permohonan perkara hingga putusan berkekuatan hukum tetap. “Saya sangat berharap agar semua stakeholder dapat mendukung hal ini dapat dapat terealisasikan dengan baik,” harapnya.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Totok Yulianto mengatakan akses keadilan masyarakat tidak mampu mendesak sekali, yang cenderung menjadi korban dalam sistem hukum. Adanya akses bantuan hukum oleh OBH, pro bono oleh advokat dan pro deo di pengadilan seharusnya didukung oleh pemerintah. “Untuk mewujudkan itu, maka diperlukan anggaran yang maksimal untuk menangani persoalan ini dan juga diperlukan sinergisitas diantara para stakeholder,” kata dia.

Ia berharap ada pelayanan gratis di pengadilan di masa mendatang sepanjang perkaranya ditangani OBH. “Untuk mewujudkan hal itu, saya berharap kedepan akan ada sebuah forum yang mengawal untuk terwujudnya hal ini, mulai dari perencanaa, pelaksanaan, dan evaluasi,” kata harapnya.

Sekretaris Mahkamah Agung, Achmad Setyo Pudjoharsoyo mengatakan selama ini prosedur pengajuan perkara pro deo di pengadilan pengadilan seluruh Indonesia, sudah mempunyai pos bantuan hukum. Namun, dana pos bantuan hukum ini hanya dibayarkan pada tingkat advokasi saja, bukan litigasi.

Ia mengaku banyak yang harus dibicarakan tentang pelayanan hukum gratis bagi masyarakat tidak mampu dan termarginalkan ini. “Namun, dana yang turun terkait bantuan hukum gratis ke pengadilan ini lama kelamaan nilainya bukan semakin besar, tetapi semakin kecil. Tidak cocok dengan kebijakan yang cita-citakan Nawacita. Maka, ia pun mengamin bahwa diperlukan sinergitas untuk mengatasi hal ini.

Ia berpendapat pemerintah perlu menjamin anggaran yang dibutuhkan, jika tidak ada, tidak mungkin MA disuruh menanggung sendiri, sedangkan persoalan ini masalah masyarakat, yang juga merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah. Artinya, tanggung jawab bersama.

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Perma No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik. Beleid ini mengatur mulai proses pendaftaran hingga putusan dilaksanakan secara elektronik. “Ini pun merupakan salah satu cara agar biaya perkara di pengadilan dilaksanakan dengan biaya yang minim,” kata dia.

(Baca juga: e-Court, Prospek Cemerlang Masa Depan Peradilan Indonesia).

Pudjo menyatakan Mahkamah Agung bersedia membantu pemerintah untuk memberikan pelayanan hukum gratis di pengadilan dan juga OBH dapat bersinergi dengan pos bantuan hukum yang ada di pengadilan. “MA siap membantu pemerintah dan bersinergisitas untuk memberikan pelayanan hukum gratis bagi masyarakat tidak mampu dan termarginalkan.” Tekannya.

Tags:

Berita Terkait