Digagas, Aturan Cross-Border Insolvency
Berita

Digagas, Aturan Cross-Border Insolvency

Banyak perkara aset debitor berada di luar negeri yang menyebabkan para kurator kesulitan mengambil aset tersebut.

HRS
Bacaan 2 Menit
Ricardo Simanjuntak (paling kiri) dan Andrey Sitanggang (paling kanan) dalam acara Talks Hukumonline. Foto: SGP
Ricardo Simanjuntak (paling kiri) dan Andrey Sitanggang (paling kanan) dalam acara Talks Hukumonline. Foto: SGP

Indonesia dan sembilan negara ASEAN mengggagas dan berusaha membuat ASEAN Cross-Border Insolvency Regulation. Regulasi ini menjadi salah satu solusi bagi kurator untuk menyelesaikan persoalan kepailitan yang asetnya melintasi batas-batas negara ASEAN.

Ada kemungkinan ketika para debitor dinyatakan pailit, diketahui asetnya berada di luar negeri. Masalah muncul karena secara hukum putusan kepailitan Indonesia tidak berlaku di luar negeri. Akibatnya, kurator Indonesia kesulitan menjalankan kewajiban mengurus boedel pailit. Begitu pula sebaliknya. Kurator luar negeri tidak dapat menyita aset debitor luar negeri yang ada di Indonesia.

Keruwetan persoalan kepailitan akan semakin bertambah ketika kerjasama ekonomi ASEAN dimulai pada 2015. Sebab, pergerakan bisnis tidak hanya di sektor dalam negeri, tetapi para pebisnis harus bermain di kancah ASEAN. Sehingga, tak heran jika pelaku usaha memiliki harta di luar negeri.

Namun, dalam berbisnis, pengusaha tidak selalu beruntung. Kadang kala, ada pengusaha yang perusahaannya harus dipailitkan. Ketika itulah, persoalan kepailitan terjadi. “Dimana akan dipailitkan dan bagaimana kurator akan mengurus harta debitor jika lintas negara?” tutur Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia Ricardo Simanjuntak dalam seminar kepailitan di Jakarta, Kamis (25/7).

Permasalahan ini akan teratasi jika tidak ada batas-batas negara. Para kurator dapat bertugas tanpa terhambat dengan kedaulatan negara dan adalah tidak mungkin untuk mempersatukan wilayah secara politik. Namun, bukanlah suatu keniscayaan untuk mempersatukan hukum kepailitan wilayah ASEAN dengan memperkuat kerjasama ekonomi, yaitu ASEAN Cross-Border Insolvency Regulation.

Kesulitan serupa juga menjadi pemikiran awal lahirnya European Cross-Border Insolvency Law. Regulasi ini telah lahir pada 2001. Masyarakat Eropa memerlukan waktu 35 tahun untuk mengkaji, menganalisis, dan mengembangkan ide untuk mengurangi persoalan sita aset debitor dalam kepailitan. Ricardo menduga ASEAN bisa lebih cepat sekitar 15 tahun ke depan. “Topik-topik untuk mempersatukan hukum kepailitan wilayah ASEAN ini adalah keniscayaan yang pasti akan hadir,” lanjutnya lagi.

Kurator Andrey Sitanggang juga melihat regulasi yang digagas adalah sebuah jalan mempermudah kerja kurator dalam menyita aset debitor di luar negeri. Tanpa cross border, hukum kepailitan Indonesia tidak akan berlaku di negara lain sebagaimana dengan prinsip sovereignity masing-masing negara. ”Butuh sebuah konvensi untuk mengatur itu,” lanjutnya.

Konvensi ini bukanlah hanya sebatas cita-cita atau wacana belaka. Andrey mengatakan aturan mengenai cross border ini telah dibicarakan di tingkat negara. Hal ini diamini Ricardo. Adalah Asean Senior Law Officials Meeting (ASLOM) yang telah mengkaji tentang kesamaan pandang dalam menerapkan hukum kepailitan dan hukum-hukum yang terkait dengan aktivitas komersial.

Tantangan

Meskipun Cross Border diyakini dapat menjadi solusi atas sita aset debitor di luar wilayah negara, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi pascalahirnya regulasi ini. Sebut saja tentang Civil Law dan Common Law. Untuk negara yang menganut sistem hukum Civil Law, pengadilan bukanlah institusi sebagai pembentuk undang-undang. Sebaliknya, pengadilan dapat membuat sebuah undang-undang untuk negara yang menganut sistem Common Law.

Setiap negara juga harus memiliki persamaan pandang dalam melahirkan hak separatis. Setiap negara memiliki perbedaan kapan lahirnya hak separatis. Indonesia menganut konsep hak separatis baru lahir kalau jaminannya telah didaftarkan. Di negara lain, hak separatis telah lahir sejak dibuat oleh akta notaris. Barulah kemudian dibicarakan tentang status klaim, unsecured atausecured claim dan tentang jaminan guarantor.

Jadi, ada kemungkinan aturan kepailitan yang melintasi batas-batas negara ASEAN lebih cepat berkembang dibanding di Uni Eropa. Benarkah?

Tags:

Berita Terkait