Diduga Lobi DPR, Dewan Etik Segera Periksa Arief Hidayat
Berita

Diduga Lobi DPR, Dewan Etik Segera Periksa Arief Hidayat

Menurut Jimly, proses perpanjangan masa jabatan Arief Hidayat tidak memenuhi syarat transparan dan partisipatif sesuai amanat UU MK.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES

Temuan dugaan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat melobi sejumlah anggota DPR agar memperpanjang masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berbuntut panjang. Hampir bersamaan Arief menjalani proses fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) di Komisi DPR, sejumlah LSM yakni ICW, Perludem, Lingkar Madani, dan tiga orang individu yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Selamatkan MK melayangkan laporan dugaan pelanggaran etik Arief Hidayat ke Dewan Etik MK.

 

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama S Langkun mengatakan pihaknya melaporkan Arief ke Dewan Etik MK terkait dugaan lobi-lobi Arief Hidayat ke DPR agar diperpanjang masa jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua. Bahkan, diduga perpanjangan ini disertai janji bahwa MK akan menolak pengujian Pasal 79 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) mengenai hak angket DPR terkait keberadaan Pansus Angket KPK.      

 

“Terlebih, ini  mengenai kasus yang sedang ditanganinya, tentu diduga melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi menyangkut independensi, imparsial (keberpihakan), dan integritas seorang hakim konstitusi,” kata Tama di Gedung MK, Rabu (6/12/2017).

 

Ia menyebut dugaan pelanggaran prinsip independensi, ketika Arief melobi dan janji. Hal ini tentu dapat menimbulkan ketidakadilan beberapa pihak terkait yang mengajukan uji materi UU MD3 di MK. Lalu, hakim konstitusi dilarang memihak. Menurutnya, keberpihakan tidak boleh dilakukan meski dilihat secara luas. Mengenai integritas, jika hakim tak memiliki integritas, maka posisi kenegarawanan sebagai seorang hakim konstitusi dipertanyakan. “Apakah yang bersangkutan layak menjadi ketua MK?”

 

Tama mengungkapkan Arief tidak hanya sekali melakukan dugaan pelanggaran etik. Salah satunya, dia pernah dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik lantaran mengirim memo kepada Jaksa Agung Pengawasan R Widyo Pramono agar memperlakukan khusus Jaksa M. Zainur Rochman, Kasie Perdata Kejaksaan Negeri Trenggalek yang merupakan kerabat Arief. Arief terbukti melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, sesuai Penerapan Butir Kedelapan Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

 

“Kami kesini bukan hanya meminta respon dari Dewan Etik, tetapi juga DPR untuk berhati-hati mengambil langkah meski siang tadi sudah diputuskan bahwa Arief Hidayat lolos fit and proper test untuk kembali menjadi hakim konstitusi periode kedua,” ujar Tama.

 

Seperti diketahui, Komisi III DPR telah menyetujui Arief untuk memangku jabatan hakim konstitusi untuk periode 2018-2023 setelah melalui proses uji kepatutan dan kelayakan di Gedung DPR, Rabu (6/12).

 

Selanjutnya, kata dia, masih ada tahap proses keputusan rapat paripurna untuk secara resmi menetapkan Arief Hidayat diperpanjang masa jabatan hakim konstitusi untuk periode kedua. Lalu, pengangkatannya dikukuhkan melalui Keppres yang dimungkinkan dapat digugat di PTUN untuk dibatalkan status Arief Hidayat menjadi hakim konstitusi kembali. (Baca Juga: Dugaan Lobi-Lobi di Balik Perpanjangan Jabatan Arief Hidayat)

 

“Jadi ini bukan soal materi pembuktian ada atau tidaknya rekaman lobi-lobi tersebut, tetapi ini berbicara mengenai soal kepantasan dan kepatutan yang dilakukan oleh ketua MK,” katanya.

 

Karena itu, dia mengingatkan jangan proses pengangkatan hakim konstitusi di DPR seperti saat memilih Patrialis Akbar yang akhirnya digugat oleh masyarakat ke PTUN karena proses pemilihannya tidak transparan dan partisipatif sesuai amanat UU MK.

 

Anggota Dewan Etik MK Salahuddin Wahid mengaku telah mendengar dugaan lobi-lobi Arief Hidayat untuk memperpanjang masa jabatan hakim MK melalui media massa. Salah satu isi lobi tersebut mengenai kondisi MK tengah menyidangkan uji materi UU MD3 terkait keabsahan Pansus Angket KPK.

 

“Besok pagi kami akan segera bertemu dengan Pak Arief untuk mengetahui duduk perkara sebenarnya. Kami akan menentukan langkah selanjutnya (setelah bertemu Arief). Saat ini kami masih memegang prinsip praduga tak bersalah,” ujar Salahudin di Gedung MK, Jakarta (6/12/2017).

 

Ketua Dewan Etik Achmad Roestandi mengatakan pihaknya tentu akan mendalami kasus ini terlebih dahulu. Tentunya, tidak semua informasi dalam pemberitaan langsung diterima begitu saja. Terkait keputusan DPR yang memperpanjang masa jabatan Arief, Roestandi enggan berkomentar lebih jauh. “Kami tidak ikut campur, itu urusan (kewenangan) DPR. Kami hanya menindak ketika hakim konstitusi melanggar etik dan perilaku,” ujarnya.

 

Meski begitu, Salahudin menegaskan hasil pemeriksaan Dewan Etik akan mempengaruhi keputusan DPR terkait perpanjangan masa jabatan Arief sebagai hakim konstitusi periode kedua terutama apabila yang bersangkutan terbukti melanggar etik dan perilaku. “Apakah diperpanjang atau tidak, keputusan Dewan Etik akan mempengaruhi,” tegasnya.

 

Harus mengacu UU MK

Mantan Ketua MK, Jimly Assiddiqie mengaku belum mengetahui benar peristiwa adanya dugaan lobi-lobi Arief kepada sejumlah anggota DPR. Namun, terpenting, proses pemilihan calon hakim konstitusi harus sesuai dengan UU MK yang terdiri dari dua tahap yaitu pencalonan dan pemilihan. “Pencalonan harus memenuhi prinsip partisipatif dan transparan. Tahap pemilihan harus memenuhi prinsip objektif dan akutanbel,” kata dia.

 

Menurut Jimly, jika Komisi III DPR langsung melakukan rapat pleno, itu berarti langsung masuk dalam tahap pemilihan, tidak terlebih dahulu menempuh tahap pencalonan. “Tetapi yang terpenting empat prinsip seperti partisipatif, transparan, objektif dan akutanbel itu terpenuhi,” jelasnya.

 

Dia mengingatkan DPR agar proses pemilihan calon hakim MK mengacu UU MK itu. “(UU MK) Jangan dilampaui, jangan bisik-bisik, jangan mendadak, tapi harus partisipatif. Kalau calonnya cuma satu berarti tidak partisipatif,” katanya.

 

Senada, pengamat hukum tata negara, Refly Harun mengatakan lobi-lobi kepada DPR ini memang menjadi dilema. Dia menilai ketua MK saat ini nampaknya berkeinginan untuk dipilih kembali, sehingga dimungkinkan dilakukan lobi ke DPR. Menurut Refly, tanpa melobi tidak mungkin rasanya, DPR memilihnya kembali.

 

“Makanya, sebaiknya masa jabatan hakim konstitusi jangan dua periode, cukup satu periode saja, masa jabatannya langsung 9 atau 10 tahun,” usulnya.

 

Tetapi, apabila isi dari lobi tersebut menyangkut kasus yang sedang ditangani di MK. “Yah itu masalahnya, dengan mengatakan si X jangan sampai menjadi ketua, karena jika si X kepilih maka akan pro KPK. Nah, itu sudah menjadi kategori pelanggaran etik. Tapi kan kita tidak tau fakta sebenarnya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait