Diduga Extra Judicial Killing, Koalisi Minta Bentuk Tim Independen Usut Penembakan Anggota FPI
Berita

Diduga Extra Judicial Killing, Koalisi Minta Bentuk Tim Independen Usut Penembakan Anggota FPI

Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada banyak kejanggalan dalam peristiwa tersebut yang harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Simpatisan anggota FPI saat berunjuk rasa di depan Gedung Mabes Polri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES
Simpatisan anggota FPI saat berunjuk rasa di depan Gedung Mabes Polri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES

Sebagaimana ramai diberitakan media massa, aparat kepolisian melakukan penembakan terhadap 6 orang warga negara yang disebut anggota FPI di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek, Senin (7/12/2020) sekitar pukul 00.30 WIB. Kepolisian beralasan penembakan dilakukan lantaran anggota polisi merasa terancam keselamatan jiwanya karena diserang lebih dulu, kemudian melakukan tindakan tegas dan terukur. Terhadap kelompok MRS (Muhammad Rizieq Shihab) yang berjumlah 10 orang, meninggal dunia sebanyak 6 orang, dan 4 orang melarikan diri.  

Atas peristiwa ini, Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada banyak kejanggalan dalam peristiwa tersebut yang harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara. “Padahal, Konstitusi RI menjamin setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM harus diajukan ke pengadilan dan dihukum melalui proses yang adil dan transparan,” ujar salah satu Anggota Koalisi, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana saat dikonfirmasi, Rabu (9/12/2020). (Baca Juga: Selidiki Penembakan Laskar FPI, Komnas HAM Minta Semua Pihak Mau Terbuka)

Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari LBH Jakarta, YLBHI, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, LBH Pers.

Arif mengungkap beberapa kejanggalan diantaranya mengapa polisi sampai membuntuti pihak FPI hanya karena mendengar kabar akan ada pengerahan massa untuk unjuk rasa? Alasan penembakan juga bersifat umum yaitu "karena ada penyerangan dari anggota FPI". Jika memang ada senjata api dari pihak FPI mengapa tidak dilumpuhkan saja? Jika memang terdapat dugaan memiliki senjata api dan tidak memiliki izin tentunya ini merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula.

“Kejanggalan lainnya adalah CCTV di lokasi kejadian tidak berfungsi,” ujar Arif.   

Dia melihat tentang kronologi kejadian saling bertolak belakang antara FPI dan kepolisian. Tentunya kronologi tersebut tidak bisa ditelan mentah-mentah karena seringkali tidak benar. Dalam kasus pembunuhan YBD oleh polisi tahun 2011 yang ditangani LBH Jakarta misalnya, polisi berkilah YBD melawan petugas, sehingga harus ditembak. Belakangan hasil otopsi menunjukkan bahwa tubuh YBD penuh luka penyiksaan karena diseret dan dipukuli oleh polisi.

Pada akhirnya anggota kepolisian yang melakukan pembunuhan dihukum penjara, tapi sangat ringan. Dalam Operasi Pekat jelang Asian Games 2018 misalnya, kepolisian menembak 77 orang hingga tewas. Ketika diotopsi ternyata asal tembak dari belakang. Tindakan penembakan yang patut diragukan kegentingannya.

Harusnya upaya terakhir

Koalisi menegaskan penggunaan dengan senjata api oleh kepolisian seharusnya hanya upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut.

Atau ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Untuk itu, Koalisi meminta agar dilakukan penyelidikan independen yang serius terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, peristiwa ini harus diusut secara transparan dan akuntabel,” pintanya.

Menurutnya, tindakan extra judicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang-orang yang diduga terlibat kejahatan ini merupakan pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum acara pidana yang serius. Padahal, orang-orang yang diduga terlibat kejahatan memiliki hak ditangkap dan dibawa ke muka persidangan serta mendapatkan peradilan yang adil (fair trial) guna pembuktian, apakah tuduhan yang disampaikan oleh negara adalah benar.

“Hak-hak tersebut jelas tidak akan terpenuhi apabila para tersangka ‘dihilangkan nyawanya’ sebelum proses peradilan dapat dimulai. Penuntutan terhadap perkara tersebut otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia,” kata dia,

Koalisi khawatir tindakan brutal dan melanggar seperti ini tidak mendapat sanksi tegas. Selama ini hampir tak ada penegakan hukum sungguh-sungguh terhadap tindakan extra judicial killing yang diduga kuat dilakukan oleh aparat. Akibatnya kasus-kasus serupa terus berulang. Misalnya, dalam catatan YLBHI menemukan sedikitnya 67 orang meninggal sebagai korban tindakan extra judicial killing pada tahun 2019. Berkaca pada kasus-kasus tahun 2019, mayoritas pelaku adalah aparat kepolisian yaitu 98,5% atau 66 kasus dan sisanya (1 kasus) terindikasi dari militer.  

Arif tak menampik anggota kepolisian juga harus dilindungi dalam kondisi yang membahayakan nyawanya. Adapun upaya penembakan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan memang diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Perkap 1/2009 secara tegas dan rinci telah menjabarkan dalam situasi seperti apa upaya penembakan dapat dilakukan dan prinsip-prinsip dasar apa saja yang harus selalu dipegang teguh oleh aparat kepolisian dalam melakukan upaya penembakan tersebut.

“Sesuai Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009, sebelum memutuskan melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu tindakan seperti perintah lisan, penggunaan senjata tumpul, senjata kimia, seperti gas air mata atau semprotan cabe,” ujarnya memberi contoh.

Setelah segenap upaya tersebut dilakukan, aparat kepolisian baru diperbolehkan menggunakan senjata api atau alat lain dengan tujuan untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka. Hal itu pun hanya apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Kata lain, penggunaan senjata api harus merupakan upaya yang paling terakhir dan sifatnya melumpuhkan, bukan mematikan.

Karena itu, Koalisi mendesak Pemerintah untuk membentuk tim independen melibatkan Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian dalam peristiwa ini. Selanjutnya, membuka hasil fakta-fakta yang ditemukan dari proses penyelidikan tersebut. Setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian haruslah sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan. 

Koalisi meminta penyelidikan yang serius, transparan dan akuntabel terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia. Kami juga mendesak agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)  memberikan perlindungan terhadap saksi, yang keterangannya sangat diperlukan untuk membuat terang perkara ini.”

Sebelumnya, Komnas HAM telah membentuk tim pemantauan dan penyelidikan. Komisioner Komnas HAM bidang Pemantauan dan Penyelidikan, M Choirul Anam, mengatakan tim sedang mendalami informasi untuk mengetahui berbagai informasi yang beredar di publik. Selain mendalami informasi, tim juga mengumpulkan fakta dari pihak langsung terutama pihak FPI dan Polri.

“(Hari ini, red) Kami masih melakukan pendalaman informasi dan meminta keterangan pihak FPI,” kata Anam ketika dikonfirmasi, Selasa (8/12/2020) kemarin.

Anam berharap semua pihak mau bekerja sama dan terbuka (jujur) untuk mengungkap peristiwa ini dengan sebenar-benarnya. “Harapan ini juga kami sampaikan kepada pihak kepolisian (agar terbuka dalam kasus ini, red),” harapnya.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono, mengatakan, polisi mempersilakan Komnas HAM membentuk tim guna mendalami kasus tewasnya enam pengikut Rizieq Shihab. "Ya tidak apa-apa. Itu bentuk pengawasan eksternal," kata dia, di Jakarta, Selasa (8/12/2020) seperti dikutip Antara.

Polri juga nantinya akan membantu memberikan informasi dan data yang diperlukan Komnas HAM dalam menyingkap kasus itu. "Kami akan membantu terkait data yang dibutuhkan," kata dia.

Ia menegaskan selama ini Kepolisian Indonesia telah bersikap transparan dalam berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk mengungkap sejumlah kasus. "Selama ini kami transparan kok," tuturnya.

Ia menambahkan Kepolisian Indonesia juga memiliki tim investigasi internal yang masih bekerja mengungkap kebenaran di balik kasus ini. "Kami ada tim internal, tim masih bekerja."

Tags:

Berita Terkait