Dianggap Tak Urgen, RUU Pengendalian Tembakau Mentok di Baleg
Fokus

Dianggap Tak Urgen, RUU Pengendalian Tembakau Mentok di Baleg

Meski didukung lebih dari separuh anggota dewan, RUU Pengendalian Tembakau tetap tidak diproritaskan Baleg. Alasannya tidak masuk Prolegnas dan tidak urgen.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Namun, masih menurut Sukarno, ada peluang untuk melakukan pembahasan RUU ini di DPR. Syaratnya sesuai dengan ketentuan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengusul RUU harus bisa menunjukkan urgensi kepentingan nasional, jelasnya.

 

Sekarang begini, kalau ada RUU yang mengatur masalah tembakau atau rokok itu, akan banyak dampak yang muncul. Apakah bisa kita melihat anak kecil di pinggir jalan ditangkap karena menjual rokok? Apakah bisa kita melihat para petani yang sudah turun temurun bertani tembakau kehilangan pekerjaannya? Belum lagi masalah penerimaan negara yang mungkin menurun, Sukarno menguraikan.

 

Jadi harus jelas urgensi kepentingan nasionalnya. Jangan cuma karena ditandatangani sekian ratus anggota DPR, lantas itu dianggap hal yang urgen. Bisa saja anggota yang ikut menandatangani dukungan sebenarnya tidak mengerti apa-apa, Sukarno menambahkan.

 

M. Joni, Ketua Komisi Hukum dan Advokasi Komnas Perlindungan Anak menyayangkan sikap Baleg yang tidak melihat urgensi RUU ini. Data tahun 2004 menunjukkan mayoritas perokok masih anak-anak yang mana pada akhirnya anak-anak ini akan menjadi bagian dari 427.948 jiwa yang melayang setiap tahunnya akibat penyakit yang disebabkan rokok. Dengan demikian, jelas tembakau mengancam hak hidup anak. Kalau seperti ini apakah masih harus ditanya unsur mendesaknya? keluh Joni.

 

Tulus Abadi, Pengurus Harian YLKI juga angkat bicara. Menurut Tulus, RUU Pengendalian Tembakau mutlak dibutuhkan secepatnya oleh Indonesia untuk menjamin lingkungan hidup yang sehat terbebas dari asap rokok. Itu juga adalah bagian dari hak asasi manusia yang terdapat dalam konstitusi kita dimana negara  wajib memberikan perlindungan kepada kepada rakyatnya. Jika negara membiarkan warga negaranya terkapar dari asap rokok, maka itu adalah pelanggaran HAM, katanya.

 

Selain itu, lanjut Tulus, RUU menjadi penting karena ternyata hingga saat ini Indonesia belum turut serta dalam Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control, FCTC). FCTC ini sudah diratifikasi oleh 147 negara dari 168 negara anggota WHO yang menandatanganinya. Hal yang memalukan adalah, pemerintah Indonesia justru tidak menandatangani naskah FCTC itu. Padahal sejak awal pemerintah terlibat aktif dalam pembuatan dan pembahasan draf FCTC itu, Tulus mengungkapkan.

 

Pokok-pokok FCTC

  1. Pengendalian harga dan pajak;
  2. Iklan, sponsorship dan promosi;
  3. Pemberian label: peringatan kesehatan dan istilah yang menyesatkan;
  4. Pengaturan udara bersih, bebas asap rokok;
  5. Pengungkapan dan pengaturan isi rokok;
  6. Perdagangan ilegal

 

Tags: