Dianggap Tak Urgen, RUU Pengendalian Tembakau Mentok di Baleg
Fokus

Dianggap Tak Urgen, RUU Pengendalian Tembakau Mentok di Baleg

Meski didukung lebih dari separuh anggota dewan, RUU Pengendalian Tembakau tetap tidak diproritaskan Baleg. Alasannya tidak masuk Prolegnas dan tidak urgen.

IHW
Bacaan 2 Menit

Sumber: Bahan presentasi Tulus Abadi

 

Widyastuti Soerojo, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dengan gamblang menegaskan, Alasan -alasan yang sering diungkapkan untuk menghambat regulasi ini sangatlah mengada-ada.

 

Dari segi pendapatan negara misalnya. Widyastuti beranggapan, jika pemerintah membuat RUU ini dan mengacu pada ketentuan FCTC, maka dapat dipastikan pendapatan negara tidak akan berkurang. Bahkan pendapatan negara akan sangat mungkin meningkat, karena berdasarkan ketentuan FCTC negara bisa menaikkan harga dan cukai rokok, jelasnya.

 

Industri rokok tidak signifikan

Sedangkan di sisi lain, Widyastuti justru tidak melihat signfikansi industri rokok dari sisi penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Ia membagi tenaga kerja kepada dua kelompok. Kelompok pertama adalah tenaga kerja di sektor pertanian yang menanam tembakau. Kelompok lain adalah tenaga kerja yang di industri pembuatan rokok.

 

Dari sisi pertanian, Indonesia hanya menyumbangkan 2,3 persen kebutuhan tembakau di dunia. Penyumbang terbesar adalah  Brazil, China dan India. Dari sisi ketersediaan lahan, selama 40 tahunan, sejak 1960an luas lahan tembakau hanya sekitar 1,2 persen dari total lahan pertanian, ungkap Widyastuti.

 

Sementara bagi tenaga kerja yang bekerja di industri rokok, ia melihat minimnya kontribusi industri rokok terhadap kesejahteraan buruhnya. Biaya yang dikeluarkan untuk upah buruhnya hanya sekitar 0,4 persen dari total biaya produksi. Artinya, upah yang diterima buruh pun lebih kecil dari upah yang diterima buruh yang lain.

 

Jadi tidak etis juga kalau pemerintah selalu berlindung di balik alasan ketakutan terhadap dampak sosial ataupun dampak ekonomi yang bisa ditimbulkan. Pemerintah juga harus memikirkan dampak kesehatan rakyatnya juga dong, tegasnya.

 

Menanggapi pernyataan ini, Sukarno membantah. Dampak kesehatan itu cuma salah satu faktor. Kita tidak boleh melupakan faktor yang lain, seperti faktor sosial dan ekonomi yang akan muncul jika RUU itu diberlakukan.

 

Kendati sikap Baleg demikian,  Tulus Abadi mengaku akan terus mengajak semua komponen masyarakat untuk mendesak pemerintah agar segera melakukan aksesi terhadap FCTC dan juga mendesak Baleg untuk  memprioritaskan RUU Pengendalian Tembakau. Kami mendesak (pemerintah dan DPR, red) untuk segera mengambil langkah-langkah  demi penyelamatan generasi muda, pungkasnya.

Tags: