Dianggap Menurunkan Upah, Permenaker Pengupahan Padat Karya Diprotes Buruh
Berita

Dianggap Menurunkan Upah, Permenaker Pengupahan Padat Karya Diprotes Buruh

Permenaker membuka peluang bagi industri padat karya tertentu yang terdampak pandemi Covid-19 untuk melakukan penyesuaian upah yang dinilai Kalangan buruh berpotensi menurunkan upah buruh di sektor padat karya.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Demo buruh tolak upah murah. Foto Ilustrasi: RES
Demo buruh tolak upah murah. Foto Ilustrasi: RES

Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan di sektor ketenagakerjaan untuk menghadapi pandemi Covid-19. Misalnya, SE Menaker No.M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi Covid-19. Intinya SE itu membuka ruang bagi pengusaha untuk membayar THR dengan cara dicicil.

Terbaru, Pemerintah menerbitkan Permenaker No.2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan Pada Industri Padat Karya Tertentu Dalam Masa Pandemi Covid-19. Dalam konsideran menimbang, beleid yang diterbitkan 15 Februari 2021 itu disebutkan pandemi Covid-19 berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan kemampuan perusahaan industri padat karya tertentu dalam memenuhi hak pekerja/buruh termasuk membayar upah serta kelangsungan bekerja bagi pekerja/buruh.

“Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberi pelindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja pekerja/buruh serta menjaga kelangsungan usaha pada industri padat karya tertentu selama pemulihan ekonomi nasional pada masa pandemi Covid-19,” demikian bunyi Pasal 2 Permenaker No. 2 Tahun 2021 ini. (Baca Juga: Begini PP Pengupahan Atur Formula Penghitungan Upah Minimum)

Dalam beleid ini, industri padat karya tertentu yang dimaksud memiliki 2 kriteria. Pertama, pekerja/buruh paling sedikit 200 orang. Kedua, presentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit 15 persen. Setelah memenuhi kriteria itu, hanya ada 6 jenis industri yang disasar meliputi industri makanan, minuman, dan tembakau; tekstil dan pakaian jadi; kulit dan barang kulit; alas kaki; mainan anak; dan furnitur.

Pelaksanaan pengupahan pada industri padat karya tertentu dalam masa pandemi Covid-19 ini meliputi 3 hal. Pertama, perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19. Kedua, penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah. Ketiga, mekanisme kesepakatan. Permenaker ini menyebutkan perusahaan yang terdampak Covid-19 merupakan perusahaan industri padat karya tertentu yang membatasi kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah. Pembatasan kegiatan usaha itu mengakibatkan sebagian atau seluruh pekerja/buruh tidak masuk bekerja dan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam membayar upah.

Kendati Permenaker ini memberi kesempatan bagi industri padat karya tertentu untuk melakukan penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah, tapi hal ini harus dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan buruh. “Kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh dilakukan secara musyawarah yang dilandasi kekeluargaan, transparansi, dan itikad baik,” begitu bunyi Pasal 7 ayat (1) Permenaker ini.

Lalu, kesepakatan dibuat secara tertulis dan sedikitnya memuat besaran upah; cara pembayaran upah; dan jangka waktu berlakunya kesepakatan paling lama 31 Desember 2021. Tapi perlu diingat penyesuaian besaran upah yang disepakati itu tidak berlaku sebagai dasar perhitungan iuran dan manfaat jaminan sosial, kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK), dan hak lain sesuai peraturan perundang-undangan. Upah yang digunakan untuk perhitungan hak-hak buruh menggunakan nilai upah sebelum penyesuaian upah berdasarkan kesepakatan tersebut.

Namun, terbitnya Permenaker ini diprotes kalangan serikat buruh. Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, menilai Permenaker ini membolehkan perusahaan industri padat karya tertentu yang terdampak pandemi Covid-19 melakukan penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah pekerja/buruh. Beleid ini membuat hak normatif buruh tidak terlindungi karena pengusaha dibolehkan mengurangi upah buruh dengan alasan terkena dampak pandemi Covid-19.

Mirah memahami pandemi Covid-19 menimbulkan dampak yang sangat luas, tapi pemerintah seharusnya tidak menerbitkan peraturan yang merugikan buruh. Sebagaimana diketahui sebagian besar buruh industri padat karya mendapat upah hanya sebatas upah minimum. “Jika upahnya dikurangi dipastikan buruh semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” kata Mirah Sumirat ketika dikonfirmasi, Selasa (23/2/2021).

Walaupun Permenaker menyebut penyesuaian upah ini dilakukan melalui kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh secara musyawarah yang dilandasi kekeluargaan, transparansi, dan itikad baik, tapi Mirah yakin hal ini sulit terwujud. Praktiknya selama ini sulit menemukan pengusaha yang benar-benar transparan dan terbuka terhadap buruhnya mengenai keuangan perusahaan. Apalagi Permenaker ini tidak mewajibkan pengusaha membuka laporan keuangan yang telah diaudit guna membuktikan kerugian karena dampak pandemi Covid-19.

“Permenaker ini juga tidak memberikan jaminan perlindungan hak jika pekerja tidak sepakat dengan penyesuaian upah,” ujarnya.

Mirah khawatir Permenaker ini memicu pengusaha di sektor industri lain untuk melakukan hal yang sama yakni pengurangan upah buruh dengan alasan pandemi Covid-19. Pemotongan upah buruh akan berdampak lebih luas terhadap perekonomian nasional karena membuat daya beli masyarakat semakin turun.

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, Dian Septi Trisnanti, mengatakan organisasinya secara prinsip menolak UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sekaligus menolak Permenaker No.2 Tahun 2021 ini karena membuat pengusaha berpotensi semakin sewenang-wenang memberikan upah.

Sekalipun Permenaker memberi ruang bagi pengusaha dan buruh untuk musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam menentukan upah, tapi Dian menilai hal ini bentuk lepas tanggung jawab negara dalam memberikan pelindungan buruh. “Peran negara sengaja dihilangkan. Kita juga tahu buruh di Indonesia banyak yang belum berserikat, sehingga kesetaraan dalam perundingan itu menjadi hal yang sulit dicapai,” kata dia.

Sama seperti Mirah, Dian menilai sangat sulit mencari pengusaha yang transparan dalam memberikan laporan keuangan perusahaan kepada buruh. Selama ini pengusaha kerap mengeluh merugi, tapi tidak pernah menunjukkan laporan keuangannya. Permenaker ini justru bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, antara lain UU Cipta Kerja yang menegaskan upah tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan.

Permenaker ini harusnya menyasar pihak yang upahnya lebih tinggi di atas upah minimum. Standar penyesuaian juga harus jelas tidak boleh di bawah upah minimum. Dian mencatat selama masa pandemi Covid-19 ini Pemerintah telah memberikan banyak stimulus bagi pengusaha. Misalnya, keringanan pajak, kredit, dan pembayaran iuran BPJS. Perlindungan serupa harusnya juga diberikan untuk buruh. Jangan sampai produktivitas buruh menurun, sehingga berdampak terhadap perusahaan.

“Jika daya beli buruh hilang, siapa yang akan menyerap hasil produksi barang-barang yang diproduksi para pengusaha? Semestinya Pemerintah mencari solusi untuk menyelamatkan dunia usaha sekaligus menyelamatkan daya beli buruh,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait