Di Balik Molornya Nasib RUU KSDAHE
Terbaru

Di Balik Molornya Nasib RUU KSDAHE

Sejumlah dinamika ditemukan dalam perjalanan RUU KSDAHE, mulai dari adanya kepentingan pemerintah dan pengusaha, hingga perdebatan soal ketentuan pidana di dalamnya.

Willa Wahyuni
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Nasib pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) molor karena dugaan penolakan dari kalangan pengusaha dan pemerintah. Tarik ulur pengesahan ditengarai adanya keberatan dari pihak pelaku usaha dan pemerintah terhadap ketentuan pidana terhadap perusak konservasi. Sebaliknya masyarakat sipil menuding DPR tidak terbuka.

Anggota Komisi IV DPR, Darori Wonodipuro menengarai sebagian pengusaha dan pemerintah menghambat pengesahan aturan tersebut. Padahal, RUU KSDAHE sejatinya usul inisiatif DPR. DPR pun terus mendorong agar nasib RUU KSDAHE dapat segera rampung pembahasannya untuk kemudian dapat disetujui menjadi UU.

“Pemerintah justru yang molor,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada Hukumonline, Selasa (10/10/2023) lalu.

Jejak RUU KSDAHE di parlemen sejak Desember 2017 silam. Pimpinan DPR menyodorkan draf RUU berserta naskah akademik. Pada 23 Januari 2018, Menteri Sekretaris Negara menyampaikan RUU KSDAHE dan naskah akademik kepada  internal kementerian terkait di pemerintahan untuk membahas DIM RUU.

Baca juga:

Pada 15 Februari 2018, berlangsung diskusi kelompok terbatas yang melibatkan kementerian dan lembaga terkait. Pada 23-24 Februari, pemerintah membahas pandangan dan sikap pemerintah atas RUU KSDAHE. Pasang surut pembahasan tak dapat dipungkiri.  Pendek cerita, Komisi IV DPR berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna pada 17 Desember 2019 kembali mengusulkan RUU KSDAHE.  

Penyusunan aturan itu berlangsung sejak 6 April 2021 hingga 29 Juni 2022. RUU KSDAHE kemudian disepakati menjadi RUU usulan inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR pada Agustus 2022. Pemerintah kemudian menyampaikan DIM RUU pada Oktober 2022.

“RUU KSDAHE ini sudah kesekian kalinya maju mundur. Pemerintah pernah mengajukan hingga ditarik kembali. Alhamdulillah saat ini menjadi draf dan tinggal membahas pelanggaran pidana sesuai dengan KUHP baru,” ujarnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo G. Sembiring mengatakan DPR tidak perlu terburu-buru menyetujui RUU KSDAHE menjadi UU. Maklum, materi muatan RUU KSDAHE boleh dibilang cukup banyak. Seperti terdapat aspek perizinan, penegakan hukum dan partisipasi masyarakat

“Banyak detil dan perlu berhati-hati sehingga tidak ada yang ketinggalan, DPR nggak perlu terburu-buru juga,” ujarnya.

Kendati demikian, pria biasa disapa Dodo itu berharap RUU KSDAHE dapat disahkan menjadi UU, sepanjang DPR sudah mencermati secara mendalam materi muatannya, termasuk melihat situasi kekinian. Baginya, kondisi di tahun politik menjadi momentum yang tidak tepat karena berbarengan dengan pemilu.

“Momentum yang pas harus disepakati dengan pemerintah, mungkin pasca-Maret sudah lowong dan mulai dibahas,” kata dia.

Sementara Executive Secretary Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat FKKM, Andri Santosa mengatakan molornya nasib pengesahan RUU KSDAHE  menjadi UU menjadi sorotan. Dia mencatat sebelum puasa ramadhan lalu, Komisi IV telah mengundang Pokja Konservasi untuk memberikan masukan pada April lalu. Sayangnya pembahasan terkesan tertutup.

“Sampai sekarang tidak tahu persis pembahasan seperti apa, lalu deal-deal pembahasan DIM tidak terbuka. Kami susah mendapatkan perkembangan informasi rapat Panja. Kami memantau dengan berbagai cara untuk memperoleh data yang minim,” ujarnya.

Andri menyebut lembaga tempatnya bernaung turut memberikan sejumlah masukan kepada pemerintah tentang RUU KSDAHE dan mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam konservasi. Pasalnya dalam UU 5/1990 status pemerintah sangat sentralistis. Padahal, sistem pemerintahan bersifat otonomi daerah yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih. Tantangan semakin besar dan masyarakat harus terlibat dalam perlindungan dan pengelolaan kawasan.

“Penegakan hukum masih lemah, pidananya 2 tahun tapi kadang cuma 5-8 bulan. Setelah itu bebas. Nah, ke depan hukuman perlu diperberat dan dendanya diperbesar untuk memberi efek jera,” kata dia.

Andri melihat   belum ada kesamaan pandangan  antara KLHK dan DPR terhadap perubahan UU 5/1990. Menurutnya, KLHK berkeinginan mempertahankan UU 5/1990 dengan hanya melakukan perubahann terbatas. Sementara DPR  menginginkan perubahan fundamental terhadap UU 5/1990 di dalamnya.

“Jika ditanya RUU KSDAHE ini masih lemah, iya. Terus terang karena pemerintah tidak mau berubah banyak. Kami pantau ada beberapa kesempatan yang tidak sesuai dengan harapan. Contohnya dari strategi pengawasan penegakan hukum yang tidak banyak berubah,” katanya.

Sementara Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi KLHK, Jefry Susyafrianto enggan berkomentar soal ihwal dugaan keberatan KLHK tentang aturan pidana dalam draf RUU KSDAHE. “RUU ini masih dalam proses pembahasan oleh panitia kerja DPR dan pemerintah. Mohon maaf itu bukan kewenangan kami,” pungkasnya.

Tarik ulur ketentuan sanksi pidana

Darori yang mantan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu menyebut bola panas pengesahan aturan itu kini berada di tangan pemerintah dan DPR setelah Kelompok Kerja  (Pokja) Konservasi memberikan masukan melalui Daftar Inventaris Masalah (DIM).  Tapi Darori enggan membuka detail substansi dalam aturan tersebut.

“Bahannya dari pakar dan lembaga swadaya masyarakat, lalu kami olah dan jadi pasal. Intinya, sanksi dan ancaman pidana dalam RUU ini akan lebih tegas,” imbuhnya.

Berikut ketentuan pidana dalam RUU KSDAHE

Hukumonline.com

Politisi Partai Gerindra itu menilai RUU KSDAHE sedianya perubahan atas UU No.5 Tahun 1990 tentang  Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun praktiknya, Darori tidak menampik  pembahasan RUU KSDAHE molor karena dugaan pemerintah dan pengusaha keberatan dengan sanksi pidana.

“Misalnya ketentuan pidana yang ditambah. Tapi, tim pemerintah menginginkan pidana tidak boleh melebihi KUHP, padahal kan RUU ini lex specialist,” ujarnya.

Darori mengatakan,  komisi tempatnya bernaung setuju dengan RUU KSDAHE, namun ada sebagian kecil pasal yang perlu diperbaiki. Darori menepis molornya pengesahan RUU KSDAHE karena bersamaan dengan masa kampanye dan berdekatan dengan tahun politik 2024. Darori optimis RUU KSDAHE segera disahkan sebelum Pemilu 2024.

Sementara Dodo menilai UU 5/1990 sudah tak relevan dengan perkembangan global. Sebab banyaknya aturan-aturan terbaru, sehingga UU 5/1990 perlu diperbaharui. Selain itu, soal penegakan hukum dalam UU 5/1990 hanya mengatur pasal pidana dan kurang membahas soal sanksi administrasi.

Apalagi setelah UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP berlaku tiga tahun mendatang. Dengan kata lain, jenis pidana pokok bertambag, ancaman pidananya pun memiliki rumus yang baru. Seperti pidana denda, pidana badan memili kategori tersendiri. Baginya, penegakan hukum sanksinya tak melulu pidana badan, tapi masuk ke aspek administatif berupa denda, pencabutan izin

“Termasuk ganti rugi kepada pemerintah,” ujarnya.

Lembaga yang dipimpin Dodo itu, merupakan bagian dari Pokja Konservasi yang terus mendorong agar sanksi pidana tak hanya  menjerat individu, tapi juga korporasi. ICEL, kata Dodo melihat banyak badan hukum yang memiliki hak melakukan konservasi tetapi mengandung tindakan ilegal.

Tags:

Berita Terkait