Di Balik Kemenangan Tim Moot Court Indonesia
Berita

Di Balik Kemenangan Tim Moot Court Indonesia

Indonesia boleh berbangga putra-putrinya merajai kompetisi peradilan semu internasional. Tiada hasil tanpa perjuangan. Inilah salah satu kemenangan terakhir.

Lay
Bacaan 2 Menit
Di Balik Kemenangan Tim <i>Moot Court</i> Indonesia
Hukumonline

 

Latihan selama berminggu-minggu tersebut membuahkan juara I Humanitarian Law Moot Court Competition tingkat nasional. Yang pertama kepikiran langsung tingkat internasionalnya. Persiapannya harus lebih berat lagi. Senangnya hanya beberapa hari, ujar Tracy dengan dibenarkan Selwas.

 

Uang hadiah yang sudah didapat didayagunakan untuk membayar biaya administrasi dan biaya registrasi The Asia Pasific International Humanitarian Law Moot Court Competition. Maklum, persediaan dana untuk mengikuti kompetisi itu sangat terbatas. Selain bantuan dana dari ICRC – Indonesia, para peserta harus menguras kocek sendiri.

 

Di saat mahasiswa lain masih menikmati libur akhir semester, trio tim moot court ini dan para pelatih malah mengintensifkan latihan. Secara bergantian mereka berlatih di rumah Hersapta Mulyono, Hanna Azkiya, dan senior-senior lain. Hanna Azkiya, tak lain adalah, the best oralist pada Philip C. Jessup Moot Court Competition tahun 2007 lalu.

 

Latihan terpaksa intensif dilakukan mengingat mereka harus berkejaran dengan problem waktu pengiriman contoh kasus dari penyelenggara kompetisi. Setelah peserta mendapatkan contoh kasus, mereka harus menyusun berkas-berkasnya.

 

Menurut Tracy, yang paling berat mereka hadapi adalah perbedaan masalah yang harus diselesaikan, yang memaksa tim melakukan riset ulang. Jenuh ada banget, akunya. Namun dia selalu mengingatkan diri, timnya sedang mewakili Indonesia dan cita-cita mengharumkan nama bangsa di internasional harus diwujudkan.

 

Berbeda dengan pada saat di tingkat Nasional, Selwas tidak dipilih para pelatih menjadi Oralist untuk mewakili timnya di ajang Asia-Pasifik. Kali ini, giliran Katrina yang berduet dengan Tracy. Saya tidak tahu pertimbangan pelatih, tapi mungkin teman-teman saya lebih baik, ujarnya merendah. Meski begitu, Selwas tidak patah arang dan terus membantu persiapan timnya sebagai researcher.

 

Tidak sedikit kandidat LL.M yang berpatisipasi dalam ajang bergengsi ini. Bagi Tracy, menjadi Oralist pada pertandingan internasional perdananya cukup membebani. Begitu maju, semua di tangan Oralist, bagaimana saya sebagai seorang individu memuaskan ekspektasi seluruh tim, ujarnya. Dia mengakui khawatir tidak bisa memenuhi harapan dan tidak yakin bisa melakukannya atau tidak. Namun Tracy berpegang sepanjang yang terbaik bisa dilakukan, maka itu sudah cukup.

 

Hawa kompetisi tak pelak berkobar di arena. Dari mulai sindiran kindergarten yang ditujukan kepada Tracy dan Katrina yang memang berpostur lebih imut ketimbang rata-rata etnis Kaukasia. Hingga omongan miring seputar kemenangan Indonesia atas Filipina.

 

Selwas mengakui para pendukung tim Filipina tidak merasa puas atas kekalahan timnya melawan Indonesia pada saat semi-final. Maklum, University of Philipine selama ini menjadi jawara moot court di bidang humanitarian.  Nada sumbang juga terdengar dari kubu University of Adeleide, Australia. Tapi waktu mereka melihat kita di final, kita diakui pantas, ujar Selwas dengan sumringah.

 

Setelah menyisihkan dua universitas tersebut, Indonesia berhadapan dengan University of Gujarat, India, di tingkat final. Tracy dan Selwas mengakui tim India tersebut adalah lawan yang cukup berat. Tak kepalang, tebalnya berkas mereka mencapai sejengkal tangan orang dewasa. Baik hakim maupun tim Indonesia sama-sama terperangah. Hakim sampai bilang, ‘kamu mengharapkan saya baca sedemikian tebal'? Selwas mengenang.

 

Meski secara substansial kedua tim sama kuatnya. Namun Indonesia lebih unggul karena faktor-faktor esensial yang dilupakan tim Lawan. Kita lebih sopan, lebih engaging apa yang ditanya hakim, lebih bisa membedakan pertanyaan yang jebakan dengan yang benar-benar tidak diketahui hakim, dan kalau menjawab to the point, papar Selwas panjang lebar. Tim Gujarat seringkali memotong pertanyaan hakim dan seringkali muter-muter bila menjawab.

 

Padahal, sebagaimana yang dinyatakan oleh salah seorang hakim pada saat kompetisi, moot court competition bertujuan untuk melatih mahasiswa memberikan argumen hukum yang baik dan memahami sopan santun di persidangan.

 

Seluruh anggota tim sempat tidak yakin telah menang pada saat pengumuman juara. Pasalnya, yang diumumkan duluan adalah University of Gujarat sebagai Juara 2 dan jeda untuk mengumumkan Juara 1 cukup lama. Kita yang liat-liatan, bener gak nih kita juaranya, Tracy berujar sambil tertawa geli.

 

Kebahagiaan yang meledak tatkala Indonesia dinyatakan sebagai pemenang menjalar hingga tanah air. Kecekatan Wincen sebagai pendukung tim FHUI dalam menghubungi para kolega dan keluarga trio moot court diakui Selwas sangat membantu penyebaran kabar baik tersebut. Bertubi-tubi sms yang mengucapkan selamat masuk ke HP para anggota tim hanya dalam hitungan menit. Termasuk dari mantan Dekan FHUI yang juga Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana.

 

Selamat....

Tahun 2009 menjadi momentum bagi Indonesia untuk berjaya di kancah kompetisi peradilan semu (moot court) tingkat internasional. Melalui perjuangan panjang trio mahasiwa/i hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), juara I The Asia Pasific International Humanitarian Law Moot Court Competition berhasil diraih. Di balik suka cita yang melanda pasca kemenangan mereka, tak pelak tersimpan berbagai kisah yang mengiringi persiapannya.

 

Hukumoline merangkaikan suka-duka yang diceritakan langsung oleh dua anggota tim moot court tersebut, Tracy Tania dan Aloysius Selwas Taborat pada hari pertama mereka tiba kembali ke Jakarta, Kamis (12/03) lalu. Anggota lain yang ikut kompetisi adalah Katrina Marcellina.

 

Tracy (20) masih duduk di semester 4 FHUI sewaktu mengikuti seleksi tim moot court fakultas untuk Humanitarian Law Moot Court Competition tingkat nasional, akhir tahun 2008. Bersama Selwas (22), Tracy terpilih menjadi Oralist dalam kompetisi tersebut. Kita latihan tiap hari sampai jam 3 pagi, jam 8 harus UAS (Ujian Akhir Semester-red), kenang gadis berpostur mungil ini.

 

Selwas menambahkan, tidak ada dispensasi bagi anggota tim dalam perkuliahan. Kuncinya, manajemen waktu yang sangat baik dan belajar pada sela-sela latihan. Rasa jenuh bukan tidak ada, malah acapkali melanda. Pas sudah mulai malas latihan, saya ingat ini jalan yang saya pilih, jadi jalani saja, ungkapnya. Toh, nilai-nilai yang dicapai usai UAS ternyata lebih baik dari yang mereka sangka.

Tags: