Dewas Tak Temukan Bukti Cukup Dugaan Pelanggaran Etik Pimpinan KPK
Terbaru

Dewas Tak Temukan Bukti Cukup Dugaan Pelanggaran Etik Pimpinan KPK

Sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke Sidang Etik.

M. Agus Yozami
Bacaan 7 Menit
Sidang pembacaan putusan dugaan pelanggaran kode etik pimpinan KPK yang disiarkan secara virtual di Gedung KPK di Jakarta, Jumat (23/7). Foto: RES
Sidang pembacaan putusan dugaan pelanggaran kode etik pimpinan KPK yang disiarkan secara virtual di Gedung KPK di Jakarta, Jumat (23/7). Foto: RES

Dewan Pengawas KPK menyatakan tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan ke sidang etik terkait dugaan pelanggaran etik lima orang pimpinan KPK yang dilaporkan para pegawai. Hal ini disampaikan Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam konferensi pers seperti dilansir Antara, Jumat (23/7).

"Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka Dewan Pengawas secara musyawarah dan mufakat berkesimpulan seluruh dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku yang dilakukan oleh pimpinan KPK sebagaimana yang disampaikan dalam Surat Pengaduan kepada Dewan Pengawas, tidak cukup bukti sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke Sidang Etik," kata Tumpak. 

Laporan dilayangkan oleh para pegawai KPK yaitu Yudi Purnomo, Abdan Syakuro dan Nita Adi Pangestuti sedangkan pihak terlapor adalah Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli Siregar. Terhadap pengaduan tersebut, Dewas telah memeriksa 11 orang saksi dan 5 orang terlapor serta mendapatkan 42 dokumen dan rekaman.

Dewas juga telah memeriksa pihak internal KPK yaitu Sekjen KPK Cahya H Harefa, Kepala Biro Hukum KPK Ahmad Burhanuddin dan Kepala Biro SDM KPK Chandra Sulistio Reksoprodjo. Sedangkan pihak eksternal yang diperiksa KPK adalah Wakiran dan Juli Leli Kurniati dari BKN, Aba Subagja dan Diah Ipma Fithria dari KemenPAN-RB dan Unan Pribadi dari Kemenkumham. (Baca: Ombudsman Temukan Berbagai Penyimpangan dalam Peralihan Pegawai KPK)

Dari keterangan para saksi, terlapor, pelapor, dokumen dan rekaman tersebut, Dewas KPK pun mendapatkan 97 fakta. "Dalam pemeriksaan kami telah memperoleh banyak fakta yaitu fakta yang berhubungan penyusunan Perkom No.01 tahun 2021 ada 49 fakta, terkait Tes Wawasan Kebangsaan ada 14 fakta, berhubungan dengan pernyataan-pernyataan Firli Bahuri dalam rapat 5 Maret 2021 ada 6 fakta, terkait rapat pimpinan pada 29 April 2021 sejumlah 15 fakta dan terkait SK No 652 tahun 2021 ada 13 fakta," tambah Tumpak.

Anggota Dewas Harjono menambahkan bahwa Ketua KPK Firli Bahuri tidak menyisipkan pasal mengenai pelaksanaan TWK ke draf peraturan komisi mengenai alih status pegawai. Menurutnya, ketentuan mengenai TWK merupakan masukan dari BKN yang pertama kali disampaikan pada rapat 9 Oktober 2020 serta rapat harmonisasi Kemenpan RB dan BKN.

Dalam rapat tersebut menurut Dewas, Wakil Kepala BKN telah memberikan tanggapan di antaranya; (1) agar terhadap syarat "setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah" perlu dipertimbangkan kembali apakah cukup hanya dengan menandatangani pakta integritas, (2) Kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah terhadap pegawai KPK belum pernah dilakukan pengukuran/seleksi.

Selanjutnya pada 20 Januari 2021, draf Perkom tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN disampaikan Biro Hukum KPK melalui email yang memuat perubahan pada Pasal 5 ayat (3) yaitu "syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d dituangkan dalam surat pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Komisi ini."

Perubahan juga termuat dalam Pasal 5 ayat (4) yang menyatakan "syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan melalui asesmen tes wawasan kebangsaan". Kemudian, pada 25 Januari 2021 dilakukan rapat pembahasan kembali oleh pimpinan dan para pejabat struktural yang memutuskan pelaksanaan TWK bekerja sama dengan BKN.

Setelah draf final perkom pada 25 Januari 2021 disetujui, Sekjen KPK Cahya H Harefa mengirimkan surat permohonan harmonisasi kepada Kemenkumham serta dikirimkan juga ke Kemenpan-RB, Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melalui email pada 25 Januari 2021.

Barulah pada 26 Januari 2021, dilakukan rapat harmonisasi draf Perkom tersebut bersama dengan Kemenkumham, BKN, LAN, KASN dan Kemenpan RB di Kemenkumham. Firli Bahuri menurut Dewas mengikuti rapat harmonisasi di Kemenkumham bersama Nurul Ghufron dan Cahya Harefa namun Cahya menunggu di luar ruangan karena ada pembatasan peserta akibat pandemi COVID-19.

Pada rapat tersebut, BKN menyampaikan tanggapannya yang menyetujui pelaksanaan TWK bekerja sama dengan BKN. Sehingga setelah Perkom No. 01 Tahun 2021 diundangkan pada 27 Januari 2021, isi perkom disampaikan kepada seluruh pegawai KPK melalui email pada 10 Februari 2021.

Selanjutnya pada 17 Februari 2021 dilakukan sosialisasi Perkom No. 01 tahun 2021 kepada pegawai KPK melalui "zoom meeting" oleh Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Cahya Harefa, Kabiro SDM KPK Chandra Sulistio Reksoprodjo serta Kabiro Hukum KPK Ahmad Burhanuddin termasuk adanya syarat untuk mengikuti TWK bagi seluruh pegawai KPK. Chandra Sulistio diketahui juga termasuk dalam 75 orang pegawai yang tidak lolos TWK.

Anggota Dewas lainnya Syamsuddin Haris menambahkan setelah pemaparan materi selesai, dibuka sesi tanya jawab. Pegawai KPK ada yang menanyakan konsekuensi atas TWK jika nantinya ada pegawai yang tidak lulus, dan saat itu Chandra Sulistio Reksoprodjo hanya menyampaikan keyakinannya bahwa pegawai KPK pasti akan dapat melalui TWK. Setelah itu pada 17 Februari 2021 materi sosialisasi dikirimkan kepada seluruh pegawai melalui email.

Setelah materi sosialisasi disampaikan, tidak ada lagi pertanyaan atau perdebatan mengenai TWK. Adapun pertanyaan yang pernah ada dari pegawai bernama Faisal melalui email pada 18 Februari 2021 yang ditujukan kepada Kepala Biro SDM terkait dengan perhitungan kepangkatan pegawai KPK yang berdasarkan "grading" bukan masa kerja.

Namun ketika pada 2 Maret 2021, pegawai KPK diminta untuk melengkapi administrasi TWK oleh BKN melalui email maka sejumlah pegawai KPK pun menyampaikan sejumlah pertanyaan antara lain alasan dilakukan TWK, padahal dalam UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK amanahnya adalah alih status yang bagi pegawai dimaknai secara otomatis menjadi pegawai ASN, pertanyaan soal cakupan dan konsekuensi TWK serta potensi terjadinya kerugiaan yang akan dialami oleh pegawai KPK dari pelaksanaan TWK.

Wadah Pegawai KPK juga sudah mengirimkan surat pada 4 Maret 2021 yang intinya menyampaikan keberatan atas TWK kepada pimpinan. "Terhadap pertanyaan pegawai yang disampaikan tersebut, telah direspons oleh saudara Nurul Ghufron melalui email pada 6 Maret 2021," ungkap Syamsuddin.

Bekerja Seperti Biasa

Anggota Dewas KPK lainnya Albertina Ho menambahkan setelah 1 Juni 2021, para pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK sebagai syarat alih status dari pegawai KPK menjadi ASN masih dapat bekerja seperti biasa berdasarkan perintah dari atasan langsung.

Penilaian Dewas ini terkait aduan tentang "Rapat pimpinan bersama dengan beberapa pejabat struktural pada hari Kamis, 29 April 2021 sebelum pembukaan TWK telah diniatkan agar pegawai yang tidak memenuhi syarat berdasarkan hasil asesmen TWK dari BKN diminta mengundurkan diri per 1 Juni 2021 dan jika tidak mengundurkan diri tetap diberikan SK Pemberhentian serta tidak ada hal lain yang bisa dilakukan".

"Dalam rapat tanggal 5 Mei 2021, tidak ada pembahasan dan keputusan untuk memberhentikan pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat," ungkap Albertina.

Pimpinan KPK walau telah memperoleh hasil TWK, menurut Dewas, masih tetap berupaya untuk memperjuangkan agar seluruh pegawai KPK dapat diangkat sebagai ASN. Hal tersebut dibuktikan dengan dilakukannya rapat koordinasi pada 25 Mei 2021 dengan Kemenpan RB, BKN, Kemenkumham, LAN dan KASN. Hasil rapat koodinasi 25 Mei 2021, memutuskan sebanyak 24 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dapat diangkat sebagai pegawai ASN setelah mengikuti dan lulus pelatihan bela negara yang diselenggarakan oleh Kemenhan.

Dewas menyebut tidak ada pernyataan, baik dari Sekjen KPK maupun Pimpinan yang mengatakan bahwa pegawai yang tercantum dalam SK Nomor 652 Tahun 2021 mengenai pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat untuk dinonaktifkan dari pekerjaannya atau diberhentikan dari KPK. Sampai saat ini, pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat masih dapat melaksanakan tugasnya berdasarkan perintah atasan langsung dan masih memperoleh hak-hak kepegawaiannya sebagai pegawai KPK.

Penyerahan tugas dan tanggung jawab yang dimaksudkan adalah sebagai mitigasi risiko terhadap pegawai yang melaksanakan tugas "projusticia" dan/atau pengambil keputusan (struktural) agar tidak terjadi permasalahan hukum ke depan seperti misalnya gugatan hukum akibat pelaksanaan tugas yang masih dilaksanakannya.

Soal Materi TWK

Di samping itu, Dewas KPK berpendapat tidak ada pegawai yang keberatan mengenai materi pertanyaan TWK. Penilaian Dewas tersebut terkait aduan "Perbuatan dan tindakan Pimpinan KPK yang membiarkan pelaksanaan asesmen yang diduga melanggar hak kebebasan beragama/berkeyakinan, kebebasan berekspresi/berpendapat dan hak bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual dan tidak menindaklanjuti pengaduan pegawai atas pelanggaran tersebut" yang dilayangkan pegawai KPK.

Menurut Anggota Dewas KPK Syamsuddin, berdasarkan keterangan pelapor yaitu Abdan Syakuro dan Nita Adi Pangestuti dalam pelaksanaan wawancara yang bersangkutan mendapati adanya pertanyaan-pertanyaan yang menurut mereka tidak terkait dengan TWK dan cenderung melecehkan.

Pertanyaan tersebut antara lain adalah "Saudari masih suka laki-laki", "Kalau pacaran ngapain aja”, "Saudara setuju dengan seks bebas". Atas pertanyaan kemudian diadukan ke atasan langsungnya yaitu Kasatgas dan tidak berusaha menginformasikan hal tersebut kepada atasannya yang lebih tinggi. Berdasarkan keterangan dari Pimpinan, tidak ada pegawai yang langsung menginformasikan materi pertanyaan TWK baik melalui forum resmi maupun secara pribadi.

"Pimpinan KPK baru mengetahui dari media dan surat rekomendasi dari Komnas Perempuan atas laporan yang disampaikan oleh pegawai mengenai adanya dugaan materi pertanyaan melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan, kebebasan berekspresi/berpendapat dan hak bebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual yang diterima oleh pegawai KPK pada saat wawancara dalam TWK," ujar Syamsuddin.

Pegawai KPK juga pernah melaporkan pelaksanaan TWK kepada Komnas Perempuan yang dalam siaran persnya pada 12 Mei 2021 memberikan rekomendasi terhadap pelaksanaan TWK kepada BKN dan KPK. Dewas menerangkan bahwa alat ukur yang digunakan dalam TWK adalah Tes IMB - 68 (68 pertanyaan) dan Integritas dalam pertanyaan tertutup yang dilaksanakan oleh Dinas Psikologi Angkatan Darat (DISPSIAD) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.

Selain itu, ada juga "profiling" melalui analisis kehidupan dunia maya (media sosial) dan dunia nyata yang standarnya ditentukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hasil temuan dalam Tes IMB-68 dan integritas serta profiling didalami dalam wawancara. Wawancara dilakukan oleh tim asesor yang telah tersertifikasi.

Sedangkan aspek yang diukur dalam wawancara adalah aspek pribadi (motivasi, nilai-nilai, pengabdian), aspek pengaruh (pengaruh keluarga, pengaruh lingkungan), aspek dukungan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah (pandangan terhadap ideologi negara, kebinekaan, kebijakan pemerintah).

Sebelum IMB 68 diputuskan sebagai salah satu alat ukur dalam TWK, BKN melakukan rapat dengan mengundang BNPT dan Dinas Psikolog AD untuk membahas lebih lanjut dari seluruh komponen tes dan memastikan bahwa tes tersebut tepat untuk digunakan. Berdasarkan hasil rapat tersebut, Kepala BKN memutuskan IMB 68 kemudian menjadi salah satu alat ukur yang digunakan untuk melakukan TWK.

Alat ukur IMB 68 juga telah digunakan oleh beberapa kementerian, yaitu pada lingkungan TNI/Polri (semua jenjang), BNPT pada rekruitmen sebelumnya, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pada Kementerian Keuangan dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), tetapi pelaksanannya langsung ditangani oleh Badan Psikologi AD tidak melalui BKN. Rencananya alat ukur tersebut juga akan digunakan untuk seluruh kementerian dan rekruitmen CPNS ke depan.

Tags:

Berita Terkait