Dewan Pers Diminta Tindak Pemberitaan Berbasis Stigma Terhadap Anak
Terbaru

Dewan Pers Diminta Tindak Pemberitaan Berbasis Stigma Terhadap Anak

Ada yang luput menyamarkan identitas anak dalam pemberitaan. Seperti keharusan menyamarkan identitas anak, bukan malah menarasikan stigma.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Belakangan terakhir media ramai memberitakan kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan. Perkara yang melibatkan anak itu menyita perhatian publik. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) menyoroti pemberitaan media terhadap kasus tersebut.

Terutama setelah salah satu pelaku yang berusia anak divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Anak yang berhadapan dengan hukum itu dinyatakan bersalah melanggar pasal 355 ayat 1 KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dijatuhi pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan.

Peneliti ICJR, Genoveva Alicia, menilai dari berbagai pemberitaan media sayangnya ada yang luput menyamarkan identitas anak dalam perkara tersebut. Padahal terhadap pelaku pidana yang usia belum dewasa menjadi keharusan disamarkan identitas anak, bukan malah menarasikan stigma

“Yang akhirnya menimbulkan narasi publik yang sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan anak,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (12/04/2023).

Baca juga:

Genoveva mengatakan, koalisi berempati terhadap peristiwa yang terjadi kepada korban dan keluarganya, dan secara tegas menolak dan tidak membenarkan adanya tindakan kekerasan sebagaimana yang terjadi di dalam kasus ini. Tapi koalisi menemukan beberapa media yang memberitakan kasus ini, utamanya sidang putusan pada Senin (10/4/2023) lalu, tanpa memperhatikan prinsip perlindungan anak dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan etika jurnalistik ketika memberitakan anak.

Dalam sidang pembacaan putusan, Genoveva mencatat hakim menyampaikan kronologi peristiwa yang berkaitan dengan riwayat seksual anak tersebut yang seharusnya dapat dilihat sebagai kekerasan seksual, sebagai bagian dari informasi yang dimuat dalam putusan. Namun, yang menjadi keprihatinan adalah informasi riwayat seksual ini kemudian yang diangkat oleh beberapa media menjadi pemberitaan. Bahkan dengan narasi yang menstigma dan tanpa menyamarkan identitas.

Staff Khusus Perlindungan Anak & Advokasi, ChildFund Indonesia Reny Haning, menambahkan sebagian pemberitaan yang beredar telah melanggar prinsip perlindungan anak, utamanya anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Menurutnya media berperan penting menghadirkan rasionalisasi kepada kemarahan publik atas kasus ini. Sekalipun terlibat sebagai pelaku tindak pidana, anak harus tetap dijamin hak atas perlindungannya.

“Bukan malah media menjadi sumber munculnya stigma terhadap anak,” ujarnya.

Tak sekedar terkait sidang pembacaan putusan, Reny melihat sejak awal perkara ini stigma terhadap anak tergolong masif dilakukan media. Misalnya identitas sekolah sudah diketahui publik. Identitas anak disebut dalam beberapa bentuk kata ganti seperti ‘mantan pacar’ yang membuat tak ada upaya yang berarti untuk secara serius menyamarkan identitas anak. Bahkan diantara narasinya tersebut, juga ada yang melecehkan berbasis gender anak.

Reny menegaskan identitas anak yang tidak dirahasiakan dalam pemberitaan melanggar pasal 19 UU 11/2012 yang menyatakan adanya kewajiban merahasiakan identitas anak. Pasal 61 UU 11/2012 menegaskan sekalipun sidang pembacaan putusan dilakukan secara terbuka, namun, kerahasiaan identitas anak tetap harus dijaga dengan tidak menunjukkan gambar dan hanya menggunakan inisial.

Pasal 97 UU 11/2012 juga mengatur ancaman pidana terkait pelanggaran kerahasiaan identitas anak. Lebih lanjut dalam konteks jurnalistik, Reny mengingatkan pemberitaan yang menyebutkan secara langsung identitas anak dan tidak dengan itikad baik merahasiakan identitas ini, juga melanggar Peraturan Dewan PERS No. 1/PERATURAN-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Poin pertama peraturan itu menyatakan kewajiban wartawan merahasiakan identitas anak, khususnya anak yang ada di dalam sistem peradilan pidana, termasuk ketika dirinya dijatuhi pidana.

Perwakilan Wahana Visi Indonesia Junito Drias, mengatakan berdasarkan berbagai hal itu koalisi meminta Dewan Pers mengambil langkah terhadap media yang secara terang-terangan melakukan stigma terhadap riwayat seksual anak, yang seharusnya bisa dilihat sebagai dugaan terjadinya kekerasan. Dewan Pers dapat segera membuat pernyataan resmi terkait dengan sikap media berkaitan dengan kasus ini.

“Menindaklanjuti dengan memeriksa dan memberikan sanksi kepada media-media yang melakukan pelanggaran terhadap kerahasiaan identitas anak,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait