Developer Apartemen Pallazo Dipailitkan
Utama

Developer Apartemen Pallazo Dipailitkan

Menurut majelis hakim tidak diserahkannya apartemen bisa dikategorikan sebagai utang. Sebab pengertian utang bukan hanya berupa uang, tapi juga berupa kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang.

Mon/M-7
Bacaan 2 Menit
PN Jakpus mengabulkan permohonan pailit konsumen Apartemen <br> Palazzo, Kemayoran. Foto: Sgp
PN Jakpus mengabulkan permohonan pailit konsumen Apartemen <br> Palazzo, Kemayoran. Foto: Sgp

Pengembang properti PT Pelita Propertindo Sejahtera dipailitkan. Putusan pailit dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Syarifuddin serta beranggotakan Nirwana dan Herdy Agusten. Putusan itu dijatuhkan Senin (26/1) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pada kasus sebelumnya, developer Apartemen Pallazo Kemayoran itu berhasil lolos dari jerat pailit setelah permohonan peninjauan kembali pemohon pailit sebelumnya ditolak Mahkamah Agung.

 

Perkara ini bermula dari permohonan pailit yang diajukan lima orang konsumen pembeli apartemen awal Desember lalu. Mereka adalah Chaterin Lawrence, Lim Sioe Gwat, Gunawan Sugih, Raj Kumar dan Renny, masing-masing sebagai termohon I-V.

 

Majelis hakim menilai hubungan antara pemohon dan PT Pelita Propertindo adalah hubungan antara pembeli dan penjual. Lalu, apakah tidak diserahkannya apartemen bisa dikategorikan sebagai utang? Bisa. Menurut majelis hakim pengertian utang bukan hanya berupa uang. Bisa juga berupa kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang.

 

Pengertian utang itu merujuk dari Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Yakni, kewajiban yang dinyatakan) atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.        

 

Pemohon pailit, kata Syarifuddin, terbukti telah melunasi pembayaran unit apartemen sesuai pesanan. Jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. Hal itu dibuktikan dari kwitansi pembayaran yang diajukan ke persidangan.

 

Dari berkas permohonan terurai, pembeli apartemen punya versi sendiri-sendiri soal berapa jumlah pembayaran, jenis apartemen dan waktu penyerahan apartemen. Chaterin Lawrence, misalnya, membeli Apartemen Palazzo di Tower Catania seharga Rp572,5 juta pada 5 September 2007. Sesuai perjanjian, PT Pelita Propetindo akan menyelesaikan pembangunan apartemen itu paling lama 31 Oktober 2007. Namun hingga kini masih nihil.

 

Nasib sama dialami Lim Sioe Gwat yang membeli Apartemen Palazzo Tower Genova lantai 27 seharga Rp733,2 juta pada 18 Mei 2006. Hingga waktu yang ditentukan, tepatnya, 30 Juni 2007, Lim tetap tak bisa menempati apartemen yang telah dilunasi.

 

Bahkan pembeli sebelumnya mengalami hal serupa. Rencananya, Gunawan Sugih, Raj Kumar dan Renny akan menerima penyerahan apartemen pada 31 Desember 2006. Nyatanya hingga kini belum terealisasi. Padahal Gunawan Sugih telah melunasi pembayaran Rp345,384 juta pada 11 April 2006, Raj Kumar sebesar Rp547,9 juta dan Rinna sejumlah Rp402,9 juta.

 

Namun hingga permohonan diajukan belum melakukan kontra prestasi. Hingga kini, PT Pelita Propertindo belum menyerahkan unit apartemen pada pemohon. “Bisa dikatakan tergugat mempunyai kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang,” kata hakim.

 

Kreditur Lain

Selain pemohon, PT Pelita Propertindo terbukti memiliki 38 kreditur lain. Dengan begitu permohonan pailit telah memenuhi syarat pembuktian sederhana sebagaimana ditentukan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. Permohonan juga memenuhi Pasal 2 ayat (1) beleid yang sama, yakni terdapat utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, serta terdapat dua kreditur atau lebih.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim juga menolak eksepsi dari PT Pelita Propertindo. Sebelumnya, kuasa hukum PT Pelita Propertindo menyatakan permohonan pailit ini nebis in idem. Karena dalam perkara terdahulu, permohonan pailit juga diajukan oleh konsumen apartemen. Pada 2008, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pailit itu dengan alasan belum bisa dibuktikan secara sederhana bahwa itu adalah utang. Alasan itu ditampik majelis hakim. Menurut majelis, UU Kepailitan tidak mengenal nebis in idem

 

Untuk mengurus dan membereskan harta pailit, majelis hakim menunjuk tiga kurator. Yakni, Bernard Nainggolan, Akhyar Baso Amri dan Anita Khadir. Urusan pengawasan proses pailit, diserahkan pada hakim Yulman.

 

Kuasa hukum pemohon, Indra Nurcahya menyatakan menerima putusan hakim karena telah sesuai dengan UU Kepailitan. “Sesuai dengan apa yang kita minta dan sesuai dengan Pasal 1 angka 6 tentang pengertian utang dalam arti luas,” katanya saat dihubungi melalui telepon.

 

Irwin Setiawan, kuasa hukum PT Pelita Propertindo, punya pendapat berbeda.  Berdasarkan putusan MA sebelumnya, kata Irwin, utang itu adalah sesuatu yang berbentuk uang. “Itu sudah menjadi yurisprudensi tetap MA,” imbuhnya. Menurutnya, kewajiban penyerahan apartemen tidak bisa dikategorikan sebagai utang. Karena kewajiban PT Pelita Propetrindo adalah kewajiban menyelesaiakan pebanguna apartemen.

 

Selain itu, sistem jual beli antara konsumen dengan prusahan developer adalah itu pembelian dengan pemesanan. Artinya yang akan serahkan dalam pemberian uang itu adalah apartemen. “Dalam perjanjian jual beli sudah diatur soal keterlambatam sehingga tidak bisa secara sederhanan itu ditentukan sebagai utang,” kata Irwin.

Tags: