Desakan Revisi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menguat
Berita

Desakan Revisi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menguat

Hakim adhoc dari unsur serikat buruh berharap arah revisi UU PPHI lebih mengedepankan aksesibilitas buruh. Mulai dari hukum acara di persidangan, sampai masalah eksekusi putusan.

IHW/ASh
Bacaan 2 Menit
Desakan Revisi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menguat
Hukumonline

Desakan agar pemerintah dan DPR merevisi UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) tampaknya tak terbendung lagi. Melihat ketidakadilan kondisi pekerja dengan pengusaha, dibiarkan untuk dimejahijaukan saja, bertengkar dan berselisih dalam posisi yang tidak seimbang, ujar Timboel Siregar dalam forum diskusi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional dan hukumonline beberapa waktu lalu di Jakarta.

 

Timboel yang  juga Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) itu sedang mengomentari proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial –dulu biasa disebut dengan perselisihan perburuhan- berdasarkan UU PPHI. Buruh tak biasa dengan hukum acara perdata. Sementara pengusaha bisa menggunakan jasa pengacara.

 

Di tempat terpisah dan waktu berbeda, Timboel kembali mengeluarkan uneg-unegnya. Kenapa Bapak-Ibu di depan tak mau melaksanakan beberapa terobosan yang ada dalam UU PPHI seperti masalah putusan sela, dwangsom, putusan serta-merta, penyerahan beban pembuktian ke pengusaha? tanya Timboel kepada para hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam sebuah acara diskusi dan peluncuran buku yang diselenggarakan Trade Union Right Centre (TURC), Senin pekan lalu di Jakarta.

 

Selintas pernyataan Timboel di atas memang kontradiktif. Di satu sisi mengkritik UU PPHI, tapi di sisi lain berharap hakim melaksanakan UU itu dengan baik. Tak bisa dipungkiri, UU PPHI –dan paket UU di bidang ketenagakerjaan lain- lahir dalam suasana kontroversial. Pekerja maupun pengusaha punya alasan masing-masing untuk menerima maupun menolak UU itu.

 

Pihak yang menerima berpendapat UU PPHI lebih memberi kepastian hukum ketimbang penyelesaian lewat P4D/P4P.  Proses di P4D/P4P itu berlarut-larut dan tak ada kepastian. Berbeda dengan PHI karena undang-undang memang memberi jaminan kepastian waktu penyelesaiannya, kata Sunarno, Kepala Biro Hukum Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi kepada hukumonline lewat telepon.

 

Sementara mereka yang menolak, menuding penyelesaian perkara lewat mekanisme PPHI lebih mengedepankan aspek formal dan mengabaikan keadilan. Pihak pengusaha juga sempat mengkritik sistem penyelesaian di PHI, mulai dari ketidakseragaman penerapan hukum acara, sampai sering terlambatnya penyampaian salinan putusan.

 

Usulan revisi

Kegelisahan mengenai pelaksanaan UU PPHI tak hanya menghinggapi pekerja maupun pengusaha. Kalangan hakim juga memiliki kerisauan yang sama. Bahkan Bagir Manan saat masih menjabat Ketua Mahkamah Agung sempat mengusulkan pengkajian ulang UU PPHI.

 

Hakim adhoc PHI dari unsur serikat buruh yang tiap hari menjalankan UU PPHI tak mau ketinggalan mengusulkan perbaikan-perbaikan. Adalah TURC yang menghimpun sejumlah usulan hakim adhoc itu ke dalam sebuah buku berjudul ‘Hakim Adhoc Menggugat: Catatan Kritis Pengadilan Hubungan Industrial.'

 

Secara umum, para hakim adhoc ini mengusulkan agar revisi UU PPHI memuat secara khusus hukum acara yang berlaku di PHI. Hakim adhoc PHI Manado, Leonard Batserin misalnya. Ia mengusulkan agar revisi UU PPHI tegas mengatur mengenai hukum acara khusus di PHI. Tanpa merujuk lagi ke hukum acara perdata.

 

Juanda Pangaribuan, hakim adhoc PHI Jakarta memberi usulan yang lebih konkret seperti memasukkan pasal tentang dismissal process alias pemeriksaan pendahuluan seperti yang ada di praktek PTUN atau Mahkamah Konstitusi. Tujuannya agar tak ada lagi gugatan yang dinyatakan tidak diterima.  

 

Juanda juga mengusulkan perubahan redaksional Pasal 96 ayat (1) UU PPHI yang mengatur tentang putusan sela untuk pembayaran upah buruh yang sedang diskorsing. Menurut dia, idealnya permintaan putusan sela juga bisa dicantumkan secara tersendiri. Tidak harus terlampir di dalam gugatan. Sebab pada praktiknya banyak pekerja yang tak bisa memohon putusan sela dalam gugatannya karena tak bisa menunjukkan bukti surat skorsing.

 

Jilun, hakim adhoc PHI Palembang menyoroti minimnya pengaturan masalah eksekusi putusan dalam UU PPHI. Ke depan, ia berharap agar revisi UU PPHI mengatur secara khusus tentang eksekusi dengan mengedepankan efektivitas dan efisiensi. Bahkan ia juga mengusulkan agar lembaga paksa badan (gijzeling) dikenakan kepada pengusaha yang tak mau menjalankan putusan pengadilan.

 

Dihubungi terpisah, hakim adhoc PHI Jakarta dari unsur pengusaha, Sri Razziaty Ischaya tak mau berkomentar banyak mengenai pelaksanaan UU PPHI. Namun begitu, ia tak melarang kepada para pencari keadilan untuk mengusulkan revisi UU PPHI. Kalau hakim ada aturannya tersendiri, kalau sesuatu undang-undang tak baik, ya silahkan lah direvisi.

 

Senada dengan Sri Razziaty, Kepala Biro Hukum Depnakertrans Sunarno menyatakan Depnakertrans tidak berada dalam posisi untuk mengusulkan revisi UU PPHI. Tapi kalau para pencari keadilan, dalam hal ini pekerja dan pengusaha, mengusulkan untuk merevisi, nanti harus melalui mekanisme pembahasan bersama kami.

Tags: