Desakan Agar Kejaksaan Agung Kasasi Putusan Pinangki Terus Mengalir
Utama

Desakan Agar Kejaksaan Agung Kasasi Putusan Pinangki Terus Mengalir

Kejagung heran mengapa kasus Pinangki terus dipertanyakan.

Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit
Mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Foto: Res
Mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Foto: Res

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memberikan potongan cukup besar terhadap putusan Pinangki Sirna Malasari, Jaksa fungsional pada Kejaksaan Agung yang telah menjadi terdakwa dalam perkara dugaan suap, pemufakatan jahat dan pencucian uang dalam perkara Djoko Soegiarto Tjandra. Setelah divonis pidana penjara selama 10 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Pengadilan Tinggi memotongnya menjadi hanya 4 tahun.

Hal ini pun mendapat kritikan dari berbagai pihak, bukan hanya Pengadilan Tinggi tetapi juga Kejaksaan Agung melalui Kejari Jakarta Pusat yang belum kunjung mengajukan kasasi dalam perkara tersebut. Setelah desakan kasasi digaungkan para aktivis anti korupsi, kini anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani pun mengatakan hal serupa.

Menurut Arsul, Pengadilan Tinggi telah memberikan diskon besar dari 10 tahun menjadi hanya 4 tahun untuk Pinangki. Meskipun hal itu dalam catatannya telah sesuai dengan tuntutan penuntut umum pada Kejaksaan, namun ia merasa putusan itu belum mencerminkan rasa keadilan dan menjadi perhatian masyarakat luas.

Apalagi pertimbangan hakim tinggi dalam pemberian potongan hukuman itu dianggap tidak kontroversial. “Namun ini mendapat atensi publik dan publik merasa ada rasa keadilan yang tidak pas. Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi juga tidak terlalu komprehensif terkait dengan hal yang meringankan pada diri Jaksa Pinangki sebagai terdakwa kecuali status sebagai perempuan dan ibu dari seorang anak,” ujar Arsul dalam keterangannya di Youtube yang telah mengijinkan Hukumonline untuk mengutip keterangan tersebut.

Oleh karenanya ia berharap Kejaksaan Agung melakukan langkah hukum atas putusan itu ke Mahkamah Agung. “Sebaiknya memang Kejaksaan Agung melakukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut,” katanya. (Baca: Putusan Banding Pinangki Disebut Kemunduran Pemberantasan Korupsi)

Sebelumnya Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengadukan Jaksa Agung ST Burhanuddin ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Alasannya Kejaksaan Agung (Kejagung) tak kunjung mengajukan kasasi atas putusan banding Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menurunkan hukuman dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.

"Ini sebagai upaya terakhir karena nampaknya Kejagung tidak mendengar aspirasi masyarakat untuk meminta jaksa mengajukan kasasi atas kortingan putusan banding Pinangki Sirna Malasari yang dirasa mencederai rasa keadilan masyarakat," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya, Senin (28/6).

Boyamin menerangkan pengaduan ini dilakukan di website milik Kantor Staf Presiden (KSP) di https://sp4n.lapor.go.id/instansi/kantor-staf-presiden. MAKI berharap presiden dapat memerintah Burhanuddin untuk mengajukan kasasi terhadap putusan banding Pinangki. Ia berharap dengan laporan ini Presiden dapat memerintahkan Jaksa Agung mengajukan kasasi.

Boyamin mengatakan laporan ini bukan berarti ia meminta Presiden melakukan intervensi terhadap kasus hukum, tetapi putusan tersebut dirasa menciderai rasa keadilan dan menjadi pembicaraan di masyarakat luas. Apalagi Jaksa Agung merupakan jabatan setingkat menteri yang berada di bawah Presiden sehingga laporan ini dianggap hal yang wajar.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya menyesalkan sikap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Ali Mukartono, terkait putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas hukuman mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung, Pinangki Sirna Malasari. Terlebih hingga kini Kejagung belum juga mengambil langkah kasasi atas pemotongan hukuman tersebut.

“ICW mempertanyakan maksud dari pernyataan Jampidsus terkait dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Pinangki Sirna Malasari,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (23/6).

Kurnia memandang, pernyataan Ali Mukartono dinilai keliru terkait masifnya pemberitaan pemotongan hukuman terhadap Pinangki. Menurutnya, merupakan hal wajar jika banyak pemberitaan mengenai langkah Kejagung dalam menyikapi pemotongan hukuman Pinangki. Apalagi ia sudah terbukti menerima uang senilai AS$500 ribu dari yang dijanjikan sebesar AS$1 juta oleh Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA).

Bahkan Pinangki juga melakukan pencucian uang dengan membelanjakan hasil suap itu untuk membeli satu unit mobil BMW X5 seharga Rp 1.753.836.050, pembayaran apartemen di Amerika Serikat senilai Rp 412.705.554 dan pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat sejumlah Rp 419.430.000.

“Selain karena perkara ini melibatkan oknum penegak hukum yang bahu membahu membantu pelarian buronan, irisan lain juga menyasar pada kejanggalan penanganan perkara itu sendiri di Kejaksaan Agung,” ujar Kurnia.

Dia lantas menduga, terdapat kejanggalan dalam penanganan perkara Pinangki. Beberapa di antaranya adanya rencana pemberian bantuan hukum dari Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), tidak mendalami keterangan Pinangki mengenai penjamin ketika bertemu dengan Joko Tjandra, hingga enggan untuk melimpahkan penanganan perkara ke KPK.

Respons Kejaksaan

Dilansir Antara, Kejaksaan Agung (Kejagung) masih belum mengambil sikap apakah akan mengajukan permohonan kasasi atau tidak untuk merespons putusan banding penerima suap dari Djoko Tjandra itu dengan alasan belum menerima salinan putusan. Meski begitu namun Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono berbicara keuntungan soal aset yang akan disita negara, yaitu mobil BMW X-5 Pinangki. Dalam putusan hakim, Pengadilan Tipikor Jakarta merampas harta tersebut untuk negara.

Awalnya, Ali mengatakan, hingga saat ini, Kejaksaan belum memutuskan mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang mengurangi hukuman Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Kejagung mengaku belum menerima salinan putusan PT DKI.

Kemudian, di sela-sela wawancara terkait Pinangki, Ali mempertanyakan mengapa masalah Pinangki terus dikejar atau dipertanyakan ke Kejagung. Padahal, menurut Ali, masih banyak tersangka lain di Kejagung yang perlu diperhatikan. “Kenapa sih yang dikejar-kejar Pinangki? Tersangkanya banyak, wong tersangkanya itu banyak banget yang ditanya Pinangki terus, kenapa?” tanya Ali di sela-sela wawancara dengan awak media.

Bahkan Ali menyebut negara justru mendapatkan mobil dari Pinangki. “Sudah jelas putusan pengadilan, iya kan! Tersangka kita tunggu yang lain, masih banyak tersangka, itu satu kesatuan, karena itu lima-lima, macam-macamlah, malah dari Pinangki dapat mobil kan negara, ya yang lain kan susah lacaknya ini,” jawab Ali.

“Disunat” 6 tahun

Pinangki Sirna Malasari, mantan jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) mendapat potongan vonis dari Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Pinangki divonis hukuman 10 tahun penjara. Namun, hakim memotong hukumannya menjadi 4 tahun penjara.

"Mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Februari 2021 Nomor 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa," demikian bunyi putusan PT DKI tersebut dikutip Senin, 14 Juni 2021.

Majelis hakim dalam persidangan menyatakan, Pinangki terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat terkait kasus korupsi Djoko Soegiarto Tjandra. Selanjutnya, Pengadilan Tinggi menyunat vonis Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.

Dalam situs resmi PT DKI Jakarta yang dilihat dari laman Mahkamah Agung (MA), majelis hakim tingkat banding menyebut putusan 10 tahun yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor terhadap Pinangki terlalu berat. Pada putusannya, majelis hakim banding menyebut Pinangki mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.

“Oleh karena itu, dia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik,” bunyi putusan itu yang diketuk oleh ketua majelis Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.

Tags:

Berita Terkait