Muncul Desakan Revisi UU Penanaman Modal
Berita

Muncul Desakan Revisi UU Penanaman Modal

Perlakuan sama terhadap pemodal dalam negeri dan asing dinilai sangat merugikan industri dalam negeri.

MVT
Bacaan 2 Menit
Muncul desakan revisi UU Penanaman modal, Foto: Ilustrasi (Sgp)
Muncul desakan revisi UU Penanaman modal, Foto: Ilustrasi (Sgp)

Aturan perlakuan sama bagi penanam modal dalam negeri dan asing dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dinilai sangat merugikan kepentingan nasional. Perlakuan setara itu menyebabkan kedudukan modal asing menjadi semakin dominan atas Indonesia. Sehingga muncul desakan agar pemerintah dan DPR merevisi beleid ini.

 

Salamuddin Daeng, Peneliti Institute for Global Justice, menyatakan aturan perlakuan sama tersebut menghambat kemampuan perkembangan industri nasional. Padahal, Indonesia masih dalam tahap negara berkembang yang berupaya meningkatkan kemampuan dalam negeri.

 

“Sama sekali tidak memberikan dorongan bagi industri dalam negeri berkembang,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Senin (14/11).

 

Lebih jauh, Salamuddin menganggap pasal ini bertentangan dengan semangat kepemilikan negara di UUD 1945. Pasal 33 Ayat (2), mengamanatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

 

Kemudian, ayat (3) pasal sama mengatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan secara maksimal untuk kepentingan rakyat.

 

Sementara, tuding Salamuddin, UU No. 25 Tahun 2007 mendorong minimalisasi peran negara dan tidak ‘menjaga’ pemodal dalam negeri. Hal ini, ujarnya, tercermin dalam Pasal 6 ayat (1) UU tersebut.

 

Pasal 6

Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Dalam bagian penjelasannya, pasal ini menyebutkan perlakuan yang sama adalah pemerintah tidak membedakan perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di Indonesia. Perlakuan sama itu berkaitan dengan fasilitas yang berhak didapat penanam modal.

 

Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal misalnya pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu, pembebasan atau penangguhan PPN atas impor barang modal atau mesin, keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

 

Selain itu, bentuk fasilitas lain yang dapat diterima asing diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah.

 

Bentuk insentif dapat berupa pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah, pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah, pemberian dana stimulan, dan/atau pemberian bantuan modal.

Salamuddin menilai pemodal asing tidak seharusnya mendapatkan insentif seperti itu. Ia bahkan menyebut klausul seperti ini merupakan serapan mentah dari Pembukaan Perjanjian Pendirian WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization). Dalam dokumen WTO Establishing Agreement, disebutkan bahwa negara peserta harus menghilangkan tarif dan hambatan perdagangan apapun. Termasuk di dalamnya, perlakuan diskriminasi dalam hubungan perdagangan internasional.

 

Paragraf ke-3 WTO Establishing Agreement. Bunyinya, being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tariffs and other barriers to trade and to the elimination of discriminatory treatment in international trade relations.

 

“Pasal ini diambil begitu saja oleh politisi DPR yang menyusun UU Penanaman Modal tanpa melihat dampak jangka panjangnya bagi Indonesia,” sergahnya.

 

Ditambahkan Wahyu Basjir, pengamat ekonomi dari Yogyakarta, aturan ini perlu disesuaikan dengan kondisi Indonesia. “Kita ini ibarat mengimpor sesuatu yang tidak kita pahami kegunaannya,” sergahnya.

 

Karena itu, baik Salamuddin maupun Wahyu menekankan pentingnya konstitusi sebagai acuan. “Kita harus ingat lagi amanat UUD 1945 yang menyatakan bahwa kepentingan nasional harus selalu dikedepankan,” tandasnya.

 

Ditemui pada kesempatan sama, Anggota DPR Eva Kusuma Sundari mengamini pendapat Salamuddin. Ia mengakui aturan persamaan perlakuan ini justru menghambat perkembangan industri dalam negeri.

 

“Tidak bisa kita samakan antara pemodal dalam negeri dengan kemampuan Rp100 juta dengan pemodal asing dengan kemampuan Rp100 miliar,” ujarnya memberi contoh.

 

Eva mengatakan bahwa revisi aturan ini memang sudah diagendakan. Revisi ini akan jadi inisiatif DPR. Meski demikian, hingga saat ini pembahasannya masih dalam tahap awal. “Kita sedang pelajari, mudah-mudahan tahun depan bisa masuk Program Legislasi Nasional,” pungkas politisi PDIP ini. 

Tags: