Depdagri Ajukan Paket Revisi Perundang-undangan Mengenai Papua
Berita

Depdagri Ajukan Paket Revisi Perundang-undangan Mengenai Papua

Pemerintah sudah menyiapkan sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Majelis Rakyat Papua. Tetapi Solidaritas Nasional Untuk Papua meminta Rancangan itu ditarik. Kenapa?

Mys
Bacaan 2 Menit
Depdagri Ajukan Paket Revisi Perundang-undangan Mengenai Papua
Hukumonline

 

Kritik senada dan lebih luas datang dari Solidaritas Nasional Untuk Papua (SNUP). SNUP memandang bahwa penyempurnaan Undang-Undang No. 21/2001 dan Undang-Undang No. 45/1999 serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang MRP merupakan rekayasa. Revisi digunakan sebagai legitimasi terhadap kebijakan pemekaran Papua. 

 

Bonar Tigor Naipospos, salah seorang anggota Presidium SNUP, menunjukkan bukti. Revisi Undang-Undang No. 21/2001 yang diajukan pemerintah hanya semata-mata pada perubahan pasal 1 huruf a dan penambahan satu ayat pada pasal 76.

 

Pasal 1 huruf a semula berbunyi: "Propinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia". Dalam revisi yang diajukan Mendagri ke Presiden, bunyi pasal itu menjadi "Propinsi Papua adalah propinsi Irian Jaya dan provinsi-provinsi hasil pemekaran di wilayah Papua yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia".

 

Pasal 76 semula hanya satu ayat, menyatakan bahwa pemekaran provinsi harus terlebih dahulu mendapat persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Kini ditambahkan satu ayat, yaitu ayat (2) yang berbunyi: "Pertimbangan dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi provinsi-provinsi yang telah terbentuk sampai dengan perubahan undang-undang ini".

 

Menyangkut Undang-Undang No. 45/1999, Pemerintah melakukan perubahan secara keseluruhan terhadap pasal 26 tentang aturan peralihan, sehingga berbunyi: "Penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi-provinsi pemekaran dapat dilaksanakan sesuai dengan dinamika dan kesiapan masyarakat serta realitas di lapangan".

 

Emmy Sahertian, juga dari Forum Komunikasi Generasi Muda Papua, menyayangkan kengototan Pemerintah untuk melakukan pemekaran. Sebab, kengototan itu telah membuahkan penangkapan-penangkapan. Emmy menceritakan ada aktivis yang belum lama ini ditangkap dengan tudingan terlibat kerusuhan di Wamena tiga tahun lalu. Kenapa aparat membiarkan mereka selama tiga tahun ini? Emmy sependapat dengan SNUP bahwa paket kebijakan itu harus direvisi jika niat awalnya hanya untuk memekarkan propinsi Papua demi kepentingan bisnis.

 

Dalam pernyataan sikapnya di Jakarta, Jum'at siang (19/12) SNUP meminta agar Pemerintah sebaiknya melakukan sinkronisasi atau harmonisasi dengan tetap mengacu pada Undang-Undang No. 21/2001.

Rupanya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno sudah menyampaikan satu paket kebijakan perundang-undangan mengenai Papua kepada Presiden. Depdagri menyebutnya sebagai Preparasi Paket Kebijakan tentang Papua. Paket kebijakan itu disampaikan lewat surat tertanggal 4 November 2003, yang juga ditembuskan kepada sejumlah pejabat negara. Termasuk ke Komisi II DPR.

 

Ada tiga perundang-undangan yang dilampirkan Mendagri dalam suratnya, yaitu revisi terhadap Undang-Undang No. 45/1999 dan Undang-Undang No. 21/2001, plus satu Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Majelis Rakyat Papua (MRP).

 

Tentu saja, ini menarik mengingat perundang-undangan mengenai Papua dinilai banyak kalangan tumpang tindih. Hal itu terjadi terutama disebabkan keinginan besar Pemerintah untuk memecah Papua menjadi tiga propinsi.

 

Namun sebelum paket kebijakan itu masuk ke DPR, sejumlah kalangan sudah mengajukan kritik. "Kami minta kebijakan itu, terutama Rancangan PP tentang Majelis Rakyat Papua ditarik dan direvisi ulang," ujar Andi Manobi, Ketua Forum Komunikasi Generasi Muda Papua.

Halaman Selanjutnya:
Tags: