Demi Kesatuan Hukum, MA Larang Pengadilan Kabulkan Pencatatan Kawin Beda Agama
Utama

Demi Kesatuan Hukum, MA Larang Pengadilan Kabulkan Pencatatan Kawin Beda Agama

SEMA ini menegaskan perkawinan yang sah yakni perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya sesuai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Kini, pengadilan tidak (boleh) mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama dan kepercayaan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Gedung MA Jakarta. Foto: RES
Gedung MA Jakarta. Foto: RES

Seperti yang sebelumnya ramai dibincangkan publik, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.24/PUU-XX/2022 telah menolak permohonan uji materil (judicial review) terhadap Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait permohonan agar keabsahan perkawinan beda agama dilegalkan.

Sikap MK menolak judicial review (JR) yang bersinggungan dengan kawin beda agama itu bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, MK pernah menolak permohonan serupa dalam Putusan No.68/PUU-XII/2014 terkait pengujian Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974.

Baca Juga:

Namun, faktanya pernikahan beda agama ada yang mendapat legitimasi dari catatan sipil atau penetapan pengadilan dalam beberapa kasus. Kasus teranyar, pada 26 April 2022 lalu, PN Surabaya mengabulkan permohonan penetapan pernikahan beda agama yang diajukan pasangan berinisial RA dan EDS di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kota Surabaya.  

RA dan EDS telah melangsungkan pernikahan berdasarkan keyakinan agama masing-masing secara Islam dan Kristen. Saat keduanya hendak mencatatkan pernikahannya di Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya ditolak dengan alasan perbedaan keyakinan pasangan tersebut. Selanjutnya, Pejabat Dinas Dukcapil Surabaya menganjurkan agar mengajukan permohonan penetapan pengadilan tempat kedudukan hukum para pemohon.

Hakim Tunggal Imam Supriyadi yang meneliti perkara ini merujuk Pasal 21 ayat (3) UU No.1 Tahun 1974 jo Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terkait kewenangan pengadilan untuk mengadili bila ada pasangan yang perkawinannya ditolak (seperti kawin beda agama). Dalam putusan yang dibacakan pada 26 April 2022, Hakim mengabulkan permohonan para pemohon dengan penetapan perkawinan beda agama, mengizinkan para pemohon melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya.

Sehubungan perkawinan beda agama yang masih menjadi polemik ini, Ketua Mahkamah Agung (MA) RI M. Syarifuddin akhirnya menerbitkan Surat Edaran No.2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan tertanggal 17 Juli 2023. 

“Surat Edaran MA (SEMA) itu ditujukan ke ketua Pengadilan Banding dan Ketua Pengadilan tingkat pertama. Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan,” ujar Juru Bicara MA Suharto saat dihubungi, Selasa (18/7/2023).

SEMA No.2 Tahun 2023 memuat, kesatu, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Kedua, pengadilan tidak (boleh, red) mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

SEMA tersebut untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan, sehingga para hakim harus berpedoman pada SEMA ini merujuk pada ketentuan UU. “Itu sesuai fungsi MA. Lihat Pasal 32 UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang tidak diubah dalam UU No.5 Tahun 2004, tapi kemudian Pasal 32 diubah dalam UU No.3 Tahun 2009,” ungkapnya.

Selengkapnya, Pasal 32 UU No.3 Tahun 2009 memuat kewenangan MA dalam melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan termasuk pengawasan terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan seperti ditegaskan melalui ayat (1) dan (2).

Pada ayat (4) disebutkan MA berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya. Pasal 32 ayat (5) UU MA menggariskan pengawasan dan kewenangan yang dilaksanakan MA seperti dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

“Mencermati dua atau lebih UU yang terkesan berseberangan atau bertentangan, maka yang paling bijak kita gunakan asas-asas peraturan perundang-undangan. SEMA ini memberi petunjuk ke pengadilan di bawah MA sesuai fungsi MA sandarannya atau rujukannya (utama, red) juga Pasal 2 UU Perkawinan. Kita harus bedakan dengan jernih antara perkawinan dengan pencatatan,” kata Hakim Agung Kamar Pidana ini.  

Tags:

Berita Terkait