Demi EoDB, UU Jaminan Fidusia Perlu Direvisi
Berita

Demi EoDB, UU Jaminan Fidusia Perlu Direvisi

Menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dalam praktik penggunaan jaminan fidusia dalam dunia usaha.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam FGD di FHUI, Jumat (28/9). Foto: Edwin
Para pembicara dalam FGD di FHUI, Jumat (28/9). Foto: Edwin

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Aria Suyudi, menjelaskan tiga alasan perlunya UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) direvisi. Hal itu disampaikan dalam diskusi terarah berjudul “Kajian Terhadap Perlindungan dan Kemudahan Berusaha Melalui Perubahan Undang-Undang Fidusia” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Jumat (28/9) lalu. Ketiganya sangat berkaitan untuk menunjang kemudahan berusaha (Ease of Doing Business /EoDB) di Indonesia.

 

Pertama, revisi UU Jaminan Fidusia perlu dilakukan untuk melanjutkan modernisasi sistem  Pendaftaran Jaminan Fidusia yang dimulai tahun 2013. Sejak tahun 2013 telah diluncurkan pendaftaran jaminan fidusia secara online. Layanan fidusia secara online saat itu didorong oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas potensi kerugian negara hingga miliaran rupiah.

 

Sebabnya, sangat banyak perusahaan pembiayaan tidak melakukan pendaftaran jaminan fidusia ke Kementerian Hukum dan HAM. Buruknya layanan manual pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia saat itu dianggap sebagai sumber masalah.

 

“Yang perlu dilakukan saat ini adalah mengoptimalkan agar pasal-pasal dalam UU Jaminan Fidusia bisa dilaksanakan dengan layanan online,” kata Aria.

 

Namun, tentu berbagai optimalisasi tersebut tidak bisa melampaui batasan di dalam UU Jaminan Fidusia. Padahal, saat undang-undang itu dibuat tidak memperkirakan akan ada layanan online yang akan digunakan. Revisi UU Jaminan Fidusia menjadi relevan untuk menyesuaikan dengan berbagai efisiensi di layanan online yang telah berjalan.

 

Kedua, revisi UU Jaminan Fidusia perlu dilakukan untuk memenuhi standar praktik terbaik di dunia internasional dalam hukum jaminan benda bergerak. “Pertama, harus mampu memberikan akses pada low cost financing (kredit berbiaya rendah),” ujarnya mengutip UNCITRAL Legislative Guide on Secured Transaction, Terminology and Recommendation tahun 2009.

 

(Baca Juga: Hak Cipta Sebagai Jaminan Fidusia Terhambat Sistem Valuasi)

 

Ada 11 rekomendasi yang diajukan oleh pedoman dari UNCITRAL (United Nations Commission International Trade Law) tersebut. Revisi UU Jaminan Fidusia menjadi cara untuk menyesuaikan rezim hukum Indonesia dengan rekomendasi tersebut. Dampaknya akan berkaitan langsung dengan skor EoDB Indonesia.

 

Hal ini karena hukum jaminan benda bergerak berkaitan dengan penilaian soal kemudahan mendapatkan kredit. Sedangkan pengaturan di UU Jaminan Fidusia saat ini masih menghambat pelaksanaan standar praktik terbaik di dunia internasional.

 

“Tahun lalu kita di peringkat 55 EoDB, salah satunya juga karena fidusia secara online. Ini dengan survei tanpa paksaan, tinggal Pemerintah mau nggak mengadopsinya (dalam kebijakan),” kata Aria.

 

Terakhir, Aria menilai rezim hukum jaminan benda bergerak menjadi elemen penting untuk infrastruktur keuangan nasional. Revisi UU Jaminan Fidusia menjadi strategi meningkatkan akses kepada pembiayaan bagi pelaku usaha terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

 

Berdasarkan data dari Kementerian Perkoperasian dan UMKM per tahun 2017 yang dikutipnya, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional sebesar Rp 7.005.950 miliar atau sekitar 62,57% dari total PDB.

 

Menurut perhitungan besarnya skala usaha, koperasi UMKM pembentuk kontribusi PDB UMKM adalah 38,90% usaha mikro, sebesar 9,73% usaha kecil, dan 13,95% usaha menengah. Pelaku UMKM saat ini mencapai 59,69 juta unit dengan rincian: usaha mikro 58,9 juta, usaha kecil 716,8 ribu, usaha menengah 65,5 ribu, dan usaha besar 5,03 ribu.

 

Arya menyebutkan sistem jaminan benda bergerak menjadi penting setidaknya untuk empat hal. Pertama, untuk meningkatkan akses kredit dan mengurangi risiko kredit, ini akan mengakomodasi pendanaan bagi UMKM yang kurang terlayani terutama pengusaha perempuan. sistem jaminan yang baik akan mendorong pengelolaan risiko serta praktik peminjaman yang berhati-hati.

 

Kedua, untuk mengurangi biaya kredit. Jaminan benda bergerak memberikan suku bunga yang lebih baik dan menggeser pola pendanaan informal ke pendanaan formal. Ini bisa menghemat biaya bagi pelaku usaha.

 

Ketiga, berpotensi mendorong diversifikasi risiko kredit antara benda tidak bergerak dan bergerak serta diversifikasi sektor dalam portfolio. Terakhir, akan meningkatkan persaingan pasar melalui pengembangan industri (anjak piutang dan sewa beli) dan berbagai Lembaga Keuangan Non Bank.

 

(Baca Juga: Ini Lima Permasalahan Hukum dalam Penerapan Jaminan Fidusia)

 

Salah satu masalah penegakan hukum dalam UU Jaminan Fidusia yang menjadi sorotan Aria adalah ancaman pidana bagi pengalihan, gadai, fidusia ulang di Pasal 35 tidak efektif. Alasannya, ancaman pidana penjara hanya maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp50 juta.

 

Penilaian ini dibenarkan Kepala Divisi Hukum PT Indomobil Finance Indonesia, Ita Astriani sebagai perwakilan pelaku usaha. Perusahaan ini memberikan layanan pembiayaan kendaraan bermotor dan alat berat dengan memanfaatkan skema jaminan fidusia.

 

“Praktik di lapangan itu ada debitur super nakal, apakah memungkinkan dibuat agar bisa dilakukan penahanan oleh aparat? Dengan aturan saat ini, ancaman pidana di bawah 5 tahun tidak bisa,” kata Ita.

 

Hal lainnya yang dirasakan Ita ialah ketentuan UU Jaminan Fidusia belum mengatur pemidanaan atas pengrusakan atau penggelapan atas sebagian objek jaminan. “Itu terjadi, sepeda motor di berita acara serah terima full original, saat dikembalikan ke kami sudah seperti sepeda,” kata Ita disambut tawa para peserta diskusi.

 

Tags:

Berita Terkait