Delik Korupsi di RKUHP Tak Hapus UU Sektoral
Berita

Delik Korupsi di RKUHP Tak Hapus UU Sektoral

Kalaupun delik korupsi tetap masuk dalam RKUHP, asal jangan mematikan upaya pemberantasan korupsi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Dari kiri ke kanan. Arsul Sani, Robikin Emhas, Hifdil Alim dalam sebuah diskusi di Gedung PBNU Jakarta, Rabu (31/1). Foto: RFQ
Dari kiri ke kanan. Arsul Sani, Robikin Emhas, Hifdil Alim dalam sebuah diskusi di Gedung PBNU Jakarta, Rabu (31/1). Foto: RFQ

Kekhawatiran sejumlah kalangan dengan menarik semua delik khusus (korupsi) ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) nampaknya terjawab. Sebab, dengan RKUHP yang nantinya disahkan menjadi UU, tidak meniadakan atau menghapus keberadaan UU yang bersifat khusus (lex spesialis), seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

 

“Wajah hukum kita ke depan tetap ada UU sektoral (UU Khusus),” ujar Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Arsul Sani dalam sebuah diskusi bertajuk “Membincang Delik Korupsi dalam RUU KUHP’ di Kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Jakarta, Rabu (31/1/2018).

 

Arsul mengatakan pembahasan semua pasal dalam RKUHP sebagian besar rampung disepakati sejak 6 bulan lalu termasuk pasal-pasal mengenai delik korupsi yang sudah rampung dibahas. Bahkan, Panja DPR dan pemerintah membuat bab khusus yakni Bab Tindak Pidana Khusus. Menurutnya, Bab Tindak Pidana Khusus ini nantinya menjadi bridging alias penghubung dengan UU yang bersifat sektoral (khusus).

 

Misalnya, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, sebanyak tiga pasal yang menjadi core crime (ketentuan umum) yang ditarik ke dalam RKUHP. Sementara puluhan pasal lain tetap berada dalam UU Pemberantasan Tipikor. Kata lain, ketentuan yang bersifat umum berada di dalam RKUHP. Sementara ketentuan yang khusus, tetap berada di dalam UU yang bersifat sektoral.

 

Jadi, sebetulnya rezim hukum pidana kita tidak berubah. Artinya masih ada UU yang bersifat sektoral sebagai tindak pidana khusus,” ujarnya.

 

Anggota Komisi III DPR itu memberi contoh, UU Pemberantasan Tipikor belum mengatur beberapa tindak jenis tindak pidana korupsi. Seperti, tindak pidana memperdagangkan pengaruh jabatan; kekayaan yang diperoleh dengan tidak sah atau illicit enrichment. “Nantinya pasal tersebut diterapkan ketika terjadinya kerugian perekonomian negara pelakunya dapat dijerat dengan korupsi. Delik korupsi ini untuk melengkapi UU Pemberantasan Tipikor,” lanjutnya.

 

Demikian pula, korupsi di sektor swasta, yang diatur Pasal 48 hingga 54 RKUHP. Menurutnya, kejahatan korupsi terutama yang dilakukan korporasi mesti diatur ketat. Apalagi mekanisme penanganan kejahatan korupsi korporasi telah diatur Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. “Kita akan memasukan mekanisme dalam Perma 13 Tahun 2016 itu.”

 

Baca Juga:

· Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP

· Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor

· MK Diminta Tafsirkan Ulang Delik Tipikor

· Delik Korupsi Masuk RUU KUHP, NasDem Jamin KPK Tetap Eksis

· Romli Atmasasmita: Pasal Korupsi Harus Ditarik dari RUU KUHP

· Menkumham: KPK Tak Akan Lumpuh Jika Korupsi Masuk KUHP

 

Dalam kesempatan yang sama, Ketua PBNU Bidang Hukum Robikin Emhas awalnya mengaku khawatir dengan masuknya delik khusus korupsi dalam RKUHP. Namun, belakangan diketahui bahwa delik korupsi dalam RKUHP hanya sebagai delik umum dan tidak meniadakan UU Pemberantasan Tipikor yang bersifat sektoral.

 

“Pengaturan delik khusus (korupsi) tetap diatur dalam UU di luar RKUHP. Karena itu, delik korupsi tetap harus menjadi delik khusus,” ujarnya.

 

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Hifdzil Alim berpendapat dalam Pasal 103 KUHP, memberi ruang tumbuhnya jenis tindak pidana di luar KUHP. Saat ini, delik korupsi tidak diatur secara gamblang dalam KUHP. “Anda tidak akan menemukan kata ‘korupsi’ dalam KUHP,” ujarnya.

 

Menurutnya, memasukan delik korupsi dalam RKUHP sebenarnya menjadi isu yang tidak menarik. Bahkan, dapat membatasi ruang gerak dan kerja-kerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu, dia berharap kalaupun delik korupsi akhirnya ada yang ditarik dalam RKUHP, tidak kemudian menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

 

“(Seharusnya) biarkan saja (delik korupsi) diatur di luar KUHP. Tetapi, kalaupun tetap masuk dalam RKUHP, asal jangan mematikan upaya pemberantasan korupsi,” ujar pria yang juga Anggota Desk Anti Korupsi Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU ini.

Tags:

Berita Terkait