Delik Ideologi Masih Layak Dicantumkan dalam RUU KUHP
Berita

Delik Ideologi Masih Layak Dicantumkan dalam RUU KUHP

Di Cina, Anda malah bisa dipidana kalau merongrong ideologi komunis. Di Eropa, penyebaran ajaran Nazi pun masih bisa dipidana.

Ycb
Bacaan 2 Menit
Delik Ideologi Masih Layak Dicantumkan dalam RUU KUHP
Hukumonline

 

Meski demikian, Muladi sepakat jika delik ini berupa delik material. Artinya, si penyebar ajaran merah ini akan dihukum jika pikiran-pikiran kirinya terbukti menimbulkan kerusuhan. Lain halnya jika cuma dalam forum ilmiah, sambung Ketua Lemhanas itu. Muladi masih memandang paham yang satu ini mengandung bahaya laten. Anda belum ada pada masa 1960-an sih. Saya mengalaminya, ungkapnya kepada hukumonline.

 

Anggota Tim Perumus RUU KUHP, Andi Hamzah, menilai delik ideologi adalah sesuatu yang unik. Di satu negara bisa saja paham tertentu dilarang, tetapi di lain negara malah dilestarikan. Di Cina Anda justru dihukum jika hendak merongrong ideologi komunisme, tukasnya.

 

RUU KUHP hargai kemanusiaan

Pada kesempatan pertemuan Aspehupiki tersebut, Muladi berusaha meyakinkan bahwa rancangan KUHP yang terakhir menampung ide perlindungan masyarakat. Artinya, beleid ini masih memuat hukuman berat. Yakni, pidana mati (capital punishment) serta penjara seumur hidup (life sentence).

 

Pun demikian, di lain sisi, aturan ini juga coba melindungi individu pelaku. Istilahnya, individualisasi pidana. Artinya, si pelaku yang terbukti bersalah punya kesempatan untuk memperoleh keringanan hukuman. Tentu saja jika dia tobat dengan memperlihatkan sikap terpuji serta tidak kambuhan.

 

Pertama, pelaksanaan pidana mati bisa ditunda. Dalam kondisi tertentu, tingkat hukumannya dapat diturunkan menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun. Kedua, pidana seumur hidup dapat diringankan menjadi hukuman 15 tahun. Syaratnya, terpidana kudu berkelakuan baik selama menjalani minimal pidana 10 tahun.

 

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Barda Nawawi Arif mengkritik keras KUHP sebagai warisan kolonial. Ia menilai KUHP yang ada sudah tak cocok dengan kondisi sekarang. Asas legalitasnya berbeda. Apakah sama penegakan hukum zaman Belanda dengan zaman Republik Indonesia?

 

Muladi mengakui aura kolonial masih tersisa dalam KUHP yang berlaku saat ini. Perubahan hukum pidana belum terjadi secara menyeluruh dan hanya bersifat fragmented, ungkapnya. Oleh karena itu, rancangan anyar kali ini, menurut Muladi, bertujuan untuk menegakkan dekolonialisasi.

 

Dalam ceramah penutup seminar Senin sore (17/3), Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta menegaskan Rancangan KUHP merupakan salah satu prioritas legislasi 2008.

 

Selain KUHP, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini melibatkan revisi UU 8/1981 tentang KUHAP, RUU Perampasan Aset, serta revisi UU 31/1999 tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semoga DPR tidak disibukkan oleh agenda Pemilu 2009, timpal Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta, Minggu lalu (16/3).

 

Muladi melaporkan rancangan KUHP ini terdiri dari 737 pasal dan 41 bab. Muladi mengaku sudah merampungkan penyusunannya dan menyodorkannya kepada presiden terakhir kali pada 28 Januari lalu.

 

Rancangan pertama KUHP muncul pada 1964. Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita mengungkapkan, butuh waktu tiga bulan untuk menuntaskan 40 pasal. Ini RUU yang paling alot, tutur Romli, yang pernah terlibat dalam penyusunan KUHP.

 

Nah, pembahasan bakal alot lagi jika sudah tiba di meja parlemen.

 

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Aspehupiki), Prof. Muladi berpendapat pencantuman delik ideologi di dalam RUU KUHP merupakan sesuatu yang wajar.

 

Pandangan tersebut disampaikan Muladi di sela-sela pertemuan Aspehupiki yang berlangsung di Bandung (17/3). Menurut dia, Masih bercokolnya pasal larangan menyebarkan ajaran Marxisme/Leninisme di Indonesia bukan tanpa dasar. TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang memuat larangan itu hingga kini masih berlaku.

 

Bahkan, dalam pertemuan dengan delegasi kelompok antikomunis 12 Maret lalu, Ketua MPR Hidayat Nurwahid memastikan bahwa MPR tak akan mencabut TAP dimaksud. Hidayat sepakat dengan 25 perwakilan kelompok antikomunis untuk mempertahankan larangan penyebaran ajaran komunisme, dan Marxisme/Leninisme. Karena itu pula, Muladi menganggap wajar apabila tim perumus RUU KUHP masih memasukkan klausul larangan itu. Lain soal jika sudah dicabut, tuturnya.

 

Pencantuman delik ideologi dalam RUU KUHP memang mendapat kritik tajam. Dalam konsultasi publik RUU KUHP, Juli tahun lalu, peneliti Fajromei A. Ghofar melihat rumusan delik ideologi dalam RUU berpotensi  mengancam hak asasi manusia. Pada tataran teoritis, delik ideologi juga masih belum jelas pengertiannya. Perumusannya, kata Fajromei, masih ambigu. Ia mempertanyakan apakah semua ajaran Marxisme/Leninisme dilarang, atau hanya ajaran yang ingin mengganti Pancasila?

 

Namun, Muladi menilai wajar adanya larangan ideologi tertentu dalam sebuah negara. Larangan semacam itu pun dikenal di negara-negara demokratis. Contohnya di Eropa. Aparat akan memidanakan Anda jika Anda menyangkal Nazi melakukan pembantaian, tuturnya memberi amsal.

Tags: