Delik Agama di RKUHP Dinilai Masih Bermasalah
Utama

Delik Agama di RKUHP Dinilai Masih Bermasalah

Pemerintah dan DPR diminta untuk menunda pengesahan RKUHP, khususnya pasal delik agama dan kehidupan beragama hingga menemukan formulasi rumusan pasal yang tepat.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi RKUHP: BAS
Ilustrasi RKUHP: BAS

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta kepada pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). YLBHI menilai terdapat sejumlah pasal dalam RKUHP justru menimbulkan polemik dan permasalahan baru di masyarakat terutama rumusan pasal-pasal penghinaan agama dan kehidupan beragama.    

 

Ketua YLBHI, Asfinawati menilai salah satu bab yang paling disoroti dalam RKUHP mengenai tindak pidana terhadap agama. Dia menjelaskan dalam bab tersebut terdapat pasal-pasal yang dinilainya memiliki kejanggalan. Salah satunya, Pasal 328 RKUHP yang menyebutkan, “setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.

 

Asfina menilai delik penghinaan hanya bisa ditujukan kepada orang, bukan pada agama tertentu. Selain itu, dalam KUHP Belanda, Pasal 110, acuan hukum sebelumnya, delik penghinaan agama ini disebut bersifat subyektif yang mengharuskan ada subyek orang yang terhina.

 

“Padahal, agama itu bukan subyek yang dapat merasa terhina. Sehingga akan sulit dalam pembuktiannya. Yakni siapa yang berhak menentukan bahwa agama itu telah terhina,” kata Asfina dalam acara Konferensi Pers Tokoh-tokoh Menyikapi Rancangan KUHP di Gedung YLBHI Jakarta, Senin (19/3/2018). Baca juga: Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan RKUHP

 

Dia melanjutkan permasalahan lain ada ketidakpastian ukuran penghinaan dan subyek yang bisa mewakili perasaan keterhinaan. Menurutnya, perasaan subyektif orang atau kelompok tertentu yang memeluk suatu agama tertentu saja, tidak cukup menjadi dasar pemidanaan pasal itu. Menurut Asfina, bisa saja ada orang atau kelompok lain dari agama yang sama, tidak memiliki perasaan terhina terhadap tindakan yang dianggap penghinaan itu.

 

Asfina juga menyoroti Pasal 330 RKUHP yang menyebutkan Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

 

Rumusan tersebut dinilai bermasalah karena tidak jelas keyakinan pihak yang ditiadakan dan maksud dari agama yang sah dianut di Ondonesia. Menurutnya, jika yang dimaksud adalah menghasut seseorang atau kelompok orang untuk tidak menganut agama tertentu, hal ini dapat mengancam kemerdekaan berpendapat, bahkan kemerdekaan/kebebasan beragama itu sendiri.

 

Hal tersebut berpotensi menjerat hukuman kepada para pemuka agama yang kerap menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Misalnya, seseorang yang menyampaikan dakwah Islam terhadap seorang yang beragama non-muslim, sehingga yang bersangkutan memperoleh hidayah dan meniadakan keyakinan non-muslimnya, dapat dijerat dengan ketentuan ini.

 

Karena itu, dia mengusulkan rumusan pidana yang paling tepat dalam konteks tersebut seharusnya “pidana terhadap perbuatan orang atau kelompok orang yang berupa pemaksaan, baik secara fisik, tindakan diskriminatif, maupun sanksi hukum, dengan maksud agar seseorang atau kelompok orang lainnya meninggalkan keyakinan atau agamanya saat itu.”

 

Kemudian, RKUHP juga memuat tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Dalam bagian bab pasal tersebut juga tidak lepas dari sorotan. Asfina menilai meskipun dalam Pasal 331 ayat (1) RKUHP bersifat positif, namun masih  memiliki kekurangan. 

 

Dalam Pasal 331 ayat (1) RKUHP tersebut tertulis “Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

 

Asfina khawatir dalam praktiknya muncul pertanyaan, bahkan diskriminasi, terhadap kegiatan ibadah yang dilaksanakan di rumah tinggal yang bukan tempat ibadah atau tempat lain yang tidak diperuntukan sebagai tempat ibadah. Selain itu, ketentuan tersebut membuka peluang tindakan merintangi ibadah dengan maksud melindungi ketertiban publik.

 

Terkait rumusan Pasal 333 RKUHP, Asfina menilai terjadi over-criminalization. Dalam pasal 333 menyebutkan “setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

 

Menurutnya, perbuatan pidana dalam pasal ini tidak dapat dibedakan dengan delik perusakan properti biasa (dalam KUHP). Baginya, seharusnya yang membedakan adalah “niat kebencian berdasarkan agama”. “Frasa ‘menodai’ sangat tidak jelas dan bisa jadi pasal karet. Sebaiknya digunakan frasa yang lebih jelas seperti ‘mengotori’,” usulnya.

 

Jika delik tersebut ingin diatur khusus, Asfina menyarankan rumusan yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut: “setiap orang yang secara melawan hukum dan dengan maksud kebencian berdasarkan agama, mengotori, merusak atau membakar bangunan tempat ibadah (dapat ditambahkan harta benda atau properti) orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

 

Bisa timbul konflik agama

Dalam kesempatan yang sama, seorang aktivis sosial sekaligus Ketua Jaringan Gusdur-ian, Alissa Wahid mengatakan pemerintah dan DPR harus memperbaiki pasal-pasal tersebut. Dia mengkhawatirkan seandainya RKUHP tersebut disahkan tanpa perbaikan atau revisi, maka bisa berpotensi timbul konflik antar agama di Indonesia.

 

“Pasal-pasal ini bisa merusak keharmonisan antar umat beragama. Bagi saya ini sangat menghkawatirkan dan saya berharap proses (pengesahan RKUHP) dihentikan dahulu sampai menemukan formulasi (rumusan pasal) yang tepat,” kata Alissa.

 

Menurutnya, rumusan pidana yang paling tepat dalam konteks tindak pidana terhadap agama dan tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan rumah ibadah seharusnya lebih ditekankan pada perbuatan berupa hasutan kebencian hingga tindak kekerasan.  “Harusnya ini diatur dalam RKUHP,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait