Atheis adalah tindak pidana
Bahkan dalam RKUHP ini menjadi atheis atau mengajak orang untuk tidak meyakini agama dijadikan tindak pidana, ujar Ifdhal, seraya membacakan Pasal 345 RKUHP yang berbunyi Setiap orang yang dimuka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Lebih lanjut, Ifdhal memandang RKUHP memuat beberapa jenis delik agama yang tidak relevan untuk diatur dalam aturan tertulis. Delik agama yang dimaksud adalah penghinaan terhadap agama (blasphmemy) dan penghinaan terhadap keagungan Tuhan (Godslastering). Ifdhal beralasan selain karena ukurannya sangat relatif, kedua jenis delik agama tersebut juga telah lama ditinggalkan oleh banyak negara-negara di dunia. Oleh karenanya, dia khawatir rumusan delik agama dalam RKUHP akan mengakibatkan setiap orang dengan mudah dijadikan tersangka karena dianggap melakukan penghinaan atau penodaan agama.
Kasus-Kasus Penodaan Agama
Tahun | Terdakwa | Putusan |
1969 | HB Jassin | 1 tahun penjara dengan percobaan 2 tahun |
1990 | Arswendo Atmowiloto | 5 tahun penjara |
1996 | Saleh Situbondo | 5 tahun penjara |
2003 | Masud Simanunkalit | 3 tahun penjara |
2004 | Mangapin Sibuea | 2 tahun penjara |
2005 | Lia Aminuddin | 2 tahun penjara |
Sumber: Wahid Institute
Menurut Ifdhal, jenis delik agama yang relevan untuk diatur secara tertulis adalah perusakan tempat ibadah atau mengganggu proses/ritual ibadah. Kedua jenis delik agama ini telah dimasukkan dalam RKUHP Pasal 346 untuk delik mengganggu proses/ritual ibadah dan Pasal 348 untuk delik merusak tempat ibadah atau simbol keagamaan. Tetapi lagi-lagi hal jaminan perlindungan ini hanya diberikan untuk penganut-penganut agama yang diakui negara saja, sambungnya.
2009 tidak realistis
Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas'udi mengingatkan bahwa ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan agama adalah hal yang sangat sensitif, khususnya untuk Indonesia yang masyarakatnya majemuk. Maka dari itu, Masdar memandang rumusan delik agama harus dibuat sejelas dan sedefinitif mungkin untuk meminimalisir perbedaan penafsiran.
Mahfud MD, anggota Komisi III DPR, mengatakan pengaturan tentang delik agama masih diperlukan agar potensi gesekan antar pemeluk agama yang tidak jarang berujung pada tindakan anarkis dapat dihindari. Mahfud menambahkan DPR akan ‘menggenjot' pembahasan RKUHP begitu rancangan tersebut masuk ke meja DPR. Namun, target 2009 sepertinya agak sulit karena pembahasan di DPR tentunya akan ada nuansa politiknya, ujarnya.
Awan kelam sepertinya belum akan beranjak menyelimuti kebebasan hidup beragama di Indonesia. Campur tangan negara dalam kehidupan beragama yang selama ini dikecam oleh sebagian kalangan, ditenggarai akan semakin mengkhawatirkan di kemudian hari. Hal tersebut setidaknya tergambar dalam Rancangan KUHP (RKUHP), khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang delik penodaan agama.
Dalam acara seminar Tinjauan Kritis Ketentuan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam RKUHP yang digagas oleh Wahid Institute (6/9), Ifdhal Kasim, Direktur Program Hukum dan Legislasi Reform Institute, mengatakan telah terjadi perluasan formulasi delik agama dalam RKUHP. Tidak hanya itu, RKUHP bahkan mengadakan satu bab khusus yakni Bab VIII dengan titel Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama. Secara kuantitas, formulasi delik agama RKUHP yang dijabarkan menjadi 8 pasal dan 4 ayat ini memang dapat dikatakan lebih luas apabila dibandingkan dengan formulasi dalam KUHP yang berlaku sekarang yang hanya memiliki satu pasal tentang delik agama, yakni Pasal 156a.
Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan:
|
Kedelapan pasal RKUHP yang dimaksud adalah Pasal 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, dan 348. Pada intinya, jenis-jenis delik agama yang dimuat dalam RKUHP antara lain penghinaan terhadap agama, penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama, gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keamanan, dan perusakan tempat ibadah.
Ifdhal menilai luasnya formulasi delik agama dalam RKUHP menunjukkan telah terjadi overcriminalization (kriminalisasi berlebihan, red.). Ifdhal menduga adanya kecenderungan overcriminalization dalam rumusan delik agama tejadi karena RKUHP sepertinya bertujuan melindungi kesucian hanya untuk agama-agama yang diakui oleh negara. Sementara, agama-agama diluar itu beserta aliran kepercayaan tidak mendapat perlindungan sama sekali.