Delapan Substansi Pokok Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja
Utama

Delapan Substansi Pokok Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja

Meliputi tenaga kerja asing (TKA); perjanjian waktu tertentu (PKWT); alih daya (outsourcing); waktu kerja dan istirahat; upah minimum; PHK, pesangon dan JKP; pengenaan sanksi; dan perizinan bidang ketenagakerjaan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam Bootcamp Hukumonline 2020 Hari Ke-1 bertajuk 'Hukum Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial, dan Tata Cara Penggunaan TKA', Senin (16/11). Foto: RES
Sejumlah narasumber dalam Bootcamp Hukumonline 2020 Hari Ke-1 bertajuk 'Hukum Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial, dan Tata Cara Penggunaan TKA', Senin (16/11). Foto: RES

Penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak menyurutkan pemerintah untuk menindaklanjuti UU itu dengan menyusun sejumlah peraturan pelaksana baik dalam peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden (perpres). Dari 11 klaster yang diatur dalam UU Cipta Kerja, salah satunya klaster ketenagakerjaan yang tengah disusun beberapa peraturan pelaksananya.  

Plt Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Reni Mursidayanti, mengatakan Kementerian Ketenagakerjaan sedikitnya tengah menyusun 4 RPP yakni tentang RPP penggunaan TKA; RPP Hubungan Kerja, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat; RPP Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); RPP Pengupahan (revisi PP No.78 Tahun 2015); dan RPP Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Beberapa RPP itu akan mengatur pelaksanaan klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Reni memaparkan ada 8 substansi klaster ketenagakerjaan. Pertama, TKA. UU Cipta Kerja tetap mengatur ketentuan rencana penggunaan TKA (RPTKA), dan ada perubahan dalam ketentuan terkait pengecualian kewajiban TKA, seperti direksi dan komisaris. TKA dapat dipekerjakan dalam hubungan kerja dan waktu tertentu.

Kedua, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tetap diatur berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Syarat PKWT tetap mengacu Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kemudian ada kompensasi bagi buruh PKWT setelah masa kontraknya berakhir.  

“Kompensasi akan diatur dalam PP, misalnya berapa lama masa kerjanya dan besaran yang diterima,” kata Reni Mursidayanti dalam Bootcamp Hukumonline 2020 Hari Ke-1 bertajuk “Hukum Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial, dan Tata Cara Penggunaan TKA”, Senin (16/11/2020). (Baca Juga: Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh)

Ketiga, alih daya. Reni mengatakan UU Cipta Kerja tidak menggunakan istilah outsourcing. Hubungan kerja dalam alih daya berupa PKWT dan PKWTT. Perlindungan buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya (perusahaan penerima pekerjaan pemborongan).  

Bagi buruh alih daya yang dipekerjakan melalui PKWT, dalam perjanjian kerja harus tertulis syarat pengalihan pelindungan hak buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada.

Keempat, waktu kerja dan istirahat. Reni menjelaskan waktu kerja yang diatur UU Cipta Kerja sama seperti UU Ketenagakerjaan dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dunia kerja. Untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu waktu kerjanya dapat kurang atau lebih dari 7 atau 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam satu minggu. Ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam PP.

Kelima, upah minimum. UU Cipta Kerja tetap mewajibkan Gubernur menetapkan upah minimum provinsi (UMP). Begitu pula upah minimum kabupaten/kota dan penetapannya berdasarkan syarat tertentu yaitu mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah yang bersangkutan. Bagi usaha mikro dan kecil, upah yang berlaku berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja, sekurangnya sebesar presentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat.

Keenam, PHK, pesangon, dan JKP. Reni menyebut syarat PHK tetap mengacu UU Ketenagakerjaan dan putusan MK. Besaran kompensasi PHK akan diatur dalam PP. Selain itu, buruh yang mengalami PHK mendapat manfaat program JKP. Ketujuh, mengenai sanksi, baik pidana maupun administratif tetap mengacu UU Ketenagakerjaan.

Delapan, perizinan di bidang ketenagakerjaan yakni sedikitnya ada 4 perizinan yang diubah UU Cipta Kerja yaitu lembaga pelatihan kerja; lembaga penempatan tenaga kerja swasta; perusahaan alih daya; dan surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia.

Praktisi Hukum Ketenagakerjaan, Juanda Pangaribuan, mencatat banyak ketentuan UU Ketenagakerjaan yang masih berlaku setelah UU Cipta Kerja terbit. Secara umum, UU Cipya Kerja ini sangat diapresiasi kalangan pengusaha karena dianggap memangkas ketentuan yang selama ini relatif menyulitkan pengusaha, misalnya dalam melakukan PHK.

Soal kompensasi pesangon, Juanda melihat yang berubah terkait besaran yang diterima buruh yang mengalami PHK. Dalam UU Ketenagakerjaan, ada peluang bagi buruh untuk mendapat kompensasi pesangon sebesar dua kali ketentuan. Tapi dalam UU Cipta Kerja peluang itu dipangkas menjadi satu kali ketentuan. “Kompensasi pesangon dalam UU Cipta Kerja maksimal 25 kali upah,” kata Juanda.

Menurut Juanda, selama ini peraturan kompensasi pesangon yang diterbitkan pemerintah sifatnya standar minimum. Jika perusahaan selama ini memberi kompensasi yang lebih dari peraturan, maka praktik ini sudah baik. “Bisa juga jika pengusaha menyesuaikan peraturan yang berlaku di perusahaan dengan ketentuan UU Cipta Kerja, tapi perlu dipahami ini berpotensi menimbulkan gejolak.”

 

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait