Delapan Arah Kebijakan dalam RUU Pertanahan
Berita

Delapan Arah Kebijakan dalam RUU Pertanahan

Semangat RUU Pertanahan ini menuju data pertanahan yang terintegrasi dalam satu peta agar bisa mencegah dan mengatasi beragam persoalan pertanahan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Pengadaan tanah untuk pembangunan salah satu yang sering memantik konflik pertanahan. Foto: SGP
Pengadaan tanah untuk pembangunan salah satu yang sering memantik konflik pertanahan. Foto: SGP

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan masih terus dibahas antara Panja DPR dan pemerintah. Panja RUU Pertanahan bersama tim pemerintah terus melakukan koordinasi dalam upaya penyelesaian sejumlah pasal krusial sesuai arah kebijakan pengaturan RUU Pertanahan ini.  

 

Pelaksana Tugas (Plt) Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) Andi Tenrisau mengatakan RUU Pertanahan memiliki fungsi dan peran penting bagi rakyat Indonesia. Karenanya, wajar jika pembahasan materi muatan RUU Pertanahan ini menjadi perhatian berbagai kelompok masyarakat.

 

Karena itu, guna menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat terkait pertanahan, pihaknya merasa perlu menyampaikan arah kebijakan pengaturan pertanahan dalam RUU Pertanahan ini. Pertama, penguatan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni pengaturan hubungan negara, kesatuan masyarakat hukum adat, dan orang-perorangan dengan tanah.

 

“Penguatan konsep NKRI melalui penegasan Hak Menguasai Negara, Hak Pengelolaan, dan Pengakuan atas Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,” ujar Andi Tenrisau dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (26/7/2019). Baca Juga: Substansi RUU Pertanahan Masih Terbuka Masukan dari Masyarakat

 

Kedua, pengaturan hak atas tanah demi keadilan dan kemakmuran rakyat yang diarahkan pada: peningkatan peran pemerintah dalam pembatasan jangka waktu penguasaan hak atas tanah; pembatasan luas kepemilikan tanah; peningkatan daya tarik investasi melalui pengaturan kembali jangka waktu hak atas tanah; pengaturan kembali rumah susun; kepastian hukum penggunaan ruang di atas dan bawah tanah serta reformasi agraria.

 

Ketiga, pendaftaran tanah menuju single land administration system dan sistem positif. Sistem pendaftaran tanah ini bersifat positif yang memberi kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah karena tidak dapat dibatalkan. “Untuk menuju ke arah dimaksud perlu modernisasi pengelolaan dan pelayanan pertanahan menuju era digital, serta penyiapan lembaga penjamin (asuransi),” kata dia.

 

Keempat, penyediaan tanah bagi pembangunan. Dia menerangkan penyediaan tanah dihimpun melalui lembaga Bank Tanah. Tujuannya untuk menghindari adanya spekulan tanah ataupun kesengajaan menyimpan tanah/mendiamkan tanah oleh pihak swasta tanpa memanfaatkan dan menggunakan tanah dimaksud.

 

Kelima, mempercepat penyelesaian sengketa, konflik, dan perkara pertanahan. Prinsip dasarnya, mengedepankan musyawarah mufakat. Dalam hal ini, ada amanah pembentukkan pengadilan pertanahan. Keenam, kebijakan fiskal pertanahan dan tata ruang. Pengaturan ini menyangkut pengenaan pajak progresif, keringanan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar Rp0,- bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta pemberian insentif dan disinsentif.

 

“Pengenaan pajak progresif diharapkan dapat mencegah para spekulan menguasai tanah,” lanjutnya.

 

Ketujuh, kewenangan pengelolaan kawasan oleh kementerian/lembaga sesuai tugas dan fungsinya. Sedangkan, Kementerian ATR/BPN melaksanakan sistem pendaftaran tanah agar seluruh bidang tanah di Indonesia terdaftar menuju sistem positif yang memberi kepastian hukum bagi masyarakat.

 

Kedelapan, penghapusan hak-hak atas tanah lama, bekas hak hukum barat. Dia menerangkan penghapusan hak barat sudah diberikan jangka waktu melalui konversi sesuai UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Namun, perlu penegasan kembali agar hak barat ditetapkan sebagai tanah negara agar tidak menimbulkan permasalahan dalam pendaftaran tanah.

 

Menurutnya, RUU Pertanahan ini sebenarnya upaya mengejawantahkan (menerapkan) amanat prinsip dasar dari UU 5/1960. Dengan kata lain, RUU Pertanahan ini merupakan implementasi atau operasional dari UU 5/1960. “UU 5/1960 menjadi lex generalis (aturan umum), sedangkan RUU Pertanahan menjadi lex spesialis (aturan khusus).”

 

Sistem pertanahan terintegrasi

Ketua Panja RUU Pertanahan Herman Khaeron mengakui RUU Pertanahan memang agak sensitif karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dalam penguasaan hak atas tanah. Karena itu, pihaknya berupaya agar pembahasan RUU Pertanahan mengedepankan rasa keadilan masyarakat luas.

 

“Sebenarnya, RUU Pertanahan ini upaya membenahi beragam persoalan pertanahan. Mulai konflik lahan, harga tanah terlampau tinggi, kepemilikan tumpang tindih (sertifikat ganda), disparitas kawasan tertentu dengan kawasan lain," ujar Herman Khaeron dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen Jakarta, belum lama ini.

 

Dalam RUU Pertanahan ini juga diperkenalkan single land administration yang merupakan sistem administrasi pendaftaran tanah melalui satu pintu. Sistem pendaftaran tanah ini sudah diterapkan di banyak negara. “Ini diadministrasikan oleh negara. Entah siapa (lembaga) yang ditunjuk ya, itu silahkan peraturan pemerintah yang mengaturnya!”

 

Misalnya, single land administration, bila di luar kawasan kehutanan bisa saja diadministrasikan oleh Kementerian ATR/BPN. Sementara di dalam kawasan kehutanan diadministrasikan oleh Kementerian Kehutanan.

 

Wakil Ketua Komisi IV DPR ini mengatakan bila single land administration diterapkan secara menyeluruh oleh institusi negara, dengan sendirinya arah kebijakan pertanahan menuju one map policy. Artinya, terdapat data pertanahan yang terintegrasi dalam satu peta. “Semangatnya, one map policy dan single land administration dapat berjalan, sehingga tercipta sistem pertanahan yang terintegrasi dengan satu peta termasuk titik-titik koordinatnya.”

 

Kepala Pusat Perancangan UU Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul menambahkan persoalan konflik/sengketa pertanahan yang kerap terjadi perlu pencegahan melalui single land administration ini. Bila jalan musyawarah tidak tercapai kesepakatan dan terjadi sengketa, RUU Pertanahan membentuk pengadilan pertanahan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan.  

 

“Diatur juga lembaga penjamin sertifikat, kepastian sertifikat yang diterbitkan juga dijamin pemerintah melalui lembaga yang diberikan otoritas untuk memastikan keabsahan legalitas surat tanah. Saya kira itu penting juga,” katanya.

Tags:

Berita Terkait