Delapan Anggota DPR Ajukan Uji Materi UU Migas
Berita

Delapan Anggota DPR Ajukan Uji Materi UU Migas

Tak rela hanya berfungsi sebagai penerima salinan kesepakatan setelah pemerintah dan kontraktor menandatangani KKS, delapan anggota DPR mengajukan uji materi UU Migas.

CRP
Bacaan 2 Menit

 

Dalam permohonannya, delapan anggota dewan itu menyatakan keberatan dengan Pasal 11 ayat (2) UU Migas. Ketentuan itu berbunyi, Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

 

Dengan adanya ketentuan seperti itu, pemerintah tidak perlu meminta pertimbangan atau persetujuan kepada DPR jika mengadakan Kontrak Kerja Sama (KKS) sektor Migas dengan kontraktor asing. Dengan kata lain, DPR hanya akan menerima sebatas salinan kesepakatan setelah pemerintah dan kontraktor menandatangani KKS.

 

Ketentuan itulah yang dinilai delapan anggota dewan telah melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 11 ayat (2). Pasal tersebut mengharuskan Presiden mendapat persetujuan DPR ketika hendak membuat perjanjian internasional sepanjang perjanjian itu menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, atau yang mengharuskan perubahan pembentukan undang-undang.

 

Selain Pasal 11 ayat (2) iUUD 1945 tu, delapan anggota dewan juga membenturkan Pasal 11 ayat (2) UU Migas dengan ketentuan Pasal 20 A ayat (1) serta Pasal 33 Ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.

 

Menurut pemohon, dengan adanya Pasal 11 ayat (2) di dalam UU Migas itu, peran mereka sebagai anggota dewan tidak akan berfungsi maksimal. Mereka tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan dan menyatakan tidak setuju jika perjanjian yang akan disepakati pemerintah berpotensi merugikan rakyat. Sedangkan sebagai warga negara, para anggota DPR ini juga tidak dapat melakukan fungsi pengawasan dan tidak mendapat manfaat dari KKS sektor migas jika perjanjian tersebut berpotensi merugikan negara.

 

Dalam permohonan itu, juga dicantumkan sepuluh contoh kerjasama di sektor migas yang tidak melalui persetujuan DPR. Kerjasama itu antara lain Production Sharing Contract antara BP Migas dengan Lasmo Indonesia Ltd tertanggal 30 Desember 2002 dengan lokasi penambangan di Muara Bakau. Selain itu, ada pula Production Sharing Contract antara BP Migas dengan Sebana Ltd tertanggal 14 Oktober 2003 di Blok Bulu, dan Production Sharing Contract antara BP Migas dengan Santos (NTH Bali I) PTY Ltd tertanggal 14 Oktober 2003 dengan area penambangan di Bali bagian utara.

 

Menurut Januardi, ketentuan dalam UU Migas itu menjadikan posisi DPR hanya sebagai pihak yang dilapori saja. Padahal, Menurut konstitusi, perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR, katanya. Dalam pandangannya, KKS juga bisa dianggap sebagai sebuah Perjanjian Internasional karena terkait dengan kepentingan rakyat banyak dan beban keuangan negara.

Tags: