Dekan FH Unsri, Prof Amzulian Rifai:
Perbaikan Hukum Harus Perhatikan Pendidikan Tinggi Hukum
Profil

Dekan FH Unsri, Prof Amzulian Rifai:
Perbaikan Hukum Harus Perhatikan Pendidikan Tinggi Hukum

Omong kosong jika perbaikan hukum tanpa perhatikan pendidikan tinggi hukum.

FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: www.fh.unsri.ac.id
Foto: www.fh.unsri.ac.id

Sejak era reformasi bergulir tahun 1998, Republik ini terus melakukan perbaikan di bidang hukum. Enam belas tahun reformasi berjalan, kondisi hukum di Indonesia tidak kunjung membaik, meskipun tampak kemajuan positif di sejumlah sisi. Faktanya, mafia hukum dan judicial corruption serta carut marut produk legislasi masih terjadi.

Banyak pihak yang mencoba menganalisa kenapa kondisi hukum di Indonesia masih merangkak. Sebagian menyalahkan sistem, sebagian lagi menyalahkan individu. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH Unsri), Prof Amzulian Rifai memiliki pandangan dan analisa sendiri.

Menurut dia, perbaikan hukum tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan kondisi pendidikan tinggi hukum. Perbaikan hukum, kata Prof Amzulian, harus linier dengan perbaikan sistem pendidikan tinggi hukum. Secara khusus, Prof Amzulian juga menyoroti porsi perhatian pemerintah yang berbeda terhadap perguruan tinggi hukum di kota-kota besar, khususnya Ibukota Negara, dan perguruan tinggi hukum di kota-kota kecil.

Dalam sebuah sesi wawancara khusus, Prof Amzulian memaparkan pandangannya seputar kondisi hukum Indonesia, khususnya perkembangan pendidikan tinggi hukum. Berikut ini petikan wawancaranya:

Bagaimana perkembangan pendidikan tinggi hukum di Indonesia saat ini?
Sebetulnya, kalau anda melihat persoalan-persoalan hukum yang sangat kronis saat ini, saya tidak heran. Karena saya sudah menulis, kalau bangsa ini mengutamakan bidang science dan teknologi, tunggulah kehancuran negara ini. Kenapa? Karena anda akan bangga  membidangi science dan teknologi, seakan-akan yang membidangi jurusan science dan teknologi adalah orang-orang yang super, orang-orang yang pintar. Sehingga, kebanyakan daya dan upaya perhatiannya ke bidang science and teknologi, tidak ke bidang humani, termasuk hukum di situ. 

Apa yang terjadi?  Kita mungkin hebat di bidang teknologi, macam-macam.  Kalau kita tidak melihat bidang hukum, kita akan jatuh. Celakanya perhatian terhadap bidang hukum seakan-akan hanya memperhatikan jaksa yang ternyata korup, hakim yang ternyata korup, advokat yang ternyata korup. Pembenahan tidak akan terjadi kalau tidak memperhatikan pendidikan tinggi hukum. Dan, itu tidak terjadi dalam jangka waktu yang lama. 

Maka, omong kosong, perbaikan hukum di Indonesia tanpa memperhatikan pendidikan tinggi hukum. Pendidikan tinggi hukum mana? (harus) Menyeluruh, seluruh Indonesia. Nggak bisa juga yang bagus fakultas hukum cuma tertentu saja, tidak bisa. Maka omong kosong, perbaikan hukum di Indonesia tanpa memperhatikan pendidikan tinggi hukum.  

Memangnya yang selama ini terjadi bagaimana, apakah perhatian yang diberikan berbeda-beda?
Omong kosong juga pendidikan tinggi hukum di Negeri ini kalau hanya memperhatikan fakultas hukum di Pulau Jawa. Jangan hanya tempat-tempat tertentu. Pastilah ada yang mengatakan, “Oh kita terbuka untuk seluruh Indonesia.” Pasti jawabannya seperti itu, selalu. Kita bebas bersaing segala macam, tapi yang bener juga. Masak akreditasi tempat-tempat tertentu sudah jelas hitam putihnya misalnya nilainya sama, gimana.

Terserah, pasti pemerintah mengatakan tidak ada diskriminasi. Maksud saya tadi, di dalam suatu pertandingan itu, kalau memang ada yang beratnya masih kurang, ya dinaikkan beratnyalah. Kebijakan yang diskriminatif tapi menguntungkan.

Misalnya kita tahu, oh fakultas hukum yang di bagian timur, tertentu atau dimanapun kurang, ya diangkatlah.  Janganlah kita kelas ringan dibanding kelas berat. Pokoknya bertandinglah di situ. Tidak fair begitu karena pemerintah akan jawab, “Oh kita kasih kesempatan yang sama, nggak ada diskriminatif.”

Bagaimana cara institusi pendidikan tinggi hukum meningkatkan kualitas?
Menurut saya, persoalannya itu bagaimana membangun academic atmosphere (suasana akademis) di kampus-kampus FH di daerah. Sekarang anda cek lah, di setiap universitas itu, mungkin yang sedikit profesornya dibandingkan fakultas-fakultas lain adalah fakultas hukum. Ini mereflesikan apa? Jangan-jangan orang fakultas hukum sendiri males. Males menghasilkan karya tulis. Orang nggak akan jadi guru besar kalau nggak ada karya tulisnya. Membangun academic atmosphere, itu yang sulit. 

Misalnya kita (FH Unsri), bukan berarti saya terus membanggakan diri. Kami, fakultas hukum yang satu-satunya memulai mengalokasikan dana penelitian dari fakultas sendiri.  Jadi penelitian bisa dari Unsri, bisa dari pusat, segala macam. Tapi kami alokasikan. Dana penelitian sudah tahun ke lima. Yang sebelumnya tidak pernah ada, kita alokasikan. Kita perkuat unit penelitiannya. Maka, setiap tahun itu paling tidak 20 proposal penelitian dengan dana FH sendiri. Ini kan untuk membangun academic atmosphere.

Sekali lagi saya katakan, yang paling pokok adalah membangun academic atmosphere. Dan itu tanggung jawab orang seperti saya (Dekan, red).Oleh karena itu, kita selalu rutin mengadakan seminar nasional yang dimana seminar nasional itu pembicaranya adalah dosen-dosen muda. Nggak boleh yang senior. Kenapa? Toh dia (senior) sudah naik pangkat.

Menurut saya, sistem rekrutmen dosen juga menjadi penting. Bagaimana mestinya pemerintah pusat itu, kekita merekrut dosen FH itu, sedapat mungkin betul-betul diupayakan pendaftarnya dari berbagai profesi di Indonesia. Kalau sekarang saya lihat belum.

Merujuk pada perkembangan yang terjadi, apakah institusi pendidikan tinggi hukum Indonesia siap menghadapi globalisasi, khususnya era MEA?
Tantangannya adalah bahasa. Kelemahan orang Indonesia ini bahasa. Kalau belajar bahasa asing, justru jarang digunakan. Orang Palembang misalnya, mahasiswa saya, banyak sehari-hari bahasa daerah saja, bahasa Palembang, bahasa Inggris kurang.

Peran apa yang dapat dimainkan negara agar kualitas pendidikan tinggi hukum meningkat?
Mungkin peran negara itu, bagaimana negara bisa memunculkan kebanggaan, bagi mereka yang mau belajar hukum. Jangan sampai orang masuk fakultas hukum itu karena tidak diterima di fakultas-fakultas lain. Karena itu, negara bisa berperan, untuk memunculkan image bahwa fakultas hukum itu sama pentingnya katakanlah dengan fakultas kedokteran dan fakultas-fakultas favorit lainnya. 

Peran negara yang paling serius adalah bagaimana meningkatkan academic atmosphere di lingkungan fakultas hukum. Ini memang challenge-nya karena litelatur-litelatur hukumnya sebagian besar bahasa Indonesia. Di sini sebenarnya pemerintah pusat bisa berperan bagaimana supaya lingkungan fakultas hukum itu juga terbiasa dengan teks book yang berbahasa asing. Itu yang jadi soal. Tapi, jangan hanya kebijakan di atas kertas. Bagaimana pemerintah pusat memastikan ini jalan, tentu dengan mekanisme dia (pemerintah).

Tags:

Berita Terkait