Dekan FH Universitas Jember Sampaikan Catatan Kritis Atas RUU Pembentukan Peraturan
Utama

Dekan FH Universitas Jember Sampaikan Catatan Kritis Atas RUU Pembentukan Peraturan

Ada sepuluh poin kelemahan dalam UU 12/2011 yang perlu diperbaiki. Tapi RUU PPP malah dominasi mengakomodir soal metode omnibus law dan partisipasi bermakna.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono. Foto: RFQ
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono. Foto: RFQ

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (RUU PPP) telah rampung dibahas di tingkat pertama. Namun, RUU PPP ini masih menuai kritik dari sejumlah kalangan. Harapan agar RUU tersebut dapat membenahi dan menata pembentukan peraturan perundang-undangan, faktanya hanya didominasi untuk mengakomodir pengaturan metode omnibus law.

“Maka sayang sekali perubahan kedua RUU ini tidak mampu menjawab kebutuhan pembentukan peraturan secara komprehensif,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono dalam sebuah webinar bertajuk Menyibak Urgensi dan Polemik Perubahan UU No.12 Tahun 2011 Dalam Arah Pembangunan Nasional”,Selasa (19/4/2022).

Dia melihat terdapat kondisi yang mengharuskan menata ulang pembentukan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh. Sebab, dalam UU 12/2011 yang telah diubah dengan UU No.15 Tahun 2019 itu terdapat beberapa keadaan yang belum terakomodir. Untuk itu, Bayu menyampaikan 10 poin catatan terhadap RUU PPP ini. Pertama, kurang terkontrolnya jenis peraturan yang dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan.

Dia menilai dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 tak dapat membedakan peraturan DPR, MPR, DPD masuk kategori peraturan perundang-undangan. Sebab dalam hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan DPR, MPR tak masuk kategori peraturan perundangan sebagaimana dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011.

Baca Juga:

Kedua, materi muatan peraturan perundang-undangan yang tidak dapat ditetapkan secara pasti. Terutama dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan. Misalnya, seringkali materi peraturan pemerintah (PP) diatur dengan UU. Seperti UU No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, serta UU yang mengatur tentang profesi seharusnya dapat diatur dalam PP. “Ini malah diatur UU,” ujarnya.

Ketiga, ketidakjelasan hierarki peraturan perundangan. Alhasil, menyulitkan dalam pengujiannya. Misalnya, posisi peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Peraturan BI hingga Peraturan Bawaslu tak ada yang dapat menentukan semuanya masuk dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Tapi jenis peraturan-peraturan tersebut masuk Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU 12/2011 tanpa memberikan rambu jelas hierarkinya.

Keempat, perencanaan dan program realisasi perencanaan pembentukan peraturan perundangan kurang rasional. Dia menilai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ada setiap tahun jauh api dari panggang. Sedemikian banyak jumlah dalam target Prolegnas, tapi jauh dari realisasinya. Kelima, UU12/2011 tidak ada amanat harmonisasi bagi semua peraturan perundangan, tapi hanya mengamanatkan kewajiban harmonisasi bagi RUU, RPP, RPerpres, Raperda Provinsi/kabupaten/kota.

“Padahal semua peraturan punya potensi diharmoni,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) itu.

Keenam, belum ada pedoman formal konsultasi publik (meaning full participation). Alhasil, muncul heteroginitas bentuk konsultasi. Ketujuh, berkas peraturan perundangan (rancangan, naskah akademik, analisa pendukung, risalah pembahasan) belum tersedia secara baik. Kedelapan, belum terlembanganya evalusi secara rutin terhadap peraturan perundangan oleh lembaga pembentuknya (legislatif review/eksekutif review).

Kesembilan, ketiadaan model baku (mekanisme dan metode) evaluasi peraturan perundangan yang didesain secara sistematis. Kesepuluh, amanat Pasal 99A UU 15/2019 yang mengatur pembentukan kementerian atau lembaga khusus di bidang pembentukan peraturan perundangan belum jelas.

Di tengah situasi 10 poin permasalahan tersebut, muncul usulan perubahan UU 12/2011. Diharapkan perubahan kedua UU 12/2011 dapat menjawab berbagai kekurangan. Seperti problematik dasar, prosedur, pembentukan, evaluasi dan partisipasi masyarakat. Tapi faktanya, kata Bayu, hanya bicara landasan hukum pengaturan metode omnibus law dalam penyusunan peraturan perundangan plus partisipasi bermakna.

“Pertanyaan kita, problem tadi (10 poin, red) kan real. Apakah latar belakang ini bisa menjawab, tidak. Karena ini fokus pada hal yang tidak prinsip. Benarkah putusan MK 91/2020 itu menghendaki revisi UU 12/2011 untuk mengakomodir omnibus?”

Sementara Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Retno Saraswati menilai perubahan UU 12/2011 untuk kedua kalinya menjadi hal wajar sepanjang untuk menutup berbagai kekurangan yang ada. Termasuk mengakomodir metode omnibus law. Menjadi masalah, kata Prof Retno, bila perubahan kedua UU 12/2011 hanya dikaitkan dengan putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 hasil pengujian UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Jangan saja semata-mata perubahan UU PPP ini untuk mengakomodir permasalahan di UU 11/2020. Tapi perubahan UU Cipta Kerja harus banyak pembenahan substansial materilnya. Jangan sampai perubahan UU PPP ini menjadi alat politik untuk ‘menghalalkan’ semuanya. Jadi harus diperhatikan asas-asasnya,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait