Dekan FH Universitas Brawijaya: Kawal Pemilu dari Kecurangan
Terbaru

Dekan FH Universitas Brawijaya: Kawal Pemilu dari Kecurangan

Panjangnya proses rekapitulasi dari sektor wilayah terkecil hingga tingkat nasional, dapat saja terjadi penyelewengan data. Proses pengawasan ketat menjadi amat penting dilakukan.

CR 30
Bacaan 3 Menit
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto  saat menyambangi TPS 15 di Perumahan Villa Sengkaling, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (14/2/2024). Foto: Istimewa
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto saat menyambangi TPS 15 di Perumahan Villa Sengkaling, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (14/2/2024). Foto: Istimewa

Pencoblosan surat suara menjadi rangkaian dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang baru saja digelar. Hasil perolehan suara nantinya menjadi penentu siapa gerangan satu dari tiga calon presiden dan calon wakil presiden (Capres-Cawapres) yang bakal terpilih memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto berpandangan pemilu menjadi wujud nyata kedaulatan rakyat di negara demokrasi.  Dalam melaksanakan hak pilihnya sebagai warga negara, Aan yang mengenakan batik lengan pendek bercelana hitam terlihat santai saat menyambangi Tempat Pemilihan Suara (TPS) 15 di Perumahan Villa Sengkaling, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (14/2/2024).

Dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, Aan berharap pemilu dapat berjalan secara lancar dan bebas dari berbagai pelanggaran. Dia berpesan, jalannya pemilu harus dikawal agar hasil pemilihan bersih dan bebas pelanggaran maupun kecurangan dalam pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).  

“Harus dijaga benar, harus bersih dan pelanggaran TSM jangan sampai terjadi” ujar Aan kepada Hukumonline.

Baca juga:

Pada tahapan Pemilu 2024, Aan menilai hal yang membedakan dengan tahun-tahun sebelumnya adalah dinamika penyebaran informasi yang sangat cepat melalui media sosial. Kuatnya arus penyebaran informasi ini membuat masifnya perang opini di tengah masyarakat.

“2024 ini arus informasi teknologi sangat masif,”ujar Aan.

Terkait adanya indikasi kecurangan pemilu yang saat ini sedang ramai, Aan berpendapat, bila terdapat dugaan kecurangan itu tidak terjadi secara langsung di TPS. Proses pasca pemungutan suara di TPS seperti perhitungan suara dan rekapitulasi, menurut Aan rawan terjadi kecurangan.

Dia  mewanti-wanti, panjangnya proses rekapitulasi yang dilakukan dari sektor wilayah terkecil hingga pada sektor nasional, dapat saja terjadi penyelewengan data. Makanya proses pengawasan ketat menjadi amat penting dilakukan. “Karena kalau rekapitulasi sudah tidak bicara surat suara tapi angka di atas kertas, diselewengkan sedikit saja hilang sudah suara rakyat,” katanya.

Bersamaan dengan harapan bahwa tidak adanya kecurangan pada pelaksanaan pemilu, Aan  berpendapat mengenai kondisi hukum dan demokrasi di Indonesia yang menurutnya tidak baik-baik saja saat ini. Gencarnya deklarasi guru besar dari sejumlah perguruan tinggi mengomentari kondisi hukum dan demokrasi, menurut Aan sebagai sebuah indikasi melemahnya kondisi hukum dan demokrasi saat ini.

Aan menyorot adanya kebijakan-kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan etika khususnya dalam penyelenggaraan pemilu memberikan peringatan untuk pelaksanaan pemilu tahun ini. Menurutnya, banyak guru besar memandang situasi demokrasi dan hukum tidak dalam keadaan baik.

“Itu artinya lebih cenderung kepada kontra demokrasi,” katanya.

Belum menjadi negara hukum

Adanya polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pelanggaran etika oleh Anwar Usman saat menjabat Ketua MK dan Ketua KPU Hasyim Asy’ari soal majunya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto menurut Aan menjadikan narasi banyak kampus sebagai penyeimbang atas masalah tersebut. Setidaknya suara dari para guru besar dan sivitas akademika perguruan tinggi menjadi referensi bagi pemilih dan pengingat bagi penyelenggara negara.

Terkait deklarasi dilakukan oleh guru besar dan  sivitas akademika perguruan tinggi, Aan mengatakan bahwa tidak ingin kejadian era 98 terulang. Dia menilai sikap para guru besar dan sivitas akademika perguruan tinggi sebagai upaya meredam kondisi yang tidak diinginkan. Setidaknya upaya para guru besar dan sivitas akademika menginginkan kebenaran tetap ditegakan. Aan sendiri merupakan satu dari 16 orang akademisi yang melaporkan pelanggaran etik Anwar Usman terkait putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.

Beberapa hari lalu, film dokumenter ‘Dirty Vote’ ramai dibicarakan publik karena menampilkan indikasi kecurangan pemilu yang disampaikan oleh tiga akademisi. Terkait film ‘Dirty Vote’, Aan melihat kebenaran acapkali dihadapkan pada kekuasaan. Malahan saat kekuasaan terbentuk, penguasa bakal menggunakan kekuasaannya sebagai respons balik.

Dilaporkannya ketiga akademisi dalam film tersebut menurut Aan sebagai konsekuensi akademisi dan ilmu pengetahuan yang harus mengungkapkan kebenaran. Tapi, sayangnya tidak memiliki kekuasaan. Kondisi inilah menandakan Indonesia belum bisa menjadi negara yang menjalankan ketentuan hukum dan demokrasinya dengan baik.

“Kita belum menjadi negara hukum dan demokrasi yang benar,” katanya.

Aan mengingatkan penguasa tak boleh resisten terhadap dengan berbagai kritik atas kebenaran yang disampaikan publik. Sebab kondisi tersebut bakal berpotensi merusak nilai hukum dan demokrasi di Indonesia. “Mereka masih resisten terhadap kebenaran, ini yang saya lihat destruktif sebenarnya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait