Dekan FH Unair: Konflik Israel-Palestina Menunjukkan Lemahnya Hukum Internasional
Mengadili Israel

Dekan FH Unair: Konflik Israel-Palestina Menunjukkan Lemahnya Hukum Internasional

Meski sudah banyak upaya jalur hukum yang dilakukan, tak kunjung menyudahi serangan Israel yang terus menelan korban jiwa warga sipil. Dari kasus ini secara terang menunjukkan titik lemah hukum internasional, sehingga perlu mekanisme baru dalam pertanggungjawaban negara.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Iman Prihandono. Foto: RES
Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Iman Prihandono. Foto: RES

Pada Sabtu (6/7/2024) kemarin, Israel menyerang sekolah yang dioperasikan United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) di kamp pengungsi Nuseirat, Gaza Tengah. Atas aksi brutal itu, menelan korban jiwa sebanyak 16 orang dinyatakan tewas, sedangkan 75 luka-luka.

“Serangan terhadap sekolah, tempat pengungsi warga sipil, dan terlebih lagi dikelola oleh badan di bawah PBB adalah bentuk pelanggaran hukum Internasional. Pertama, Hukum Humaniter Internasional (HHI) melarang penyerangan terhadap instalasi sipil yang tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata, ini termasuk sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) Iman Prihandono kepada Hukumonline, Rabu (10/7/2024).

Baca Juga:

Selanjutnya, HHI melarang penyerangan terhadap warga sipil non-kombatan. Sekalipun bila dalam kelompok warga sipil didapati beberapa kombatan, tidak kemudian menghilangkan status kelompok bersangkutan sebagai kelompok warga sipil. “Ketiga, fakta bahwa camp pengungsian tersebut dikelola oleh badan yang berada di bawah dan diberi tugas oleh PBB membuat penyerangan itu juga berarti merupakan penyerangan terhadap badan dan personil PBB,” bebernya.

Dilansir Al Jazeera, hingga per Senin (8/7/2024), Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan terdapat lebih dari 38.000 warga Palestina telah tewas sejak Israel melancarkan serangan militer pasca peristiwa 7 Oktober 2023 lalu. Terlepas dari perundingan gencatan senjata yang akan dilaksanakan di Doha, Qatar, serangan Israel terus meningkat. Menjadi kegelisahan dan pertanyaan banyak orang, langkah hukum apa lagi yang harus diambil untuk menyudahi kekejaman Israel?

“Saat ini badan dunia yang paling memiliki kemampuan untuk mengakhiri pelanggaran oleh Israel adalah DK PBB (Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa), karena badan ini yang memiliki mandat, bahkan menggunakan kekuatan bersenjata, sebagaimana yang dilakukan dalam konflik di Bosnia. Sayangnya politik di DK PBB saat ini tidak memungkinkan untuk itu,” terang Iman.

Sebetulnya, Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) telah melakukan terobosan dengan menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant atas situasi yang terjadi di Palestina. 

Akan tetapi, menurutnya, hal tersebut akan sulit mengingat tidak semua negara bersedia menangkap kedua petinggi Israel dan menyerahkannya ke hadapan ICC. Sama halnya dengan gugatan yang dilakukan Afrika Selatan yang membawa Israel ke hadapan Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) atas tudingan genosida di Jalur Gaza yang tengah bergulir.

“Gugatan ini perlu diapresiasi karena ICJ dalam putusan selanya memerintahkan Israel untuk menghentikan genosida. Meskipun sayangnya tidak memerintahkan kedua pihak bersengketa untuk melakukan gencatan senjata. Rasanya semua mekanisme pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional telah digunakan di dalam kasus Israel ini,” ungkapnya.

Dari berbagai jalur hukum yang dilakukan untuk menghentikan kebengisan Israel, nampaknya tidak membuahkan hasil. “Kasus ini secara terang menunjukkan titik lemah hukum internasional, dari sekian banyak kekuatannya yang telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat dunia selama ini. Karena itu, mekanisme baru dalam pertanggungjawaban negara mungkin sudah saatnya digagas,” usul dia.

Sebagai informasi, saat ini kasus yang menyeret Israel masih bergulir di ICC dan ICJ dan terus mendulang perhatian dunia. Bahkan, pada kasus Afrika Selatan v. Israel di ICJ, telah tercatat sejumlah negara yang sudah mengajukan untuk intervensi, seperti Kolombia, Libya, Meksiko, negara Palestina, sampai dengan Spanyol.

Selain kedua proses hukum tersebut, ICJ pun masih meng-godog nasihat hukum/advisory opinion atas permintaan Majelis Umum PBB untuk menjawab 2 pertanyaan mendasar. Pertama, terkait konsekuensi hukum yang timbul atas pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap hak-hak warga Palestina dalam menentukan nasib sendiri dan terbebas dari pendudukan yang berkepanjangan. Termasuk perihal tindakan yang bertujuan untuk mengubah komposisi demografi, karakter, dan status Kota Suci Yerusalem.

Kedua, atas kebijakan dan praktik Israel mempengaruhi status hukum pendudukan. Lantas, bagaimana konsekuensi hukum yang timbul bagi semua negara dan PBB. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang turut menyumbangkan masukan kepada ICJ dalam menyusun nasihat hukumnya atas pertanyaan yang dilontarkan Majelis Umum PBB tersebut.

Tags:

Berita Terkait