Debt Collector Persoalkan Aturan Eksekusi Jaminan Fidusia
Berita

Debt Collector Persoalkan Aturan Eksekusi Jaminan Fidusia

Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Pemohon juga mendalilkan tiadanya perlindungan hukum yang adil bagi industri pembiayaan. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk eksekusi lebih besar daripada pendapatan dari barang fidusia itu sendiri. Adanya perusahaan pembiayaan yang menyewa kolektor tidak bersertifikasi (preman) yang bertindak semena-mena kepada konsumennya sebagaimana dalam legal standing Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, hal ini tidak serta merta berarti semua kolektor dan perusahaan pembiayaan bertindak demikian.

Menurut Pemohon, masih ada kolektor tersertifikasi seperti Pemohon, kolektor internal yang selalu jujur dan ramah kepada debitur. Sebagai kolektor, Pemohon bahkan selalu berusaha bertindak persuasif dan negosiasi ketika bertemu dengan debitur. Namun, hak konstitusional Pemohon terdampak hanya karena ulah preman yang bersikap semena-mena kepada debitur.

Dia menilai pemaknaan frasa “sukarela saat eksekusi" dalam Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 bertentangan dengan prinsip negara hukum yang seharusnya menjamin aturan yang mencegah terjadinya potensi kejahatan. Apabila debitur beritikad baik, debitur seharusnya minta restrukturisasi, bukannya justru tidak sukarela menyerahkan barangnya.

Atas dasar itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Selain itu, menyatakan frasa “keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia” tidak dimaknai “sukarela saat menandatangani perjanjian fidusia.”

Anggota Majelis Panel Suhartoyo mencermati kedudukan hukum Pemohon. Menurut dia, Pemohon belum menunjukkan kapasitas sebagai kolektor sebagaimana diargumentasikan dalam permohonan. “Bukti yang ada hanya jadwal kerja dan sertifikasi profesi Pemohon. Sertifikasi profesi Pemohon memang ada. Tapi apakah sertifikasi itu dipergunakan atau tidak, harus ditegaskan dalam permohonan ini. Harus sesuai dalam meneguhkan kedudukan Pemohon,” ujar Suhartoyo yang juga menyarankan Pemohon memperkuat argumentasi terkait norma yang dianggap merugikan Pemohon dengan menyandingkan bukti-bukti empiris.

Anggota Majelis Panel Enny Nurbaningsih mempertanyakan surat kuasa Pemohon. Enny juga menasihati Pemohon agar mencermati batu uji yang digunakan, apakah batu uji tersebut sudah tepat. Kemudian, mempertajam batu uji yang digunakan.

Ketua Majelis Panel, Daniel Yusmic P. Foekh menasihati Pemohon agar lebih cermat soal penulisan dalam permohonan. Bahasa asing misalnya, harus ditulis miring. Daniel juga menyarankan agar menguraikan lebih detail terkait profesi Pemohon, menjelaskan seberapa banyak menjalankan profesi kolektor, tidak cukup hanya menunjukkan sertifikasi profesi. “Ibarat pengemudi, punya SIM tetapi tidak pernah mengemudi,” kata Daniel.

Tags:

Berita Terkait