Debt Collector di Mata Hukum dan Etika Penagihan Utang
Terbaru

Debt Collector di Mata Hukum dan Etika Penagihan Utang

Kehadiran debt collector kerap meresahkan. Pasalnya, penagihan seringkali dilakukan dengan ancaman dan kekerasan. Adakah aturan hukum mengenai hal ini?

Tim Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi debt collector. Sumber: pexels.com
Ilustrasi debt collector. Sumber: pexels.com

Jika mendengar debt collector, mungkin gambaran yang muncul adalah penagihan utang berbau ancaman dan kekerasan. Kesan negatif ini sedikit banyak telah melekat dalam benak masyarakat. Terkait hal tersebut, adakah peraturan dan etika yang mengatur konsep penagihan dari debt collector? Mari simak pembahasannya berikut ini.

Definisi Debt Collector

Jika ditilik, istilah debt collector berasal dari bahasa Inggris yang merupakan gabungan dari debt dan collector. Jika diterjemahkan, debt berarti utang dan collector berarti pengumpul atau penagih. Kemudian, bila digabungkan, debt collector artinya adalah penagih utang.

Lebih lanjut, Kasmir (dalam Sasongko, 2020: 1) menerangkan bahwa debt collector adalah individu atau sekumpulan orang yang memberikan jasa menagih utang seseorang atau lembaga yang menyewa jasa mereka.

Kemunculan Debt Collector

AH Sasongko menerangkan bahwa konsep penagihan utang sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu, sekitar 5.000 tahun. Terkait hal ini, penagihan di masa lalu dilakukan dengan adanya penarikan pajak yang dilakukan pemerintah serta penarikan utang atas individu dengan individu lain.

Dilanjutkan Sasongko, umumnya bank atau pemberi kredit memiliki bagian collection atau pekerja yang bertugas menerima pengembalian kredit dari para debitur. Namun, dalam penerapannya, sering ditemukan debitur yang mengabaikan kewajiban pembayaran kredit sekalipun pihak kreditur telah mengajukan perbaikan atau perubahan sistem kredit.

Oleh karena alasan tersebut, kreditur kerap menggunakan jasa debt collector atau penagih utang dari pihak ketiga untuk melakukan penagihan kredit bermasalah.

Debt Collector dan Kreditur

Hubungan penagih utang dan kreditur sangat erat. Diterangkan Gustara dan Ariawan, umumnya bank atau kreditur menggunakan jasa penagih utang karena alasan biaya. Biaya yang perlu dikeluarkan untuk menempuh jalur hukum lebih tinggi ketimbang “membayar” jasa penagih utang.

Tidak hanya karena efisiensi biaya, proses penyelesaian utang pun jauh lebih cepat ketimbang saat kreditur memilih penyelesaian model litigasi yang panjang. Belum lagi, dalam proses hukum, eksekusi putusan pengadilan kerap sulit dilakukan.

Dasar Hukum Debt Collector

Sejauh ini, belum ada peraturan OJK yang spesifik membahas tentang debt collector. Namun, ketentuan tentangnya termuat dalam beberapa peraturan. Pada prinsipnya, penagih utang sebagai pihak ketiga bekerja dengan kuasa yang diberikan oleh kreditur atau si pemberi utang.

Terkait dasar hukum, ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pihak perusahaan atau kreditur untuk menggunakan jasa pihak lain sebagai penagih utang, di antaranya Peraturan Bank Indonesia (PBI 23/2021), Peraturan OJK (POJK 35/2018), dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI 2009) serta perubahannya.

Diterangkan Pasal 191 ayat (1) huruf a PBI 23/2021 dalam melakukan penagihan kartu kredit, Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) wajib menjamin bahwa penagihan utang, baik yang dilakukan sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 48 ayat (1) POJK 35/2018 menerangkan bahwa perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur. Kemudian, ditambahkan dalam Pasal 48 ayat (3) POJK 35/2018, kerja sama yang dimaksud harus memenuhi ketentuan:

a. pihak lain tersebut berbentuk badan hukum;

b. pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan

c. pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.

Dalam SEBI 2009, diterangkan bahwa apabila hal penerbit (kreditur) menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi kartu kredit atau kerap dikenal dengan debt collector kartu kredit, maka:

a. penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia;

b. Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum; dan

c. dalam perjanjian kerjasama antara penerbit dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggung jawab Penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerja sama dengan pihak lain tersebut.

Etika Penagihan Utang sesuai Hukum

Dalam masyarakat, debt collector sebagai pihak penagih utang memiliki citra yang negatif. Penagih utang ini dikenal dengan gaya penagihan yang menyebalkan, penuh teror, serta kerap berperilaku kasar.

Disarikan dari Etika Penagihan Utang Debt Collector, etika penagihan sesuai hukum yang harus diterapkan debt collector, antara lain:

  1. Tenaga penagihan harus menggunakan identitas resmi dari bank atau pemberi kredit yang dilengkapi dengan foto diri.
  2. Penagihan harus dilakukan tanpa ancaman, kekerasan, dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan.
  3. Penagihan dilarang dengan menggunakan tekanan fisik atau verbal.
  4. Penagihan hanya dapat dilakukan kepada pihak debitur, selain pihak tersebut adalah dilarang.
  5. Penagihan melalui sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus-menerus yang bersifat mengganggu.
  6. Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat sesuai alamat penagihan atau domisili debitur.
  7. Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan 20.00 wilayah waktu alamat debitur.
  8. Penagihan di luar domisili atau waktu yang ditentukan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan debitur.

Ketentuan Pidana yang Mengancam Debt Collector

Bila melakukan penagihan yang tidak sesuai dengan etika yang telah diterangkan, debt collector berpotensi dijerat sejumlah pasal pidana. Jika melakukan penagihan dengan kekerasan, debt collector dapat dijerat dengan pasal penganiayaan.

Pasal 351 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Kemudian, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Kemudian, apabila penagihan menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di muka umum, debt collector dapat dipidana dengan pasal penghinaan. Pasal 310 angka 1 KUHP menerangkan bahwa barang siapa yang sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.

Dapat disimpulkan bahwa kehadiran debt collector sebagai penagih utang tidak dilarang secara hukum. Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan menerangkan bahwa bank atau kreditur berhak menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan penagihan. Akan tetapi, penagihan haruslah dilakukan berdasarkan ketentuan dan etika yang diatur pun dilarang menggunakan kekerasan, ancaman, dan perbuatan pidana lainnya. Baca berita Hukumonline lainnya di sini!

Tags:

Berita Terkait